Mozaik Desa yang Tercekik Negara

Negara selalu punya cara baru untuk mencintai rakyatnya—dengan mengekang mereka. Kali ini, desa kembali jadi sasaran kasih yang mencekik itu. Sejak tahun lalu, manuver regulasi kementerian, perbankan, BUMN, hingga militer seperti tangan-tangan yang bekerja dalam satu irama: menekan desa agar tunduk, rapi, dan patuh di barisan ekonomi formal.
Menteri Keuangan, dengan senyum teknokratiknya, menekan bank-bank Himbara agar mencairkan kredit untuk Koperasi Desa Merah Putih. Tapi irama itu sumbang. Kredit yang dijanjikan tak kunjung turun seperti hujan di musim kemarau; dari Rp 5 miliar menjadi Rp 3 miliar, lalu tinggal Rp 1,6 miliar. Angka-angka itu seperti garis-garis di nadi ekonomi desa yang semakin tipis berdenyut. Bank ragu, karena lembaga koperasi ini lahir lebih sebagai slogan politik daripada fondasi ekonomi. Maka pemerintah mengganti akal dengan aturan: dana desa dijadikan agunan. Negara kini meminjamkan uang kepada dirinya sendiri—dan meminta rakyat desa menanggung bunganya.
Lalu datang Inpres No. 17/2025, dengan kaki-kaki bot yang mengukur tanah desa untuk gerai-gerai Agrinas—konon demi kedaulatan pangan. Ironisnya, di balik jargon kedaulatan, yang hadir justru pengukuran ulang atas kedaulatan desa. Gerai-gerai itu dibangun dari utang, dibayar dari potongan dana desa, dan diresmikan oleh pejabat yang tak pernah menanam sebatang padi pun. Desa menjadi pelanggan baru dari proyek industrialisasi yang tak pernah ia minta.
Sejak kapan desa, yang dulu menanam masa depan dengan cangkul dan doa, kini harus membayar bunga dari “kemandirian” yang dipinjamkan negara? Agunan Dana Desa adalah metafora paling getir tentang bagaimana rekognisi berubah jadi represi. Apa yang dulu disebut subsidiaritas—hak desa memutuskan nasibnya sendiri—kini hanya menjadi catatan kaki dalam laporan audit.
UU Desa 2014 dulu lahir dari semangat reformasi yang percaya: bahwa kemajuan harus tumbuh dari akar, bukan dari tiang bendera yang dipancang di atasnya. Kini, semangat itu dikubur dengan tanda tangan para birokrat yang menyamakan “desa” dengan “unit bisnis”. Desa yang dulu berdaulat kini menjadi toko serba ada, menjual hasil panen sekaligus martabatnya. Dan ketika aparat datang membawa meteran tanah, bukan lagi untuk membangun sekolah atau lumbung, tapi gerai Agrinas, kita tahu: negara telah menjadi tuan tanah baru di halaman rumah rakyatnya sendiri.
Mungkin sejarah selalu berputar seperti lingkaran sabit cangkul: dari tanah kembali ke tanah. Tapi kali ini, tanah itu bukan lagi milik mereka yang menggemburkan—melainkan mereka yang menandatangani.
Maka, seperti sebuah parodi demokrasi digital, Menteri Desa PDT memimpin musyawarah desa khusus nasional—sebuah oxymoron yang sempurna—pada 25 Oktober 2025. Musyawarah desa yang seharusnya lahir dari akar rumput justru digelar dari layar monitor kementerian. Wajah-wajah desa hadir tanpa suara, tanpa BPD, tanpa warga, tanpa musyawarah. Hanya satu suara yang bergema: kesepakatan untuk berutang. Ironisnya, kesepakatan itu bukan hasil mufakat, melainkan perintah yang disamarkan menjadi partisipasi.
Desa, yang dalam falsafahnya adalah ruang otonom yang hidup dari kebersamaan, kini menjadi obyek tunggal dari kehendak negara. Musdesus nasional adalah metafora paling telanjang dari bagaimana rekognisi dijungkirbalikkan: dari pengakuan menjadi penguasaan. Apa yang disebut subsidiaritas—hak desa menentukan jalan hidupnya sendiri—diperas menjadi sekadar formalitas administratif yang bisa ditayangkan lewat Zoom.
Rekognisi, kata yang dulu lahir dari semangat emansipasi, kini diringkus menjadi alat kontrol. Padahal, secara filosofis, rekognisi bukan sekadar pengakuan satu arah. Ia adalah perjumpaan—antara negara dan desa, antara kekuasaan dan kemanusiaan, antara hukum dan kehidupan. Di sana ada resiprositas, ada perasaan saling percaya, ada penghormatan terhadap otonomi yang tumbuh dari tanah dan tradisi. Tapi yang kini tersisa hanyalah jejak digital: formulir daring yang menentukan 30 persen dana desa untuk jaminan kredit, 30 persen untuk ketahanan pangan, 15 persen untuk BLT, dan 3 persen untuk biaya notaris koperasi yang diwajibkan. Angka-angka yang kaku itu menggantikan percakapan yang dulu hidup di balai desa, di bawah pohon randu, atau di tepi sawah.
Negara, dengan teknologi dan regulasinya, telah menjadi pusat gravitasi baru yang menyedot energi desa. Otonomi desa, yang dulu dibayangkan sebagai jalan pembebasan dari sentralisme Orde Baru, kini justru terjebak dalam bentuk baru dari sentralisasi: sentralisasi digital. Di sinilah kita menyaksikan bagaimana reformasi bisa dikalahkan oleh algoritma, dan bagaimana “rekognisi” berubah menjadi dashboard pengawasan fiskal.
Desa yang dulu diakui kini diawasi. Dana yang dulu disebut milik rakyat kini dianggap milik negara yang “dipinjamkan.” Ketika pemerintah pusat merasa berhak menarik kembali dana desa, di situlah batas antara pengakuan dan pengambilalihan lenyap. Sejak 2014, UU Desa menandai kemenangan kecil atas sejarah panjang penyingkiran. Tapi kemenangan itu kini tergerus oleh cara-cara yang lebih halus: bukan dengan mencabut undang-undang, melainkan dengan mengosongkan maknanya. Di ruang yang dulu bernama rekognisi, kini tinggal bunyi kosong birokrasi.
Mungkin suatu hari nanti, kita akan menyaksikan desa yang benar-benar mandiri—bukan karena ia berhasil membayar utang, melainkan karena ia kembali mengenali dirinya sendiri. Sebab, sebagaimana tubuh manusia, desa akan mati bukan karena kehabisan darah, tetapi karena kehilangan denyut maknanya.
Negara boleh mengukur tanah, mengatur kredit, dan mengisi aplikasi. Tapi ia tak akan pernah bisa mengukur makna “desa” yang sejati: ruang di mana kehidupan tumbuh tanpa izin, tanpa tanda tangan, dan tanpa template Excel.[]
10 Nvember 2025
