CakNun.com

Perang Panjang

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 5 menit
Image by Snapwire from Pexels

Berharap pada perubahan sosial itu bukan seperti kita mengganti baju lebaran — sekali geser, langsung kinclong. Perubahan itu lebih mirip menanak nasi pakai tungku kayu di kampung: harus sabar, dikipasi, dijaga bara apinya. Kalau apinya keburu padam, nasinya setengah matang, keras di luar lembek di dalam. Kalau terlalu berapi-api, gosong bagian bawahnya, kita cuma bisa makan lapisan atasnya.

Perjuangan menuju kebenaran adalah perang panjang, bukan lomba lari 100 meter. Ia seperti ngaji kitab kuning: tidak selesai dalam satu malam, kadang malah harus ngantuk-ngantukan, diselingi guyon santri dan derit kursi bambu. Tapi justru di situlah kesabaran, enduren, diuji. Kesetiaan kita pada proses, bukan pada hasil instan yang sering dijanjikan politisi di baliho pinggir jalan.

Perubahan sosial itu istikamah. Artinya tidak sekadar semangat sesaat, lalu padam seperti kembang api tahun baru. Kita ini sering terjebak jadi bangsa “kembang api”: bersorak keras, meledak sebentar, lalu gelap kembali. Padahal kebenaran lebih butuh seperti lampu sentir di langgar: redup, sederhana, tapi tidak pernah padam.

Dan, jangan lupa, perubahan bukan cuma urusan politik, bukan cuma soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan. Perubahan sejati itu saat tukang becak, pedagang angkringan, pejabat tinggi, dan bahkan seleb tiktok, semuanya belajar menundukkan diri pada kebenaran. Perubahan itu bukan ketika rakyat digiring ke kotak suara, tapi ketika hati masing-masing belajar membedakan mana yang hak dan mana yang batil.

Kalau kita bicara perang panjang menuju kebenaran, jangan harap ada kemenangan yang serba kilat. Yang ada adalah luka, jatuh, bangun, tangis, tawa, dan doa. Dan hanya mereka yang setia — yang memiliki enduren, yang istikamah — yang akhirnya bisa merasakan bahwa kebenaran bukan sekadar piala di podium, melainkan napas panjang kehidupan itu sendiri.

Jika kita tarik ke negeri kita hari ini, rasanya pas banget dengan mentalitas kembang api. Kita gampang sekali terbakar isu viral. Sedikit digoreng di media sosial, langsung geger, trending, semua orang berebut ikut nimbrung, merasa paling benar. Tapi begitu lampu sorot padam, kita kembali sibuk dengan kesenangan kecil masing-masing. Perubahan macam apa yang bisa lahir dari bangsa yang stamina sosialnya cuma seumur trending topic?

Politik kita pun tidak jauh beda. Elit kita pintar sekali bikin “pesta kembang api” — janji manis saat kampanye, narasi indah tentang kemakmuran, keadilan, dan segala macam kata surga. Tapi setelah pesta usai, rakyat ditinggalkan dengan gelap yang sama. Listrik sosial kita tidak nyala-nyala, karena baterainya cuma diisi dengan retorika instan, bukan kerja panjang yang enduren.

Padahal, perubahan yang sejati butuh kesabaran kolektif. Butuh istikamah, bukan drama viral. Kalau bangsa ini cuma terus disuapi “politik instan” — seperti mie instan yang bikin kenyang sebentar tapi bikin lambung sakit lama-lama — maka jangan harap kita bisa mengarungi perang panjang menuju kebenaran.

Kebenaran sosial itu ibarat sawah: harus dibajak, ditanam, dipelihara, disabari, baru bisa panen. Kalau kita maunya cepat, ya yang lahir cuma sawah kering berdebu, penuh janji tanpa padi. Dan saat itulah rakyat dibiarkan kelaparan, sementara elit politik sudah berpesta di lumbungnya sendiri.

Mari kita jujur: apakah kita mau terus menjadi bangsa kembang api, bangsa mie instan, bangsa viral yang cuma bisa geger sebentar? Ataukah kita berani belajar menjadi bangsa lampu sentir, sederhana tapi tahan lama, setia menerangi sampai subuh datang?

Hari-hari belakangan ini kita disuguhi tontonan pejabat dan anak-anaknya yang pamer hidup mewah di media sosial. Jam tangan ratusan juta, mobil supercar, pesta ulang tahun di hotel bintang lima. Rakyat yang melihat cuma bisa nyengir kecut sambil ngitung sisa uang belanja di dompet. Inilah wajah bangsa kembang api: elitnya sibuk flexing, rakyatnya sibuk menahan lapar.

Lebih ironis lagi, pemerintah sering kali lebih takut pada netizen daripada pada rakyatnya sendiri. Begitu ada kasus viral, buru-buru bikin rapat, konferensi pers, seakan-akan negara ini dikelola pakai algoritma trending topic. Tapi ketika ada masalah struktural — harga beras, lapangan kerja, krisis lingkungan — jawabannya selalu ditunda, ditambal, atau malah dibungkus jargon indah. Seperti rumah yang bocor, tapi malah ditutup banner kampanye besar-besaran.

