CakNun.com

Selamat Datang, Pahlawan Terbuat Dari Plastik!

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Fred Moon on Unsplash

Rakyat murka. Bukan sekadar marah — tapi ingin melumat. Melumat semua lelaki bersenjata yang telah merenggut satu jiwa.Anak itu. Belum genap dewasa. Nafasnya tersendat di bawah roda baja. Seakan hidup manusia hanyalah kerikil di jalan perang.

Tak ada maaf. Tak ada sesal. Pun, tak ada doa yang sampai. Dentuman. Bersahutan. Mesiu menari di udara.Suara perlawanan pecah dari sudut-sudut gang, seperti bisikan dari masa lalu. Apakah ini 1740, ketika Batavia merah oleh darah Tionghoa? Ataukah 1945, saat kampung-kampung mendidih melawan serdadu? Ataukah hari ini, di jalan-jalan kota kita sendiri, ketika negara menyalakan kembali mesin penindasan yang diwarisinya?

Rakyat tak lagi hanya korban. Mereka berubah jadi gema — gema dari sejarah panjang yang selalu kembali: kekerasan yang memanggil kekerasan. Mungkin, bau mesiu itu adalah bahasa politik paling jujur yang pernah kita miliki.

Malam. Dibalut mendung tipis — tapi justru ikut memompa amarah. Orang-orang meluapkan dendam, suara mereka meledak. Lebih nyaring dari dentuman rudal yang menghujam jantung negeri Semangka. “Anjing! Babi! Bangsat! Monyet! Mati kau!” Kata-kata itu beterbangan, lebih tajam dari peluru. Kata-kata yang bukan lagi sekadar makian, tapi penanda: ketika bahasa politik gagal, rakyat kembali ke kamus paling purba.

Bukankah sejarah selalu begini? Dari guillotine di Paris, dari pekik “merdeka” di Surabaya, sampai teriakan di jalan-jalan Jakarta — semua lahir dari perasaan yang tak tertampung. Mungkin yang kita dengar malam ini bukan makian, melainkan doa yang sudah kehilangan kata-kata suci.

Satu lelaki bersenjata tumbang. Tubuhnya bersimbah peluh, berselimut darah. Sorak sorai membahana. Seakan langit pun ikut bergetar. Mendung kian menebal, menutup malam seperti tabir. Detak jantung negeriku berpacu rapat. Mencekam. Lalu sebuah kalimat menyelinap di gendang telinga: “Malam ini skor satu lawan satu.”

Dan aku terdiam. Sejarah ternyata masih juga ditulis dengan hitung-hitungan nyawa — seperti pertandingan, seperti judi yang tak pernah usai. Apakah ini kemerdekaan, atau hanya kompetisi maut antara rakyat dan senjata yang dibayar negara?

Negeriku baru siuman dari tidur panjang. Masih goyah. Masih linglung. Seorang lelaki tua berjalan pincang menuju istana. Langkahnya seperti bayangan masa lalu — rapuh, tapi memaksa. Dari mulut besarnya masih tercium aroma naga. Aroma kekuasaan yang dulu memabukkan, kini membusuk. Mukanya pucat. Mulut besarnya terkatup rapat. Seakan ia tahu, kata-kata tak lagi bisa menipu siapa pun.

Apakah ini tanda ajal sebuah rezim? Atau justru babak baru dari kebangkitan hantu lama, yang tak pernah benar-benar mati? Negeri ini, tampaknya, selalu pandai mengulang. Bahkan dalam tragedi.

Dari balik pintu — seorang bocah titipan. Bola matanya menggantung di kelopak, seakan belum selesai tumbuh. Tapi justru dari matanya keluar aba-aba: “Tenang, Pak. Ada saya di sini.” Aneh. Yang menenangkan justru bocah — sementara lelaki dewasa kehilangan kata.
Seperti sejarah bangsa ini: selalu anak-anak yang dipanggil untuk jadi saksi, bahkan korban.

Apakah bocah itu malaikat penjaga? Atau sekadar mimpi buruk yang berwujud lugu? Dan negeri ini, yang katanya sudah merdeka, tetap saja berlindung di balik mata kanak-kanak yang belum sempat mengenal arti takut.

Lelaki tua bertubuh tambun itu hanya mematung.
Ia tahu — kekuasaan di tangannya tinggal menghitung hari.

Skor satu lawan satu. Bukan mimpi. Tapi di balik pintu, bocah titipan sang guru menatap tajam. Ia datang bukan untuk menonton sejarah, melainkan menagih janji.“Segera kembalikan kursi yang dipinjamkan ayahku!” Kalimat itu menggema lebih keras daripada teriakan massa, lebih menusuk daripada dentuman senjata. Kursi — yang selalu dianggap milik pribadi — ternyata hanyalah titipan. Dan di sanalah tragedi kita bermula: bangsa ini lupa membedakan antara hak dan pinjaman.

Di sudut ruangan Istana bayangan, sebuah keniscayaan tengah disulap. Bocah titipan harus segera muncul di depan kamera. Tampil layaknya pahlawan. Dibalut narasi suci: munculnya Satria Piningit.

Begitulah cara kekuasaan menulis dongeng — seakan sejarah bisa dijahit ulang dengan pencitraan dan sorot lampu. Tapi di luar tembok istana, rakyat masih menagih janji.
Masih menghitung luka. Masih hidup dalam dendam. Selamat tidur kembali, negeriku. Dan tetaplah — seperti yang mereka harapkan — bodoh.

Maka bersoraklah, negeriku! Satria Piningit sudah datang — bukan dari langit, bukan dari wahyu, tapi dari ruang rias dan kamera televisi. Inilah pahlawanmu: bocah titipan yang dipoles iklan, dijaga protokol, dan dipuja buzzer.

Selamat! Kebodohanmu kini resmi naik pangkat: dari penonton menjadi pemuja, dari korban menjadi pengibar bendera palsu.

Tidurlah lagi, negeriku. Mimpi-mu kini ditayangkan prime time.[]

Nitiprayan, 30 Agustus 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Topik