CakNun.com

Tafsir Rakyat tentang Jalan Perubahan

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 2 menit
Photo by Javier Allegue Barros on Unsplash

Dulu orang biasa diberi ikan. Sekarang orang mau diberi pancing. Sebagian orang menyebutnya kemajuan, sebagian lagi menyebutnya beban baru. Yang satu bilang: ini keadilan yang mencerahkan, yang lain bilang: ini keadilan yang membingungkan.

Sebab masalahnya begini: pancing itu memang bagus, tapi bagaimana kalau yang diberi pancing belum pernah tahu apa itu pancing? Belum pernah memegang, belum pernah melihat orang mancing, bahkan belum tahu bahwa ikan itu bisa dicari sendiri. Kalau tiba-tiba diberi alat pancing, bukannya memancing ikan, malah ujung mata kail bisa melukai jari sendiri.

Zaman ini memang aneh. Orang dipaksa lari sebelum belajar jalan. Diberi peta sebelum tahu mana arah timur dan barat. Lalu disuruh mendayung sebelum tahu apa itu perahu. Bahasa kebijakan sekarang adalah: “memberdayakan”, “mengedukasi”, “mentransformasikan”, tapi rakyat di dusun bilang: “Kami bingung, Kang. Ini aturan baru, tapi tak ada yang ngajari.”

Dulu ada uang tunai yang digelontorkan langsung ke desa. Ada yang menyalahgunakannya, tapi banyak juga yang bisa beli pupuk, bangun jembatan kecil, atau setidaknya beli beras untuk dua minggu. Sekarang katanya tak ada lagi uang cash, semua dalam bentuk “alat” pemberdayaan. Tapi rakyat kebingungan: “Kalau tak ada uang, bagaimana kami bisa beli kailnya? Bagaimana kami bisa beli umpan, beli senar, beli pelampung?”

Kita ini sedang hidup di zaman yang terlalu cepat. Negara mau rakyatnya seperti Jepang, padahal rakyatnya baru sampai tahap belajar seperti Vietnam tahun ’70-an. Ini bukan soal meremehkan kemampuan bangsa sendiri, tapi soal menyadari bahwa perubahan itu bukan cuma soal sistem, tapi soal manusia.

Lalu rakyat bertanya dengan polos: “Kalau sekarang kami disuruh memancing, siapa yang akan ngajari kami caranya? Apakah ada pelatihan di balai desa? Apakah ada orang yang akan menemani kami duduk di pinggir sungai, mengajari cara mengayun joran, menunggu sabar hingga ikan menyambar?”

Kalau tidak ada itu semua, maka ‘pancing’ itu hanyalah mitos. Alat yang dibanggakan oleh pemerintah, tapi tak bermakna di tangan rakyat. Sama seperti memberi buku kepada orang buta huruf. Atau memberi alat musik kepada orang yang belum tahu do-re-mi.

Dan akhirnya, rakyat akan kembali rindu pada ‘ikan’ yang dulu diberikan. Bukan karena mereka malas, tapi karena mereka dibiarkan sendiri di tengah samudra perubahan. Karena mereka tidak diberi guru yang sabar, tidak diberi waktu yang cukup untuk belajar. Karena di atas semua itu, mereka tidak diajak bicara sejak awal.

Pembangunan bukan sekadar memberi alat, tapi menumbuhkan harapan, membangun pemahaman, dan menciptakan ruang belajar yang manusiawi. Sebab negara ini bukan hanya tentang angka pertumbuhan, tapi tentang wajah-wajah petani, nelayan, tukang ojek, dan ibu rumah tangga yang ingin hidup lebih baik—tapi dengan cara yang mereka mengerti, dengan bahasa yang mereka pahami.

Sebab revolusi yang abadi adalah revolusi kasih sayang. Dan kasih sayang tidak pernah memaksa orang untuk pandai seketika. Ia menemani, sabar, pelan-pelan, dan membumi. Itu yang dulu dimiliki desa, tapi kini makin langka di kota-kota. []

Sambi Resort, 12 Juni 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Topik