Maniak Profesionalisme dan Teknokratisme
Betapa menakjubkan bahwa dari lingkungan “sistem pendidikan” masyarakat Jahiliyah Makkah lahir manusia agung bernama Muhammad!
Adakah beliau yang tercinta itu pernah digodok di “SLA Bibit Unggul” milik Yayasan Abu Jahal? Adakah kecerdasan beliau, geniusitas beliau, kesarehan beliau, kesejatian nurani beliau, kemutiaraan moral beliau, digosok oleh kurikulum Abu Jahal?
Kenapa teman-teman sekolah dasar Soekarno tidak menjadi orang menonjol seperti anak Blitar itu? Kenapa rekan-rekannya di pendidikan menengah tidak menjadi manusia utama seperti si play boy itu? Kenapa sahabat-sahabatnya di Fakultas Teknik tidak beramai-ramai menjadi Pemimpin Besar Revolusi?
Kenapa sastrawan besar Boris Pasternak atau Yuvtushenko tidak lahir dari negeri merdeka Amerika Serikat? Tapi juga kenapa Emily Dickinson atau Robert Frost secara cemerlang muncul dari negeri para Yankee itu?
Karena ada relativitas sistem.
Manusia bisa dibunuh oleh “penjara”, tapi juga bisa dididik menjadi lebih matang dan besar daya hidupnya. Persis sama dengan “alam bebas” yang sekaligus bisa mematikan kreativitas seseorang dan juga justru merangsangnya untuk menjadi penuh inisiatif hidup.
Itu sunnatullah, yang — sesungguhnya — penuh misteri. Dan karena itu sangat indah. Dan karena itu pula ia tak bisa kita sikapi secara nggampangke rembug.
Sunnatullah atau hukum alam itu berlapis-lapis dan berdimensi-dimensi. Ada yang gamblang di mata dan pengetahuan kita. Ada yang transparan. Ada yang abstrak. Dan ada yang masih gelap sekali bagi kita, bagi pengetahuan manusia.
Jadi, iqra-lah. Dan saya sedang khawatir, atau hampir yakin bahwa lontaran ide al-mukarrom Benny Moerdani tentang Sekolah Bibit Unggul, itu berasal dari keadaan salah baca, terhadap sunnatullah.
Ada tiga jenis manusia.
Yang pertama adalah manusia yang memperoleh kehormatan (karomah) dari Allah untuk memiliki potensi istimewa, tidak terlalu tergantung kepada arus lingkungannya, memiliki kesanggupan untuk “mengatasi gejala”, untuk “transenden” dari hukum sejarah, dan engineering sistem-sistem. Manusia macam ini Anda taruh di sekolah SLB atau sekolah bibit unggul, dia tetap unggul. Anda sekolahkan atau tidak, akan tetap unggul — meskipun itu berlaku pada batas-batas tertentu dan memiliki relativitasnya sendiri.
Manusia macam ini, tak usah Anda daftarkan ke sekolah ulama, ia akan tetap menjadi ulama. Tak usah Anda masukkan ke sekolah maling, akan tetap menjadi maling. Tak usah Anda kirim ke Universitas Khusus Tokoh, ia akan menjadi tokoh. Tak usah Anda didik di Laboratorium Korupsi Nasional, karena akan canggih berkorupsi juga.
Yang kedua, yakni mayoritas manusia, adalah manusia yang memiliki ketergantungan “normal” terhadap lingkungan pendidikannya, terhadap sejarah dan nilai yang membesarkannya. Kalau sekolah mengajarinya cara-cara menindas, ia akan tumbuh menjadi pakar penindas. Kalau sekolah mendidiknya santun solider, ia akan jadi sahabat bangsa. Kalau sekolah mencetaknya jadi robot atau komputer, ia akan tumbuh menjadi robot dan komputer.
Adapun yang ketiga ialah jenis manusia yang kelak insya Allah akan cepat memperoleh kasih Allah. Yakni manusia yang juga tidak tergantung pada sistem yang mendidiknya, tapi dalam kapasitas sebaliknya. Meskipun dia Anda didik jadi jenderal, ia akan tetap manusia-prajurit jua. Meskipun Anda didik jadi pendekar, ia akan berkapasitas pemula terus. Meskipun misalnya ia sudah mengantongi ijazah sarjana (misalnya saking tidak bonafidenya sistem persekolahan kita), sebenarnya ia tetap “anak SD” juga levelnya.
Sesungguhnya, segala rekayasa kependidikan yang diselenggarakan oleh manusia, masyarakat, dan negara dalam kepercayaan atau ideologi apa pun diperuntukkan bagi golongan manusia kedua. Yaitu golongan mayoritas, golongan general, golongan rata-rata, umum.
