Perbuatan Baik yang Dicurigai
Tulisan ini diketik bersamaan dengan teman-teman Omah Padhangmbulan dan Lemud Samudro yang sungguh-sungguh melakukan persiapan untuk menuntaskan khidmah mereka pada Pengajian Padhangmbulan. Berulang kali kita mengeja niat, meneguhkan tekad, merapatkan barisan agar jariah dari para sesepuh Ibu Maiyah terus mengalir hingga batas cakrawala amr dan iradah-Nya.
Siapa saja silakan bergabung dalam barisan khidmah ini. Tidak ada pendaftaran, kartu anggota, atau prosesi baiat. Syaratnya hanya kesungguhan hati dan tidak dalam rangka mencari eksistensi. Mau masuk kapan saja monggo. Mau keluar kapan pun silakan. Ini paseduluran antar manusia yang ditali sambungkan oleh kejujuran dan kesungguhan berbuat baik.
Berbuat baik pun tidak selalu yang gagah, heroik, dan mewah. Sakdermo ikut member kloso, menyuguhkan kopi, atau membelikan rokok teman merupakan kebaikan yang tampak sepele di mata manusia. Namun, yang sepele itu belum tentu ringan di mata pandang Allah, karena tidak ada satu pun makhluk yang sanggup membaca getaran niat seseorang saat beramal. Apalagi tidak seorang pun, bahkan malaikat pun tidak mengetahui kapan momentum turunnya rahmat dari Allah.
Yang dapat kita lakukan ketika ikut bantu-bantu mbeber kloso, jaga parkir, resik-resik sampah adalah membangun harapan dan keyakinan semoga yang kita kerjakan itu bersamaan dengan turunnya kasih sayang Allah. Selebihnya, kepastian tetap milik Allah.
Berbuat baik sekecil apa pun atau seremeh apa pun — itu pun harus diberi catatan: aslinya tidak ada kebaikan yang remeh dan sepele — karena yang remeh dan sepele itu akan sangat-sangat bernilai dan memiliki timbangan amal yang berat ketika ia dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan bersamaan dengan turunnya kasih sayang Allah.
Kesadaran seperti itu kini menjadi langka karena motif perbuatan manusia dipenuhi oleh syarat-syarat, motivasi-motivasi, pamrih-pamrih. Sekadar untuk bersedekah misalnya, rumitnya minta ampun, harus lewat lembaga ini itu, lembaga ini bagian dari minna, lembaga itu bagian dari minkum. Kebaikan yang seharusnya menyatukan justru memecah dan membelah.
Itu pun Anda harus lulus uji kompetensi: Anda ini siapa, kapasitasnya apa, pendidikan di mana, ormas apa dan seterusnya. Berbuat baik secara polos sebagai manusia semakin tidak laku dan gampang dicurigai.
Sahabat saya yang tidak menampilkan aksesoris sebagai orang kaya setiap hari kamis malam Jum’at memberi makan tiga puluh anak kecil selesai tahlilan. Kebiasaan itu berlangsung selama lima tahun dan masih terus berjalan. Suatu ketika ia ditanya seseorang dari mana ia memperoleh dana? Apakah ada foundation atau lembaga sedekah yang membantunya?
Bahkan untuk sekadar memberi makan ala kadarnya kita bergantung pada pemberian lembaga sedekah. Kita tidak mandiri sehingga kehilangan autentikasi dan kemerdekaan. Kebaikan serba dilembagakan, disistemkan, diprogramkan, dikemas, dibranding, dicitra-citrakan sebagai kebaikan.
Alhamdulillah-nya, teman-teman Omah Padhangmbulan tidak surut saat berjibaku dengan dirinya menjaga atmosfer saling berbuat baik. Namanya juga berjibaku, tentu ada naik turun, pasang surut, dan itu wajar dan normal karena kita manusia, makhluk seribu kemungkinan. Forum rutin satu minggu sebelum acara pengajian, selain untuk membahas persiapan teknis, juga menjadi wadah untuk saling meneguhkan kembali semangat khidmah.
Sebagai jamaah Pengajian Padhangmbulan pertanyaannya adalah apa yang kita berikan kepada sesama usai menerima atmosfer dan bentangan cakrawala ilmu setiap malam Padhangmbulan? Kita simpan sendiri ataukah kita olah menjadi suguhan yang bermanfaat? Ini pertanyaan bukan undat-undat melainkan untuk membiasakan diri agar kita rajin memberi (take my hand) bukan gemar diberi (give your hand).
Selanjutnya, mari kita buktikan bersama pada hari Ahad, 19 Desember 2021, saat Pengajian Padhangmbulan di Mentoro Sumobito Jombang.
Jagalan, 18 Desember 2021