Raja Diraja (1997)

Kau tumpuk harta dan kuasa
Sesudah kau rampok mereka
Tak peduli apapun saja
Akhirnya kau pun jadi tua
Dan semua itu tak berguna
Ketika nyawamu hilang
Yang kau bawa penyesalan
Setelah kau selalu menang
Sesudah kau tak terkalahkan
Akhirnya dirimu sendiri
Tak dapat kau kalahkan
Kau pikir kau Raja Diraja Padahal esok pagi sirna
Sesudah kau rampas dan kau simpan, seperti seorang kolektor benda purba yang mengira dapat menahan waktu dengan menjejalkan semuanya ke gudang.cEmas, jabatan, hormat palsu — semuanya ditumpuk. Lalu kau menatapnya dengan mata seorang penakluk. Tapi penakluk siapa?
Di sejarah kita, berapa banyak yang mengira dirinya Raja Diraja? Dari istana Mataram sampai gedung-gedung kaca Jakarta, dari Napoleon yang menundukkan Eropa sampai seorang pejabat pajak yang berfoto dengan mobil mewah. Mereka semua akhirnya dipaksa menghadap cermin yang tidak bisa dibeli: tubuh yang menua, napas yang pendek, malam yang lebih sunyi daripada segala pesta.
Kau bisa mengalahkan lawan, membungkam kritik, bahkan membeli kesetiaan. Tapi selalu ada musuh yang tak bisa kau sogok: waktu. Dan waktu itu, seperti air yang menetes di batu, pelan-pelan mengikis segala kemegahan.
Di titik itu, kemenangan panjang yang kau rayakan berubah jadi ironi. Apa artinya tak terkalahkan, jika akhirnya kau kalah oleh dirimu sendiri? Apa arti “kuasa” ketika besok pagi nama itu tak lagi dipanggil orang?
Sejarah hanyalah catatan berulang dari kesombongan yang ditelan sunyi. Sebab ternyata, yang kita kira tak tergoyahkan, selalu sirna.
Mungkin yang abadi hanya satu: penyesalan yang datang terlambat.
Sesudah sepuluh tahun ia berdiri di puncak, Jokowi tampak seperti pemenang. Jalan tol berderet, bandara baru, pelabuhan, kereta cepat — seolah-olah waktu bisa dikalahkan dengan beton dan aspal. Ia tampak sebagai Raja Diraja, lahir dari rakyat jelata, lalu menaklukkan segala prasangka.
Tapi sejarah selalu punya cara untuk menertawakan. Bung Karno pernah diyakini abadi, tapi ia jatuh dalam sunyi di Wisma Yaso. Soeharto mengira tak tergoyahkan, tetapi akhirnya terguling oleh mahasiswa yang dulu ia sebut “anak-anak nakal.” Jokowi pun akan memasuki bab yang sama: ia bukan lagi presiden, ia hanya nama dalam buku.
Apa arti semua kemenangan politik bila ia harus menyaksikan dinasti yang dibangunnya rapuh di tangan waktu? Apa arti kuasa bila ia tahu, akhirnya, ia tidak bisa mengalahkan dirinya sendiri — ambisi yang membentuk, sekaligus menghantui?
Ia mungkin akan dikenang karena beton dan infrastruktur. Tapi sejarah juga menyimpan catatan lain: bagaimana demokrasi dipersempit, bagaimana kritik dijauhi, bagaimana negeri ini kian bergantung pada modal asing. Dan di situlah paradoks: ia datang dengan citra sederhana, pulang dengan beban besar.
Seperti bait puisi yang selalu kembali: sesudah kau selalu menang, akhirnya kau pun kalah — bukan oleh musuh, melainkan oleh cermin.
Ia jago menang. Seperti seorang pemain catur yang selalu selangkah di depan, bidaknya bergerak mulus: walikota — menang. Gubernur Jakarta — menang. Presiden dua kali — menang. Anak disodorkan ke kursi wali kota — menang. Menantu didorong jadi gubernur — menang. Anak diorbitkan jadi calon wakil presiden — menang. Seolah sejarah hanyalah daftar panjang kemenangan keluarga.
Tapi kemenangan yang terlalu banyak justru mengandung jebakan. Karena pada akhirnya, yang tersisa bukanlah lawan di luar sana, melainkan lawan di dalam cermin. Bagaimana menghadapi bayangan sendiri — ambisi yang membesar, rasa ingin meninggalkan warisan, dan ketakutan kehilangan kendali?
Sejarah memberi contoh. Soekarno yang mengira “revolusi tak bisa dihentikan,” akhirnya dihentikan oleh revolusi itu sendiri. Soeharto, yang mengatur semua peta politik, tumbang oleh peta jalan rakyat yang tak ia perhitungkan. Para “pemenang” itu akhirnya berhadapan dengan musuh paling sulit: diri mereka sendiri.
Jokowi kini berada di titik yang sama. Ia sudah membuktikan diri sebagai ahli strategi politik. Tetapi, apakah ia bisa mengalahkan dirinya — ego, ambisi, hasrat kekuasaan yang diwariskan? Sebab bila tidak, seluruh kemenangan itu akan berubah jadi ironi.
Kau pikir kau Raja Diraja. Padahal esok pagi, sirna.