Kita ini bangsa yang sering kepleset karena salah menilai prioritas. Anak pejabat bisa bebas flexing sampai ketahuan, baru kita ribut. Padahal sudah lama tanda-tanda ketidakadilan itu ada di depan mata. Bedanya, kita lebih betah menonton drama ketimbang bekerja dalam kesabaran. Lagi-lagi: mental kembang api.

Perang panjang menuju kebenaran tidak bisa ditangani dengan mentalitas viral. Ia butuh stamina seperti petani menunggu musim panen, bukan seperti buzzer menunggu trending. Kalau bangsa ini tidak belajar enduren dan istikamah, jangan kaget kalau kita cuma jadi penonton pesta pejabat, sementara nasi di piring sendiri makin tipis.

Justru di sinilah kuncinya: perubahan sosial tidak bisa ditanggung sendirian, harus ada sandaran jamaah, komunitas, kelompok kecil yang saling menguatkan. Sebab musuh terbesar kita bukan hanya kekuasaan yang pongah atau elit yang rakus, tapi juga karena lupa — lupa pada sejarah, lupa pada luka, lupa pada cita-cita.

Kalau kita bergerak sendiri-sendiri, semangat kita cepat padam. Apalagi di zaman ini, di mana setiap detik ada umpan baru di layar handphone yang bisa menggeser ingatan kita. Kemarahan rakyat bisa meledak di hari Senin karena flexing anak pejabat, tapi sudah reda di hari Rabu karena konser K-pop. Nah, di situlah jamaah penting: menjaga bara agar tidak padam, mengikat kita pada kesadaran bahwa perang menuju kebenaran itu panjang, tidak selesai dalam satu trending.

Komunitas itu seperti mushola kecil di kampung: azannya mungkin lirih, pengeras suaranya tidak sehebat masjid agung, tapi di situlah hati-hati kecil dilatih istikamah, dibiasakan enduren. Jamaah itulah yang menjaga kita dari mentalitas “kembang api” — yang hanya sesaat menyala, lalu hilang ditelan gelap.

Perubahan sejati lahir dari kesabaran kolektif. Jamaah yang tidak gampang silau oleh janji politik, tidak mudah lelah oleh cemooh, tidak gampang menyerah hanya karena jalan panjang. Di situlah kita belajar bahwa kebenaran tidak jatuh dari langit dalam bentuk kebijakan viral, melainkan tumbuh pelan-pelan dari tanah hati yang disiram doa, air mata, dan kerja bersama.

Maka, jangan pernah remehkan lingkaran kecil tempat kita belajar bersama, berdoa bersama, makan nasi bungkus bersama. Di sanalah sesungguhnya bara perubahan dijaga agar tidak padam. Karena kalau bangsa ini hanya berharap pada elitnya, kita hanya akan jadi penonton pesta flexing. Tapi kalau kita punya jamaah yang setia, kita bisa tetap berjalan dalam perang panjang, sampai suatu saat fajar kebenaran itu betul-betul datang.

Tuhan, kami ini umat yang sering kali tergoda kilau kembang api, padahal Engkau sudah mengajarkan cahaya bintang yang setia menyala ribuan tahun. Kami terbiasa ingin cepat, instan, viral — sementara Engkau menanamkan pada bumi proses panjang: benih, tunas, batang, bunga, baru buah.

Tuhan, berilah kami kemampuan untuk mengubah apa yang memang bisa kami ubah — sifat malas kami, rakus kami, mudah lupa kami.
Berilah kami kesabaran untuk menerima apa yang tidak bisa kami ubah — bahwa jalan kebenaran memang panjang, penuh luka, penuh air mata.
Dan berilah kami kearifan untuk memahami perbedaan di antara keduanya — agar kami tidak jadi bangsa yang hanya bisa marah sebentar, lalu tertawa sebentar, lalu lupa selamanya.

Tuhan, jangan biarkan semangat kami padam hanya karena godaan flexing para pejabat, atau karena riuh-rendah dunia maya. Jadikanlah jamaah-jamaah kecil kami pelita yang tidak pernah padam, walau angin kencang politik dan badai keserakahan terus menerpa.

Dan bila perang panjang menuju kebenaran ini terlalu berat bagi pundak kami, tolonglah kami untuk tetap berjalan. Walau lambat, walau tertatih, asal jangan berhenti. Karena kami yakin, Engkau tidak pernah menanyakan seberapa cepat kami sampai, melainkan seberapa setia kami melangkah.[]

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Buaya-Buaya di Akuarium Republik

Buaya-Buaya di Akuarium Republik

Sejak awal, kekuasaan selalu mengidamkan umur panjang. Kaisar Tiongkok membangun tembok, raja-raja Eropa memonopoli ladang garam, presiden modern mengatur angka pertumbuhan ekonomi.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo

Topik