Laa Ubali
Duka derita duka laraku di dunia,
Tidaklah aku sesali juga tak akan aku tangisi,
Sesakit apapun yang kurasakan dalam hidupku,
Semoga tak membuatku kehilangan jernih jiwaku.
Andaikan dunia mengusir aku dari buminya,
Tak akan aku merintih juga tak akan aku menangis,
Ketidakadilan yang ditimpakan oleh manusia
Bukanlah alasan bagiku untuk membalasnya.
Asalkan karena itu Tuhan menjadi sayang padaku,
Segala kehendak-NYA menjadi syurga bagi cintaku,
Bukanlah apa kata manusia yang kuikuti,
Tetapi pandangan Allah...
Tuhanku yang kutakuti...
Ada tiadaku semata-mata milikNYA jua.
Bait-bait di atas adalah lirik lagu Sayang Padaku yang sering dibawakan oleh KiaiKanjeng. Jika diresapi, isi lagu tersebut senada dengan sikap orang Maiyah yang terinspirasi dari sikap Mbah Nun yang meneladani Kanjeng Nabi.
In lam takun ‘alayya ghodlobun fala ubali. Asalkan Engkau, wahai Tuhan, tidak marah kepadaku, maka kuterima apa saja nasibku di dunia, bahagia atau derita, dijunjung atau dibanting, nyaman atau sengsara, hidup atau mati, ada atau tiada. Laa ubali, gak pathèken.
Sebagai orang Maiyah, sudah seberapa tepatkah kita meneladani sikap tersebut?
Ataukah jangan jangan sikap “Laa Ubali” kita hanyalah dalih pembenaran atas sikap apatis kita, sikap ketidak-disiplinan, atau sikap “sak enak udele dhewe” kita yang kemudian tanpa kita sadari justru membuat Allah marah pada kita.
Mari kita melingkar bersama, mengaji, mengkaji, berdiskusi, dan saling berbagi agar menemukan ketepatan dalam ber “Laa Ubali”.