CakNun.com

Agus Leyloor: Reriungan untuk Mlungsungi

Odi Shalahuddin
Waktu baca ± 2 menit

“Sekarang ini, kecenderungannya semua mencari kesalahan orang lain, bukan kebenaran orang lain. Manusia itu adalah tempatnya salah dan dosa. Karena itu, kita mengingatkan, bahwa kita itu manusia, suka membuat kesalahan,” demikian dinyatakan oleh Agus Prasetiya yang lebih dikenal dengan panggilan Agus Leyloor, salah satu pemain dalam pementasan “Mlungsungi” yang akan digelar oleh “Reriungan Teater Yogyakarta”.

Agus Leyloor berperan sebagai Durgoneluh.
Ilustrasi oleh Vincensius Dwimawan.

Leyloor memprihatinkan pula kecenderungan penyelesaian masalah yang sedikit-sedikit membuat laporan ke kepolisian kendati secara hukum sah adanya. Banyak hal yang dipolitisir, dan pelakunya tidak terbatas lagi oleh para politikus. Jadi, hidup di masa sekarang memang harus berhati-hati. “Kalau dibiarkan terus-menerus, negara ini dapat hancur,” lanjutnya, “Oleh karena itu marilah kita ‘mlungsungi’ pemikiran dan tindakan kita.”

Situasi yang diungkapkan tercermin dalam naskah “Mlungsungi” yang ditulis oleh Cak Nun yang sarat kritik sosial. Berbagai pandangan atas situasi serta gagasan Cak Nun terhadap manusia-manusia di nusantara, guna membangun sesuatu yang baru, ditawarkan untuk “mlungsungi”. “Kalau ular, mlungsungi, berganti kulit, warna kulitnya tetap sama, hanya penampilannya menjadi lebih muda. Kalau manusia berubah kulitnya, berubah perbuatannya. Itu penangkapan saya,” kata Agus Leyloor.

Karena itu, Agus Leyloor merasa mendapat pengakuan dari kawan-kawan sesama seniman, lantaran dilibatkan dalam pementasan “Mlungsungi”. Jadi, saat ia ditawari oleh Cak Nun, Godor, dan Edo, ia langsung menyanggupi. Terlebih naskah yang ditulis Cak Nun ini merupakan pemenuhan janji yang pernah dilontarkan di tahun 1972 kepada Azwar AN. “Azwar AN adalah guru saya. Semangat saya di situ,” ungkap Leyloor.

Ya, pergulatan Agus Leyloor dalam kehidupan teater dimulai di Teater Alam pimpinan Azwar AN. Ia bergabung di tahun 1978 ketika masih duduk di kelas satu SMA. Kemudian ia bergabung dengan Teater Muslim yang dipimpin oleh Pedro Sujono karena ingin belajar tentang teater realis. Berikutnya, ia lebih banyak menjadi pemain freelance, yang terlibat dalam pementasan-pementasan yang dilakukan oleh berbagai kelompok teater seperti; Teater Jeprik, Teater Shima, Teater Gandrik, Sanggarbambu, Teater Aksara, dan sebagainya.

“Kegelisahan tentu bukan hanya dialami oleh Cak Nun saja. Banyak orang juga mengalami kegelisahan. Sebagai seniman dan juga berlatar belakang santri, Cak Nun menggunakan naskah dan pementasan sebagai salah satu ruang aspirasinya. Menurut saya, penguasa, kalau ada kritik dari teater tidak perlu gusar, sejauh tidak melakukan perbuatan yang tidak benar. Penguasa kadang-kadang merasa bahwa kritik dianggap berbahaya,” lanjut lelaki yang dilahirkan di Yogyakarta, 12 Agustus 1960 ini.

Agus Leyloor menyambut baik berhimpunnya berbagai orang lintas generasi dan lintas kelompok ke dalam ‘Reriungan’ ini. “Jika dikatakan tiga generasi, sebenarnya lebih. Saya menganggap Bengkel Teater sebagai Mbah saya, sedangkan saya juga sudah memiliki murid, yang di antaranya juga sudah membangun kelompok teater sendiri. Jadi empat atau lima generasilah.”

Jika dipertahankan Reriungan ini, dinilai oleh Agus Leyloor akan mengakrabkan para seniman teater dari berbagai sanggar atau kelompok teater. Kekompakan yang dibutuhkan seniman akan terbangun. Ini akan menjadi kekuatan dari seniman.

Agus Leyloor berharap dalam pementasan “Mlungsungi” ini masyarakat atau audience dapat menangkap atau mendapatkan sesuatu yang bisa dipikirkan tentang situasi negeri ini. Apakah benar demikian? Apakah keadaannya memang demikian? Masing-masing penonton tentu memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Karya seni memang bukan karya skripsi atau karya ilmiah. Jadi tidak bersifat denotatif melainkan konotatif. Jika berpikir demikian, penonton diharapkan dapat menangkap karya sastra dan dapat tercerahkan.

“Hal yang terpenting adalah mari bekerja bersama. Yang bagus didukung, yang tidak benar, kita katakan tidak benar,” anjur sosok yang berperan sebagai Durgoneluh ini.

Ilustrasi: © Vincensius Dwimawan

Lainnya

Berdoa dalam Gerak

Berdoa dalam Gerak

Kalau yang dimaksud berdoa adalah membaca kalimat “Allahumma” atau “Rabbana” atau “Innaa nas’aluka”, lalu yang di luar fakta tekstual itu tidak dinyatakan sebagai doa, kita perlu menata ulang perspektif berpikir.

Achmad Saifullah Syahid
A. Saifullah Syahid

Topik