Bahkan golongan ini pulalah yang menjadi pedoman dan sasaran utama dari segala macam filosofi perjalanan sejarah. Moral lingkungan, kurikulum persekolahan, atau segala macam tuntunan “syariat” kehidupan, distandarisasikan menurut level rata-rata ini.
Adapun golongan upper (pertama) dan under (ketiga) sebenarnya lebih banyak “diurusi” oleh Tuhan melewati berbagai misteri sunnah-Nya. Karena itu ada pengetahuan di sekitar kita bahwa — misalnya — “Pemimpin itu tak bisa dicetak, tapi dilahirkan”. Persis seperti ada juga maling yang sebab-sebab kemalingannya tidak terutama berasal dari dorongan-dorongan lingkungannya, melainkan lebih pada potensi dasarnya.
Terhadap golongan kedua, Anda bisa menyelenggarakan macam-macam. Dalam politik, Anda bisa langsung melakukan mobilisasi, pengambangan massa, atau pengebirian. Dalam kebudayaan Anda bisa lakukan reduksi kemanusiaan, pembinatangan, pensetanan, atau perobotan. Secara keseluruhan — seperti demikian watak utama sejarah umat manusia abad ke-20 ini — Anda bisa menciptakan sistem-sistem beserta segala perangkat dan fasilitasnya yang memegang manusia-manusia ini seperti memegang kepala pion catur, seperti menggenggam tanah liat untuk Anda jadikan keramik apa pun saja sesuai dengan selera atau kepentingan politik Anda.
Dengan demikian jutaan anak-anak yang bersekolah bagi Anda bukanlah manusia-manusia yang akan mengembangkan kemanusiaannya dengan dibantu oleh kurikulum, melainkan alat-alat bagi rekayasa politik dan kesejahteraan yang Anda jalankan. Mereka hanya permadani tempat lewat kaki para tokoh politik. Mereka hanya sekrup dari mesin industrialisasi Yayasan Harapan Anda. Mereka hanya mulut menganga yang Anda jejali makanan sesuka wudel Anda. Mereka hanya instrumen dari kepentingan para pemegang kapital masa depan, di mana mereka berduyun-duyun antre di bawah selangkangan para raksasa itu.
Untuk mengefektifkan proses itu Anda membutuhkan profesionalisasi segala ragam potensi manusia. Kebutuhan profesionalisasi ini sedemikian mutlak sehingga menjadi isme. Kita adalah pejalan “agama” profesionalisme. Dan ketika kita sudah secara gamblang memegang kepala jutaan manusia itu untuk teknokrasi sejarah, maka sisi mata uang lain dari profesionalisme itu adalah teknokratisme.
Salahkah profesionalisme? Itu tergantung.
“Makhluk” yang bernama profesionalisme itu sebenarnya merupakan racikan dari berbagai unsur, misalnya keterampilan, kepekaan, kreativitas, tanggung jawab dan lain-lain, yang kesemuanya amat dituntunkan dalam Islam. Seperti juga etos efektivitas dan efisiensi: jelas sekali konsepnya dalam Islam (hayatilah misalnya kata “mubazir”), meskipun — dalam Islam — hal itu tak berdiri sendiri.
Tak berdiri sendiri? Ya. Sebab kata mas’ul (bertanggung jawab) tentang: sebagai apa Anda profesional? Dalam rangka apa? Ke mana tujuannya? Apa iman dan akidahnya?
Hal itu langsung menyangkut soal teknokratisme. Islam amat mengemban eksistensi manusia, amat memelihara kemanusiaan, bahkan menganjurkan peningkatan maknanya: Manusia diwajibkan untuk tidak hanya menjadi Nâs, tapi juga Mu’min (beriman), Muslim (sumarah ke Allah) dan Muhsin (luhur, baik). Maka sudah pasti Islam dengan frontal menolak sistem yang memperlakukan manusia sebagai instrumen dari hal-hal yang lebih rendah dari kemanusiaan: misalnya industrialisasi, penguasaan politik dan seterusnya. Islam menolak perobotan, pengkomputeran manusia.
Maka kalau akhir-akhir ini kita makin melihat gejala maniak profesionalisme dan teknokratisme dalam pola akidah yang menafikan iman, Islam, dan ihsan: respons kita ada dua macam. Pertama, kita makin prihatin “jenis manusia kedua” makin dirobotkan seperti tentara SS Hitler. Kedua, kita tetap bersyukur karena Allah menyediakan “jenis manusia pertama” yang tetap terlindung dalam sunnah-Nya.
(Diambil dari buku Surat Kepada Kanjeng Nabi, Mizan, Bandung, Cet. I, 1996, hal. 305-309).