CakNun.com
Maiyahan Cak Nun dan KiaiKanjeng ke-4137

Riyadloh Gondelan Jubahe Kanjeng Nabi

Sinau Bareng di Lapangan HSS Bungah Gresik, Senin, 16 Desember 2019
Ahmad Irham Fauzi
Waktu baca ± 6 menit

Jamaah Maiyah sudah terlatih pada atmosfer Sinau Bareng yang selalu dinamis. Setelah khusyu’ menyimak uraian Gus Mus, jamaah menikmati tayangan video “Surga Indonesia” yang disiapkan khusus oleh H. Ipung, shohibul bait. Sembari menikmati kuliner yang disediakan gratis oleh panitia, dan menyeruput kopi panas yang dikelilingkan para penjaja, jamaah mencerap pesan nasionalisme yang begitu kental dari video itu. Optimisme untuk menjadi bangsa yang besar kelak kemudian hari disuntikkan oleh H. Ipung.

“Kalau Indonesia adalah novel, siapa sajakah yang berhak menjadi penulisnya?” ujar Mas Sabrang memancing jamaah. Ia menegaskan bahwa setiap anak bangsa memiliki hak yang sama untuk bersuara dan menuliskan narasi novel Indonesia. Tapi mudahkah menuliskan isi kepala yang berjumlah jutaan rumusan ke dalam rangkaian kalimat yang indah? Dari titik itulah Mas Sabrang kemudian menggelar workshop singkat.

Dibantu Mas Doni, Mas Patub dan Mas Jijid, ia memandu simulasi. Tiap jamaah yang menerima mic diminta untuk urun satu kata. Dari sepuluh jamaah didapatkan sebuah kalimat terdiri dari sepuluh kata. Kemudian dibaca ulang dan dinilai bersama, seberapa tepat dan seberapa indah kalimat hasil rangkaian sekian kepala itu.

Tak pelak, tiga kali putaran simulasi memberikan bukti kuat betapa sangat tidak mudah merangkai sekalimat utuh nan indah tentang Indonesia. “Dalam membangun kebersamaan, dibutuhkan kemampuan mendengarkan yang lain,” satu poin ditandaskan Mas Sabrang. Meluncurkan satu kata saja, jika tanpa didasari dengan kesadaran relevansi dengan tahap sebelumnya dan ancang-ancang ketersambungan di tahap berikutnya, maka akan merusak tahapan, minimal bikin ruwet.

Selaras dengan ihwal membangun kebersamaan, Mas Sabrang berbagi filosofi pemegang cahaya. Barangkali dalam hidup ini memang tidak semua orang pegang cahaya. Namun, jika ada satu saja pemegang cahaya, semua di sekitarnya akan turut menikmati terangnya. Ia lantas mendorong para jamaah untuk wani tandang berinisiatif menjadi pemegang cahaya, di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa yang diliputi hawa gelap ini.

Secara jeli, Mas Sabrang pun mengingatkan ribuan kizano nan milenial di hadapannya, agar tak keliru mengidentifikasi lawan. “Musuh pemegang cahaya bukanlah pemegang cahaya yang lain. Spektrum cahaya bisa bisa berupa beragam warna. Maka perbedaan warna cahaya tidak untuk saling menegasikan. Musuh utama pemegang cahaya adalah kegelapan,” tegasnya. Mas Sabrang juga mengingatkan kembali perihal tiga jenis generasi: generasi penerus, generasi pendobrak, dan generasi pembaharu.

Suasana Sinau Bareng lantas disegarkan dengan beberapa nomor Letto. “Permintaan Hati”, “Ruang Rindu”, dan “Sebelum Cahaya” dibawakan Mas Sabrang dengan iringan musik KiaiKanjeng. Corak eksploratif khas KiaiKanjeng menjadikan lagu-lagu Letto itu malam ini kian istimewa. Melompat dari genre pop ke dangdut, lalu lompat lagi ke keroncong sebelum kembali ke pop, ditambah dengan permainan lighting panggung yang ngedap-ngedapi, dan kualitas sound system yang mumpuni, membuat Lapangan HSS-Bungah berkilauan cahaya selayaknya konser musik yang berkelas.

Tiga kelompok yang tadi mendapat tugas diskusi, tiba saatnya mempresentasikan hasilnya. Masing-masing juru bicara kelompok bergantian menyampaikan paparan. Jika disarikan dari ketiga kelompok, untuk skala individual, yang patut diteladani dari Kanjeng Nabi di antaranya adalah sifat kasih sayangnya, penyabar, pemaaf, dan tidak pendendam.

Pada skala keluarga, mereka mencatat teladan; romantis pada istri, nrima ing pandum, pendidik ulung bagi anak cucu. Pada skala masyarakat dan negara, diungkapkan oleh mereka bahwa Kanjeng Nabi adalah pemimpin yang paling mengerti umat yang dipimpinnya. Dengan keempat sifatnya (shiddiq, fathonah, tabligh dan amanah), beliau berhasil membangun peradaban Madinah, sebuah peradaban yang paling layak menjadi rujukan utama bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa sekarang.

Setelah mengapresiasi anak-anak muda itu, Mbah Nun menggarisbawahi serangkaian proses Sinau Bareng malam ini sebagai riyadloh, yakni sinau dengan totalitas menggunakan segenap potensi diri, demi menemukan titik keseimbangan.

Setelah Allah menciptakan malaikat dengan muatan asas kepatuhan, Ia menciptakan jin yang kandungan utamanya berasas kemerdekaan dan kebebasan. Kemudian Allah menciptakan makhluk bernama manusia yang posisinya menjaga keseimbangan. Sebuah perluasan ilmu yang menggenapi khasanah sinau bareng malam ini. Dengan meminta Kyai Muzammil mengutip Surat Ar Rahman, Mbah Nun menghadirkan tadabbur atas peran tiada henti di pundak manusia; mencari titik keseimbangan.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik