Manusia Kreatif, Si Khalik Kecil
Telah diperdengarkan ke telinga kita semua kata-kata indah Dr. Edward de Bono, ahli mengajar berpikir kreatif. Di masa depan, orang harus lebih konstruktif. Untuk menjadi lebih konstruktif, manusia harus menjadi kreatif. Persoalan dunia tidak akan menjadi lebih sederhana. Pembangunan ekonomi dan masalah lingkungan akan semakin kompleks. Untuk itu, manusia dituntut lebih kreatif dan konstruktif. Kata de Bono, “cara berpikir” sebagai bagian dari mata pelajaran di sekolah sudah semakin dikembangkan, tak hanya di negeri industri maju, tetapi juga di negara-negara komunis.
Namun, jangan katakan terus terang bahwa di negara-negara berkembang seperti Indonesia, para pelajar dan mahasiswa belum pernah kenal dan diajari “cara berpikir” meskipun memang keahlian utama mereka adalah “cara menghafal”.
Ada dua hal di sisi “cara berpikir kreatif” itu. Pertama, ada semacam kepercayaan yang disepakati oleh hampir semua cendekiawan dan para pengendali sejarah — bahwa apa pun problem yang akan menimpa kehidupan umat manusia, itu selalu disertai kesanggupan manusia itu sendiri untuk mengatasinya. Anda boleh cemas minyak akan habis, umpamanya, namun sertakan optimisme bahwa sebelum malapetaka itu datang, kita sudah akan menemukan wujud energi lain dan pola teknologinya. Juga pada bidang apa pun.
Maka, apa yang dikemukakan oleh de Bono bisa dilihat sebagai salah satu dari tahap antisipasi manusia terhadap ancaman-ancaman hari depan yang — mungkin — diciptakannya sendiri. Memang di hari esok manusia harus lebih kreatif, sebab proses “bunuh diri peradaban” kita selama ini juga serius. Manusia harus lebih konstruktif, karena daya destruksi kita selama ini sudah keterlaluan.
Kedua, soal hukum pemuaian. De Bono menyebut “lebih kreatif” dan “lebih konstruktif”. Lebih. Lebih. Itu suatu “gerak”, suatu “kata kerja”. Satu pemuaian. Dan memang itulah hukum Allah yang mau tak mau harus dipatuhi oleh watak kehidupan manusia. Apa pun punya sifat memuai, dari sel-sel hingga galaksi dan ruang alam semesta. Kalau manusia tidak memuai kesadaran dan ilmunya, berhentilah ia sebagai manusia. Dan pemuaian itu dikerjakan oleh makhluk yang bernama kreativitas. Kalau Anda mendengar Allahu Akbar, itu artinya bukan Allah Maha Besar, melainkan Allah Maha Lebih Besar. Itu berlaku sebagai idiom atau perlambang budaya manusia. Maksudnya bukan bahwa Allah berubah atau memuai dari besar menjadi lebih besar, melainkan kesadaran manusia tentang Allah semakin hari makin memuai, sehingga Allah seakan-akan selalu bergerak makin besar dalam Arasy kesadaran manusia.
Dengan demikian, sejak zaman Nabi Hud pun sesungguhnya telah berlaku jargon “makin kreatif” dan “makin konstruktif”. Kalau tidak, peradaban kita tidak datang ke hari ini. Dengan kata lain, kata-kata indah de Bono itu merupakan repetisi dari suara “kentongan dari masa silam”, meskipun modus-modusnya barangkali berbeda.
Imbauan itu terasa baru hanya karena mungkin tatkala mendengarkannya kita berada dalam keadaan “tidur”. Tapi, toh sebelum tidur kita telah pula berada dalam keadaan “bangun”.
Bagaimana mungkin Anda kaget oleh kentongan kreativitas atau konstruktivitas kalau di sekitar Anda — atau bahkan di genggaman tangan Anda — terletak begitu banyak barang ajaib: berbagai macam hasil teknologi, kepiawaian filsafat, kelicikan berpolitik, karya-karya seni adiluhung maupun linuhung? Apa yang bisa membatalkan kesimpulan bahwa umat manusia hingga abad ke-20 ini telah sedemikian kreatif? Bahkan, para maling dan pencoleng sedemikian jauh sanggup mengkreatifkan modus operandi profesi mereka. Bahkan, para penjahat sedemikian kreatif, sehingga kebanyakan orang tak mengerti bahwa ia penjahat. Bahkan, para ahli hukum bisa saja sebegitu kreatif untuk justru menjadi orang yang mempermainkan hukum. Dan beribu contoh yang lain.
Karena itu, kreativitas sama sekali tidak paralel dengan jaminan bahwa manusia atau sebuah sistem sosial akan bersifat konstruktif terhadap kehidupan warganya sendiri. Kalau kita berbicara soal sikap konstruktif, sumur utamanya bukanlah kreativitas, melainkan etika. Karena kengerian terhadap bias destruktif dari kreativitas di sekitar kita, saya terpaksa lebih memilih “orang baik” — meskipun barangkali tidak cukup kreatif—daripada “orang kreatif” tapi tak terjamin iktikad baiknya. Sederhana saja: kata iklan sebuah produksi semen itu — “jangan sampai pusaka ini jatuh kepada pendekar yang tidak berbudi luhur….”
Manusia, pertama-tama, memang khalik kecil. Jangan marah dulu: ini bukan dalam konteks bahwa Allah itu Khalik dan manusia itu makhluk. Maksud saya dengan “khalik kecil” ialah bahwa manusia sebagai khalifah, diberi hak dan fasilitas oleh Allah untuk berkreasi, untuk merekayasa, untuk mengubah tanah menjadi keramik. Allah bekerja sama dengan manusia dalam tema kreativitas, yang tidak berlaku bagi binatang atau batu-batu.
Tapi “khalik” saja tidak cukup. Manusia juga diberi kesanggupan untuk bari’. Kesanggupan untuk menata, mengurus, mengatur, mendistribusikan. Jika keadilan tak tercapai oleh sistem sosial masyarakat, misalnya, itu namanya ia gagal menata. Kalau kebenaran terjauhi oleh kecenderungan peradaban manusia, itu namanya ia gagal mengurus.
Untuk menata, manusia membutuhkan cara berpikir kreatif. Tetapi, agar penataan itu bersifat kosntruktif, yang diperlukan bukan kreativitas, melainkan akhlak.
Kalau “khalik” telah mengerjakan “akhlak”, baru manusia punya kemungkinan menjadi mushawwir: pelukis, pembangun keindahan, kesejahteraan, dan kebahagiaan yang murni. Tidak semu. Kalau “khalik” saja, tanpa akhlak, gawatlah hari depan. Sebab, manusia bukan “khalik” sejati.
So, lebih dari kreativitas, keselamatan hari depan umat manusia lebih ditentukan oleh akhlak.
23 September 1990
Diambil dari buku Kiai Sudrun Gugat, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, Cet. II, 1995, hal. 163-165