CakNun.com

Sinau Bareng Membentangkan Cakrawala Berpikir Qur`aniyah

Catatan Sinau Bareng CNKK di Pesantren Supercamp La Raiba Hanifida, Jombang, 1 Mei 2019
Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 6 menit

Metodologi dalam Al-Qur`an mestinya diterapkan untuk memahami makna, tema dan bidang apa saja, mulai dari rumus-rumus fisika-kimia, keseimbangan alam semesta, kepemimpinan, pendidikan, perdagangan hingga penerapan taktik sepak bola.

Sayangnya, dunia akademik memperlakukan Al-Qur`an secara terbalik: Al-Qur`an dijadikan bahan atau objek kajian. Sedangkan metodologinya menggunakan cara berpikir filsafat barat. Salah satu produknya adalah menjadikan Syariah sebagai salah satu fakultas di Perguruan Tinggi Islam.

Berangkat dari perspektif tersebut Mbah Nun mengawali Sinau Bareng dengan mengajak jamaah fokus pada akal manusia yang diciptakan Tuhan dengan potensi yang luar biasa. Diuraikan oleh Mbah Nun kehebatan akal dalam waktu satu detik sanggup menangkap 40 citra kesadaran. Itu baru hasil kerja alam sadar. Bagaimana dengan alam bawah sadar? Ia bahkan sanggup menangkap dan menyimpan 1.200.000 frame informasi dalam waktu satu detik.

Persoalannya, bagaimana kita menata dan mengendalikan informasi alam bawah sadar yang melimpah ruah itu? Adalah dengan ajeg berdzikir, membaca wirid atau shalawat, serta terus menerus mengoptimalkan pertimbangan logika jatah 40 yang dikendalikan oleh alam sadar.

Menyempurnakan pemaparan tentang struktur akal dan sistem berpikir, Mbah Nun meminta seorang santri membaca surat An-Nur ayat 35. ”Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Belum jangkep memang menguraikan akal, sistem berpikir, cakrawala ilmu tanpa memaknai dan mentadaburi An-Nur 35. “Allah langsung menyatakan Diri sebagai Cahaya langit dan bumi,” ungkap Mbah Nun. “Pelajari bentuk kata dan struktur kalimatnya. Kita bisa menemukan metodologi untuk memahami manusia.”

Dari uraian yang disampaikan Mbah Nun, kita mencatat beberapa poin, di antaranya harus ada kerja sama yang seimbang antara akal, hati, perut dan syahwat. Penyakit manusia modern adalah menempatkan fakultas-fakultas kesadaran dirinya tidak sebagai kesatuan yang utuh dan padu. Fakultas hati berjalan sendiri tanpa menunggu pertimbangan logis dari fakultas akal.

Pertengkaran di media sosial yang ditulis dalam “status” — padahal hal itu tidak lebih dari sekadar buang air besar—lalu berakibat saling serang, saling menyalahkan dan saling menjatuhkan, menunjukkan lemahnya manajemen koordinasi antar fakultas kesadaran dalam diri manusia. Jelasnya, menulis status di media sosial cukup melewati dua tahap: apa yang dilihat langsung ditulis oleh jari-jari tanpa melewati pertimbangan akal dan hati. Manusia berhasil menciptakan situasi berpikir yang cekak, cupet, dan cingkrang bagi dirinya sendiri.

Oleh karena itu, di hadapan jamaah dan para santri Mbah Nun menawarkan perspektif cara berpikir yang tidak hanya menghitung laba hari ini saja, melainkan menantang kesanggupan kita agar tangguh menanam kebaikan walaupun buah dari tanaman itu kelak anak cucu yang menikmatinya.

Idiom yang digunakan untuk menjelaskan itu semua cukup sederhana. “Ada ilmu yang seperti rumput. Tumbuh dalam waktu yang cukup singkat. Ada pula yang seperti padi, durasi panennya dalam hitungan bulan. Ada ilmu yang buahnya berjangka waktu tahunan bahkan puluhan tahun seperti pohon jati,” jelas Mbah Nun.

Yang berjangka panjang itu bergantung pada kesanggupan kita mengamalkan dan memaknai ilmu. Demikian pula menjalani hidup sehari-hari hendaknya tidak lepas dari upaya pemaknaan terhadap realitas di sekitar kita. “Kita memutuskan makan nasi karena yang di hadapan kita adalah nasi ataukah hasil pemahaman bahwa yang di depan kita adalah nasi?” tanya Mbah Nun.

Lainnya

Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan

Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan

DUA PULUH LIMA tahun adalah waktu yang tidak sebentar. Dalam perhitungan manusia, usia itu biasa disebut sebagai titik awal kedewasaan—masa di mana seseorang mulai menentukan arah hidupnya.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik