CakNun.com

Ketika Negara Menjadi Pemangsa

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Juan Colomba

Di sebuah sore yang tak terlalu terang, Siti menatap sawah yang mulai mengering di pinggiran Grobogan. Padi yang seharusnya menguning kini merunduk dalam debu. Ia menimbang: apakah air sungai yang semakin surut itu tanda kemarau panjang, atau tanda bahwa negeri ini sedang kehausan — bukan karena cuaca, tapi karena keserakahan.

Siti tidak membaca berita ekonomi. Ia tidak paham istilah predator state, tak tahu apa itu oligarki. Tapi ia tahu: pupuk makin mahal, anaknya yang baru lulus SMA tak kunjung dapat kerja, dan harga beras naik seperti layang-layang yang talinya dipotong. Ia tahu, negara yang seharusnya melindungi malah menggigit pelan-pelan.

Negara predatoris tidak datang dengan seragam loreng atau tank baja. Ia datang dalam bentuk rapat kabinet yang membicarakan “efisiensi”, “pertumbuhan”, dan “investasi asing”. Ia datang lewat proyek mercusuar yang menjanjikan modernitas tapi mengubur desa-desa dalam utang. Ia datang lewat wacana pembangunan yang manis di bibir, tapi getir di perut.

Seperti tikus yang menggigit pelan, ia tak menimbulkan rasa sakit mendadak, hanya lapar yang tak pernah selesai. Di kota, pengangguran bertambah. Di desa, tanah berpindah tangan. Dan di layar televisi, para pejabat tersenyum di balik podium, meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja.

Namun rakyat seperti Siti tahu: sepanjang tahun ini, hampir tak ada kabar baik yang datang ke rumah. Yang datang justru kabar pemotongan bantuan, penggusuran pasar, dan berita tentang pejabat yang marah karena dikritik.

Dulu, ayah Siti suka bercerita tentang masa ketika rakyat boleh bicara. Tentang mimpi-mimpi besar yang dibangun dengan gotong royong. Tentang sawah yang penuh air, bukan janji. Tapi kini, setiap kritik dianggap ancaman, dan setiap pertanyaan dibungkam dengan laporan polisi.

Di negeri ini, diam adalah cara bertahan hidup. Dan mereka yang bicara dianggap melawan arus.

Mungkin begitulah cara predator bekerja: membuat mangsanya ragu untuk menjerit.

Negara predatoris tak sekadar memiskinkan dompet, ia memiskinkan imajinasi. Ia membuat orang takut bermimpi. Rakyat hanya disuruh bertahan, bukan berharap. Seperti Siti yang menatap sawah keringnya, menunggu hujan tanpa tahu apakah hujan masih mau datang.

Di Jakarta, para pejabat bicara tentang “ketahanan pangan”, tapi tak ada yang datang melihat sumur yang kering di belakang rumahnya. Di televisi, mereka bicara “pertumbuhan ekonomi”, tapi Siti hanya melihat anaknya yang menganggur di beranda, memainkan HP retak sambil menatap jalan kosong.

Negara ini, pikir Siti, sedang tumbuh — tapi ke arah yang salah. Seperti pohon yang tumbuh di kuburan, akarnya menghancurkan nisan.

Kadang, sejarah tak berulang dengan cara yang sama, tapi dengan luka yang serupa. Dulu penjajah datang membawa bendera asing. Kini mereka datang dengan logo korporasi. Bedanya, yang membuka pintu bukan lagi pengkhianat, tapi pejabat berjas rapi yang berbicara tentang proyek strategis nasional.

Rakyat disuruh bersyukur. Disuruh percaya bahwa semua ini demi kemajuan. Tapi di balik itu, tanah, laut, dan udara dijual sedikit demi sedikit. Dan seperti Siti, banyak orang sadar bahwa mereka sedang diperah oleh kekuasaan yang tak lagi punya empati.

Ketika negara kehilangan rasa malu, rakyat kehilangan harapan. Dan tanpa harapan, manusia mudah dijinakkan. Mungkin itu tujuan akhirnya: agar rakyat berhenti memikirkan masa depan, dan sibuk mencari cara untuk sekadar bertahan hari ini.

Namun Siti masih menanam. Dengan air seadanya, dengan harapan sisa. Karena ia percaya, setiap benih yang disiram kejujuran akan tumbuh, meski di tanah yang dikhianati.

Negara predatoris tak akan runtuh oleh krisis ekonomi, melainkan oleh kehilangan kepercayaan. Saat rakyat berhenti percaya, setiap kebijakan hanyalah kertas kosong. Dan mungkin, kelak dari tangan-tangan seperti Siti — yang terus menanam meski dunia kian kering — akan lahir kembali bentuk baru dari republik: bukan yang memburu rakyatnya, tapi yang belajar dari luka mereka.

Sebab negeri ini tidak akan diselamatkan oleh pidato, melainkan oleh mereka yang diam-diam tetap mencintainya di tengah segala pengkhianatan.

Malam datang tanpa suara. Siti menutup jendela, menatap gelap yang menelan suara jangkrik dan dengung listrik dari tiang-tiang jalan. Di kejauhan, lampu pabrik berkelip seperti mata raksasa yang tak pernah tidur — memandang, mengawasi, menelan. Ia tahu, besok pagi ia akan kembali ke sawah, menakar sisa air, menghitung harapan seperti menghitung butir beras yang tersisa di lumbung.

Negeri ini, pikirnya, terlalu sering membangun tanpa menanam. Terlalu sibuk menghitung angka, lupa menghitung air mata. Ia tidak berharap revolusi, hanya ingin pemerintah kembali belajar mendengar: suara angin di ladang, suara ibu-ibu di pasar, suara anak muda yang mulai putus asa. Karena dari sanalah republik ini pernah lahir — bukan dari gedung tinggi atau ruang rapat, melainkan dari rasa lapar dan cinta yang sederhana.

Jika negara terus menjadi pemangsa, maka rakyat akan belajar menjadi batu: diam, keras, tak lagi percaya. Tapi selama masih ada orang seperti Siti — yang menanam meski tak yakin panen, yang berharap meski terus dikhianati — mungkin negeri ini belum sepenuhnya hilang.

Sebab yang menegakkan bangsa bukan kekuasaan, melainkan keteguhan hati mereka yang tak menyerah pada gelap. Dan barangkali, di suatu hari yang belum datang, dari tangan-tangan yang kering dan sabar itulah, Indonesia akan belajar menjadi manusia lagi. []

Nitiprayan, 7 Oktober 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Raja Diraja (1997)

Raja Diraja (1997)

Kau tumpuk harta dan kuasa
Sesudah kau rampok mereka
Tak peduli apapun saja
Akhirnya kau pun jadi tua
Dan semua itu tak berguna
Ketika nyawamu hilang
Yang kau bawa penyesalan
Setelah kau selalu menang
Sesudah kau tak terkalahkan
Akhirnya dirimu sendiri
Tak dapat kau kalahkan
Kau pikir kau Raja Diraja Padahal esok pagi sirna

Sesudah kau rampas dan kau simpan, seperti seorang kolektor benda purba yang mengira dapat menahan waktu dengan menjejalkan semuanya ke gudang.cEmas, jabatan, hormat palsu — semuanya ditumpuk.

Redaksi
Redaksi

Topik