CakNun.com

Menara Gading di Atas Lumpur Kemiskinan

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 4 menit
Dok: Rumah Sawah

Di brosur kampus, masa depan selalu tampak indah. Langit biru diambil dari drone, gedung baru memantulkan matahari sore, dan senyum mahasiswa multiras yang tampak seperti model skincare. Di bawahnya tertulis: World Class University. Sustainable Campus. AI-Driven Learning Environment. Slogan yang terdengar seperti mantra futuristik—tapi di dalam ruang kuliah, infokus masih macet dan dosen masih berteriak, “Siapa yang bawa kabel HDMI?”

Di zaman ketika “ranking” lebih berarti daripada “makna”, universitas kita berubah jadi etalase. QS dan THE menjadi kitab suci baru; dekan-dekan berdoa agar nama kampusnya naik sepuluh peringkat, seolah keselamatan bangsa ditentukan oleh lembaga di London yang bahkan tak tahu Sleman itu di mana. Kampus bukan lagi ruang berpikir, tapi ruang branding. Laboratorium ide berubah jadi pabrik akreditasi.

Mahasiswa menjadi angka—dalam borang, tabel Excel, dan laporan self-assessment. Dosen bergegas mengejar publikasi Scopus, kadang lebih sibuk menulis “artikel bereputasi” daripada membimbing riset mahasiswanya sendiri. Sementara itu, para sarjana—produk final dari mesin yang disebut pendidikan tinggi—berbaris rapi di job fair, menyerahkan CV seperti pengakuan dosa di depan altar industri.

Ironinya, makin tinggi peringkat kampus, makin rendah daya hidup lulusannya.
UI naik peringkat dunia, tapi banyak alumninya justru sibuk membuat side hustle menjual kopi literan. ITB bangga dengan Center of Excellence, tapi lulusan tekniknya bekerja membuat template PowerPoint. UGM menelurkan ribuan sarjana sosial, tapi masyarakatnya tetap sosial hanya di media sosial.

Mungkin karena pasar kerja tidak membaca jurnal Scopus. Ia tidak peduli pada impact factor, hanya pada kemampuan hidup: adaptasi, komunikasi, kolaborasi, dan keberanian untuk tidak baper ketika dunia berkata, “Maaf, posisi sudah terisi.”

Kebijakan “magang dibayar” seolah menjadi oase. Tapi di lapangan, “dibayar” berarti tujuh ratus lima puluh ribu rupiah—cukup untuk ongkos Transjakarta dan dua gelas kopi non-diskon.
Kampus bangga karena partnership with industry meningkat, tapi mahasiswa tahu: mereka sedang disiapkan menjadi buruh digital yang efisien dan patuh. Work readiness, katanya. Padahal lebih tepat budget readiness—siap bekerja dengan gaji minimum dan ekspektasi maksimum.

Seseorang pernah berkata, universitas adalah “tempat bangsa menyiapkan masa depannya.” Tapi masa depan macam apa yang disiapkan oleh kampus yang lebih sibuk berfoto dengan rektor universitas asing daripada berdialog dengan petani di Bantul? Apakah “internasionalisasi” berarti kehilangan arah nasional?

Bayangkan: riset tentang pangan diarahkan untuk memenuhi citation index, bukan untuk menolong petani dari harga gabah yang stagnan. Mahasiswa teknik diminta membuat inovasi berlabel green energy, tapi kampus masih menyalakan pendingin ruangan 24 jam di ruang dosen. Laboratorium sosial dibanjiri survei, tapi kehidupan masyarakat tetap seperti lembaran kuesioner yang tak pernah dibaca kembali.

Mungkin sudah saatnya kita bertanya dengan getir tapi jujur: Untuk siapa kampus ini sebenarnya dibangun? Untuk bangsa, atau untuk ranking sheet?

Barangkali, kampus perlu berhenti sejenak dari lomba internasional itu dan menatap ke dalam negeri sendiri—tempat di mana ribuan sarjana masih bingung menjawab pertanyaan sederhana: “Kerja di mana sekarang?” Ranking kampus seharusnya diukur bukan dari berapa banyak jurnal Scopus yang terbit, melainkan dari berapa banyak lulusannya yang bisa hidup layak, berpikir merdeka, dan menciptakan perubahan kecil yang nyata.

Di masa lalu, pengetahuan tumbuh dari tanah dan air—bukan dari indikator dan grant proposal. Orang Nusantara belajar dari angin, dari bintang, dari fermentasi singkong yang menjelma tape. Ilmu datang dari pengalaman, dari percakapan dengan alam, bukan dari format APA Style. Barangkali di situlah kampus sejati pernah hidup: dalam tubuh masyarakat, bukan di balik kaca gedung bertingkat.

Maka jika suatu hari nanti kita ingin universitas kembali bermakna, mungkin jawabannya bukan pada QS Ranking, tapi pada keberanian untuk kembali belajar dari bumi sendiri. Dari tangan petani, nelayan, dan perajin jamu yang mengerti bahwa ilmu sejati bukan untuk menaikkan peringkat, tapi untuk menegakkan kehidupan. Sebab pengetahuan yang sejati—seperti singkong yang direbus—tidak perlu world class untuk mengenyangkan.

Mungkin sudah saatnya kita mengubah cara kita menilai apa itu “kelas dunia.” Bukan dari berapa banyak publikasi yang terdaftar di Scopus, bukan pula dari seberapa banyak dosen tampil di konferensi luar negeri dengan bahasa Inggris yang canggung. Ukuran kelas dunia seharusnya tak diambil dari indeks yang disusun di London, tapi dari denyut yang terasa di tanah air sendiri.

Dari jumlah riset yang betul-betul berdampak langsung pada masyarakat Indonesia—bukan riset yang berakhir di rak perpustakaan atau jurnal berbayar, tapi yang menyalakan listrik di desa terpencil, memurnikan air di pelosok, atau memperpanjang napas petani kecil yang melawan tengkulak. Sebab ilmu, pada akhirnya, hanya punya arti jika mampu mengubah kehidupan, bukan sekadar menaikkan angka citation.

Juga dari berapa banyak alumni yang menciptakan pekerjaan, bukan mencari pekerjaan. Karena ukuran keberhasilan pendidikan bukanlah panjangnya antrean di bursa kerja, melainkan seberapa luas lapangan baru yang dibuka oleh keberanian dan imajinasi anak didiknya. Universitas sejati melahirkan pencipta, bukan pelamar; ia menumbuhkan manusia yang berani berdiri di antara kegelisahan dan harapan, lalu berkata: “Kalau pekerjaan belum ada, biar saya yang memulainya.”

Dan tentu, dari kepuasan rakyat, bukan sekadar citation index. Karena universitas bukan menara gading untuk memuaskan ambisi akademik semata, tapi bagian dari denyut republik. Jika rakyat merasa hidupnya lebih mudah karena teknologi dari laboratorium kampus, jika desa lebih mandiri karena program pengabdian mahasiswa, jika ilmu membuat hidup lebih adil—maka di situlah “kelas dunia” sejati telah terwujud.

Mungkin, di masa depan, universitas tak lagi perlu berdebat tentang ranking global. Cukup ada satu pertanyaan yang menggema di aula rektorat: Apakah ilmu kita sudah membuat rakyat sedikit lebih berdaya hari ini?[]

Nitiprayan, 28 Oktober 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Topik