CakNun.com

Radikalitas Maiyah

Catatan Kenduri Cinta edisi 16 November 2019

Apa itu, radikal? Kenapa kata itu menjadi penting sekarang sampai dibahas di media dan antar kelompok, organisi agama bahkan institusi pemerintahan?

Jika dilihat dari asal-usul kata dalam bahasa latin istilah radikal berasal dari kata radix yang artinya akar.

Sejalan dengan hal ini, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengartikan istilah radikal ini sebagai: “Segala sesuatu yang sifatnya mendasar sampai ke akar-akarnya atau sampai pada prinsipnya”.

Jadi, radikal itu artinya akar, atau root dalam bahasa Inggris, sesuatu yang fundamental. Apakah karena itu orang-orang yang ingin kembali ke akar-akar mereka melakukan sesuata yang bersifat radikal, dan apakah radikal perlu memiliki makna yang berkonotasi negatif?

Sampai sekarang, kata radikal, radikalisme dan bahkan fundamentalisme memang membawa konotasi yang negatif di media massa, baik di dalam dan luar negeri.

Dalam beberapa literatur lain, disebutkan bahwa radikalisme adalah suatu paham yang menginginkan sebuah perubahan atau pembaruan dengan cara drastis hingga ke titik paling akar. Bahkan, untuk mencapainya melibatkan banyak cara hingga yang paling ekstrim: kekerasan baik simbolik maupun fisik.

Dalam definisi tersebut, siapa yang berhak untuk memutuskan apa yang radikal dan apa yang bukan radikal? Dan kapan sifat yang ekstrem itu punya alasan kuat dan untuk apa?

Sekarang ini, kata-kata seperti radikal dan ekstrim sering disebut di media, baik antara kelompok maupun individu dalam konteks agama. Ini bukan sesuatu hal yang baru. Selama berberapa puluh tahun, kata-kata seperti radikalisme dan radikalitas dikaitkan dengan gerakan agama, dan fenomena terorisme.

Hampir setahun yang lalu, di bulan Desember 2018, saya membahas kebebasan pers dan media di Indonesia. Saya menyebut Indonesia memiliki pers dan media yang jauh lebih luas dan bebas daripada negara-negara lain. Tetapi, untuk mencapai kebebasan itu, kita harus berjuang keras dan selama proses itu, Mbah Nun dan kawan-kawan di Maiyah selalu berjuang di barisan paling depan.

Kita harus berjuang untuk melahirkan Maiyah di Indonesia dan insya Allah di luar negeri. Dan selama proses itu kita memang kembali ke akar-akar agama kita dan nilai-nilai Nabi Muhammad SAW. Sifat kita memang mendasar, sampai ke akar-akarnya, dan juga sampai pada prinsipnya.

Maiyah itu sangat radikal dalam toleransi dan perlindungan minoritas, dan betul-betul fundamental dalam pikiran bahwa Maiyah adalah peradaban baru di dunia.

Pandangan Mbah Nun

Semua Jamaah Maiyah berutang besar kepada Mbah Nun. Dalam refleksi untuk edisi Kenduri Cinta edisi November 2019 ini, Mbah Nun menyampaikan bahwa:

  1. Ternyata Maiyah adalah proses menggali, mencari, menghimpun dan merumuskan kembali ilmu dan pengetahuan yang diperlukan oleh ummat manusia untuk mencapai kebaikan, kesejahteraan dan keamanan di antara dan di dalam kehidupan mereka.
  2. Penghimpunan wacana Maiyah itu dari level Ilmu Dasar Kehidupan, Asas Kemanusiaan, Filosofi, Ideologi hingga teknis muatan-muatan Peradaban. Lingkupnya semakin melebar dari yang sederhana hingga yang sophisticated. Dari yang keseharian hingga pembidangan ragam ilmu-ilmu. Dari kebudayaan, kesehatan, pendidikan, ekonomi, politik, pertanian, psikologi, spiritualitas, manajemen dan apa saja yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Ilmu dasar itu adalah sesuatu yang fundamental.
  3. Semakin eksplorasi Maiyah meluas dan mendalam semakin ditemukan bahwa pandangan-pandangan Maiyah sangat berbeda, bahkan bertentangan, dari tingkat yang permukaan hingga substansial. Seakan-akan Maiyah adalah Sekolah Baru untuk menyiapkan dan menata Peradaban Baru Dunia.
  4. Tahapnya sekarang Maiyah berpikir keras bagaimana menerapkan dirinya di tengah atau terhadap tata nilai Peradaban yang sedang berlangsung pada kehidupan ummat manusia di muka Bumi. Sejauh yang sudah berlangsung, Maiyah mengalir dan berkembang tidak sebagai musuh Peradaban Manusia Modern, melainkan sebagai fenomena nilai-nilai baru yang sangat dibutuhkan oleh dunia.
  5. Karena Maiyah mengutamakan kebijaksanaan, di mana kebenaran dan kebaikan tidak dibenturkan atau dipaksakan, melainkan dibijaksanai — Maiyah sampai hari ini menjadi ruang publik yang paling merdeka, aman, kreatif dan mengandung kecerahan masa depan. Maiyah tidak berbenturan dengan pagar-pagar politik global yang menjebak dan mempersempit kehidupan ummat manusia dengan pemaksaan wacana seperti radikalisme, fundamentalisme, bahkan potensi jebakan pada idiom rasisme, pun nasionalisme dst.
  6. Tidak masalah Maiyah akan terwujud atau tidak. Tidak menjadi obsesi dan beban apakah Maiyah akan teraplikasi atau tidak potensinya untuk menjadi Alternatif Peradaban Baru Dunia. Yang harus dipastikan adalah Masyarakat Maiyah sendiri bekerja total, ikhlas dan percaya diri mewujudkan nilai-nilainya di “Negeri Maiyah” sendiri.

Inilah akar-akar dari nilai-nilai Maiyah. Tugas kita adalah untuk membawa mereka dalam kehidupan kita masing-masing dan untuk mewujudkanya dalam bentuk real dan substansial. Itu baru sesuatu yang radikal dan fundamental. Jangat takut dengan radikalisme dan fundamentalisme. Itu adalah sesuatu yang dasar dan positif dalam konteks Maiyah.

Lainnya

Mensyukuri ‘Ajibah Maiyah

Mensyukuri ‘Ajibah Maiyah

Ketika tema ‘Ajibah diuraikan oleh Habib Anis dan Kyai Muzamil, telah rawuh Cak Fuad dan Syekh Nursamad Kamba.