CakNun.com

Optimisme Nunut bersama Orang yang Kita Cintai

Saya tidak pernah bertemu Bunda Cammana secara langsung. Belum pernah bertatap muka apalagi menghirup udara Mandar. Pengalaman saya baru sebatas menyaksikan video pertemuan Mbah Nun, KiaiKanjeng dan Bunda Cammana di Mandar.

Semoga tulisan ini bukan bentuk kelancangan saya karena nekat menulis ketulusan Bunda. Getaran cinta yang saya uri-uri supaya tidak padam nyalanya mendorong saya menulis ini. Nyuwunsewu kepada para sesepuh Maiyah dan sedulur Mandar atas kenekatan saya.

Kalau tidak diwasilahi oleh Marja’ Maiyah, Mbah Nun dan KiaiKanjeng mungkin saya tidak mengenal sosok Bunda Cammana. Bahkan tidak menutup kemungkinan, karena ketiadaan wasilah itu, saya terjebak pada kekaguman figur urban sufism (istilah yang ditulis Mas Helmi) di mana Beliau hadir dalam bentuk pertanyaan: siapa Bunda Cammana?

Kalau tidak ngintil bersama rombongan cinta Marja’ Maiyah, Mbah Nun dan KiaiKanjeng pasti saya tercecer di belakang lalu menjadi pengagum tokoh dunia yang viral diserbu para follower. Bahkan terbuka segala kemungkinan bagi saya terkurung oleh bias kebenaran dan fanatisme semu, misalnya tentang kemuliaan sanad, siapa yang minna siapa yang minhum, serta sejumlah “GR sejarah” yang dipaksakan sebagai kebenaran.

Kalau tidak diikat oleh kenyataan sejati siapa manusia yang ahsanu taqwim dan siapa yang terjerembab ke jurang asfala saafilin, tidak dibuka cakrawala kesadaran cinta kepada Kanjeng Nabi Muhammad, tidak dibimbing supaya mesra bertadabbur dengan Al-Qur’an, mungkin saya dihadang oleh kegelapan yang tak terperi sehingga yang saya agung-agungkan adalah mereka yang seatmosfer dengan gelapnya egoisme kepentingan saya sendiri.

Saya mengalami semua itu tidak sebagai keniscayaan yang linier dan kaku, parsial dan terpotong-potong, melainkan bergetar dan mengalir secara dinamis-dialektis, meluas dan mendalam, melangit sekaligus membumi.

Tahaddust binni’mah wajib saya tuturkan. Rasa syukur tiada tara kepada-Nya bahwa dalam sekejap hidup saya di dunia Allah menghadirkan Bunda Cammana tidak terutama sebagai tokoh perjuangan kaum feminisme modern, melainkan sebagai manusia yang cinta Beliau kepada Kanjeng Nabi Muhammad mengalir dalam tarikan dan hembusan napas.

Jelas sudah kita berurusan dengan apa — cinta. Hubungan kita dengan Bunda Cammana adalah hubungan cinta. Kita merasakan rengkuhan cinta Beliau: cinta sebagai Bunda kita bersama maupun cinta yang merangkul kita hingga ke pangkuan mulia Kanjeng Nabi.

Saya bukan manusia yang pantas dan jauh dari kemuliaan derajat Bunda Cammana. Optimisme saya adalah optimisme nunut: semoga kelak saya bersama para Kekasih Allah yang saya cintai. Al mar-u ma’a man ahabba. Seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.

Dalam konteks itu kita meniti jalan al-mutahabbuuna fillaah di Maiyah. Bersaudara di dalam, bersama dan karena Allah. Cinta kita bukan kekaguman sesaat yang mudah luntur oleh isu-isu baru yang picisan. Cinta kita di-bahanbakar-i oleh kemauan tandang (biyadinaa) untuk meneladani para kekasih yang memantulkan cahaya uswah hasanah dari Rasulullah. Uswah hasanah dalam hal apa? Sebut saja satu hal, misalnya ngajeni sesama manusia.

Bahkan tali cinta kita bisa berlangsung secara mendasar dan menginti: cinta yang dicahayai oleh Kesadaran Nur. Kita bahkan bersaudara sejak periode cikal bakal ketika alam semesta diproses dalam skenario kun maka fayakuun.

Cinta kepada Bunda Cammana serta kepada para kekasih Allah adalah cinta yang membawa kita pada hulu dan hilir, akar dari segala akar, pokok dari segala pokok, asal penciptaan yang paling cikal dan paling bakal, yaitu Nur Muhammad.

Kendati kita belum menyadari hal itu sepenuhnya, sanggupkah kita mengelak kasunyatan itu?

Teriring doa untuk Bunda Cammana dan semoga nyumrambah kepada kita semua: Al-jannatu wa na’iimuha sa’dun liman yusholli wa yusallimu wa yubaariku ’alaih. Surga dan kenikmatannya menjadi kebahagiaan bagi siapa saja yang bershalawat dan memohonkan selamat serta berkah atas Nabi.

Jagalan, 8 September 2020

Lainnya

Harmonisasi Kemanusiaan

Harmonisasi Kemanusiaan

Manusia kehilangan maknanya. Sejak kecil terdoktrin dalam pendidikan formal untuk mencari kebenaran yang diaktualisasikan dengan mencari kesalahan orang lain.