CakNun.com

Sinau Bareng Membentangkan Cakrawala Berpikir Qur`aniyah

Catatan Sinau Bareng CNKK di Pesantren Supercamp La Raiba Hanifida, Jombang, 1 Mei 2019
Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 6 menit

Pertanyaan itu cukup bagi kita untuk menjelajahi cakrawala ilmu dan menyelami lautan kesadaran. Demikian pula mempelajari Al-Qur`an pasti terkait dengan pemaknaan yang Allah memerintahkannya melalui idiom tadabbur.

Jelas sudah, Mbah Nun menyampaikan dasar-dasar berpikir untuk membangun peradaban. Tidak berhenti pada upaya tadris dalam lingkungan madrasah, melainkan memuncak pada ta’dib dalam lingkungan ma`dabah, sambil mencermati tahapan-tahapan  ta’lim, tafhim, ta’rif, ta’mil, takhlis.

Yang menarik, selain membentangkan cakrawala berpikir, Sinau Bareng di pesantren Hanifida juga melibatkan jamaah dan para santri mengalami langsung bagaimana menerapkan keseimbangan melalui simulasi kepemimpinan. Personel KiaiKanjeng memandunya secara langsung. Tercipta situasi belajar khas model SuperCamp: nyaman dan menyenangkan serta ditambah satu makna lagi, yakni menyelamatkan. Yang terakhir ini merupakan konsekuensi logis bahwa muslim adalah manusia yang menyelamatkan. Guru dan siswa, petani dan sawah, pejabat dan rakyat — semua berkomitmen saling menyelamatkan dan mengamankan (mukmin).

Inilah Sinau Bareng. Tidak semata-mata berceramah dan menceramahi, tetapi belajar bersama, mengalami kesadaran ilmu bersama, dan tak kalah penting bergembira bersama.

Satu catatan di akhir acara disampaikan oleh Bapak Dr. Hanifudin, pengasuh SuperCamp Pesantren Hanifida. Ada empat tingkat manusia yang mempelajari Asmaul Husna. Pertama, tingkat “di”, yakni memohon agar dicintai dan disayangi Allah yang Maha Rahman dan Rahim. Kedua, tingkat “me”, yakni memohon kepada Allah agar menjadi manusia yang mencintai dan menyayangi hamba-Nya. Ketiga, setelah “di” dan “me” sifat Rahman dan Rahim menjadi karakter pribadi. Keempat, ternyata kita bukan siapa-siapa. Kita adalah hamba Allah, khalifatullah, yang ahsanu taqwim.

Dipungkasi oleh Ibu Ida yang bercerita pengalaman nyata tentang jerih payah membangun pesantren Hanifida, saya menemukan gathukan dengan ayat falya’buduu rabba hadzal bait, yang dibaca santri di awal acara sesuai permintaan Mbah Nun. “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Q.S. Al-Quraisy: 3-4)

Awal dan akhir nyambung, bertemu dalam satu titik, menjadi lingkaran. Bukankah ini juga sebuah ‘Ajibah Maiyah? (Achmad Saifullah Syahid)

Lainnya

Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan

Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan

DUA PULUH LIMA tahun adalah waktu yang tidak sebentar. Dalam perhitungan manusia, usia itu biasa disebut sebagai titik awal kedewasaan—masa di mana seseorang mulai menentukan arah hidupnya.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik