Kesaksian Orang Biasa di Zaman Globalisasi

Emha Ainun Nadjib pernah menulis, lewat Kesaksian Orang Biasa, bahwa kemajuan dunia sering kali hanya menambah rumit penderitaan mereka yang tak punya panggung. Dalam puisinya, “orang kecil” bukan sekadar subjek empati, melainkan saksi sejarah—mereka yang hidupnya diam-diam memikul akibat dari kebijakan, sistem, dan ideologi besar yang tak pernah mereka pahami, tapi harus mereka tanggung.
Kini, dalam pusaran globalisasi, kesaksian itu terasa makin sunyi. Suara buruh pabrik di Bekasi yang dipecat karena robot menggantikan tangannya. Petani di Wonosobo yang hasil panennya kalah harga dengan beras impor. Guru honorer yang tersisih oleh algoritma seleksi. Mereka semua adalah kesaksian baru dari globalisasi yang kehilangan arah moralnya.
Diskursus baru yang digadang-gadang sebagai “reformasi kapitalisme” sesungguhnya hanya sulaman baru pada kain lama. Kapitalisme, seperti ular tua, berganti kulit agar tampak segar. Ia menjanjikan keterbukaan pasar, kemajuan teknologi, investasi besar. Tapi siapa yang sesungguhnya terbuka, siapa yang maju, siapa yang diinvestasikan? Dalam setiap janji itu, yang paling banyak kehilangan justru mereka yang paling jarang bicara.
Emha selalu menulis dari sisi orang biasa—dari ruang kecil tempat manusia masih menakar kebahagiaan bukan dari grafik ekonomi, tapi dari seberapa jauh mereka bisa saling menolong. Ia memotret globalisasi bukan sebagai konsep ekonomi, melainkan sebagai peristiwa batin: bagaimana dunia yang “terhubung” justru membuat manusia saling jauh; bagaimana teknologi yang menjanjikan kebebasan malah menciptakan kesepian massal.
Di sebuah puisinya yang sederhana tapi menggigit, Emha menulis tentang orang kecil yang masih menyapa angin, masih memeluk tanah, dan percaya bahwa rezeki bukan hasil pasar saham, tapi hasil sabar. Di situlah letak perlawanan paling sunyi terhadap globalisasi: pada ketulusan manusia biasa menjaga martabat di tengah gempuran dunia yang serba cepat dan serba asing.
Maka, di zaman ketika kapitalisme memoles wajahnya dengan kata “reformasi” dan “inovasi”, mungkin yang kita butuhkan bukan teori baru, melainkan kesaksian baru. Kesaksian dari mereka yang tak punya mikrofon, tapi punya mata jernih untuk melihat apa yang sungguh terjadi. Karena yang sering dilupakan para pembuat kebijakan adalah: dunia tidak berubah karena ide besar, tapi karena hati kecil yang menolak tunduk.
Dan mungkin benar, seperti yang pernah dikatakan Emha, bahwa tugas penyair bukanlah menjelaskan dunia, melainkan menjaga nurani agar dunia tidak kehilangan arah. Globalisasi boleh menelan jarak, tapi jangan sampai ia menelan manusia.
Di antara gedung-gedung kaca yang memantulkan langit kelabu dan janji kemakmuran, kita berjalan tergesa, membawa kantong plastik berisi mimpi yang mulai sobek. Kata globalisasi dulu terdengar seperti mantra kemajuan—sebuah pintu gerbang menuju dunia tanpa batas, di mana semua orang akan punya kesempatan yang sama. Tapi siapa yang pernah benar-benar membuka pintu itu dan menemukan keadilan di dalamnya?
Globalisasi, seperti halnya kata demokrasi atau pembangunan, lahir dari rahim yang sama: rahim kapitalisme yang pandai menyamar. Ia berganti nama, berganti wacana, namun nadinya tetap berdenyut dengan tujuan lama—menguasai, menundukkan, menata ulang dunia agar segelintir tetap berkuasa. Reformasi, katanya. Tapi apa yang direformasi dari sebuah sistem yang menolak berubah selain cara ia memanipulasi penderitaan?
Aku teringat seorang tukang becak di perempatan Malioboro, wajahnya legam disapu debu dan matahari. Ia bercerita bagaimana dulu, sebelum “pembangunan” menelan jalan-jalan kecil dan menjadikan kota ini etalase wisata, ia bisa menyekolahkan anaknya. Sekarang, katanya, turis lebih suka naik odong-odong listrik. “Dunia berubah,” ujarnya lirih, “tapi entah untuk siapa.” Dalam suaranya, globalisasi bukan teori ekonomi; ia adalah kehilangan yang berwujud nyata—piring yang kosong, anak yang pergi merantau, dan doa yang tak berbalas.
Di ruang-ruang seminar berpendingin udara, para ahli membahas bagaimana Asia harus “beradaptasi” dengan tatanan baru pasca-krisis. Mereka menulis makalah tentang reformasi ekonomi, tentang good governance, seolah kata-kata itu bisa menggantikan rasa lapar di perut jutaan buruh yang kehilangan pekerjaan. Diskursus baru ini lahir dari ketakutan lama: ketakutan bahwa kapitalisme akan runtuh, dan bersama reruntuhannya, jatuh pula kekuasaan mereka yang telah lama berdiri di atas punggung orang kecil.
Namun sejarah selalu punya cara untuk berbisik di sela propaganda. Kita pernah melihat bagaimana negeri-negeri di Asia Timur, yang dulu dielu-elukan sebagai “macan ekonomi”, tersungkur satu per satu. Mereka mencoba memperbaiki sistem, bukan menggantinya. Mereka menambal, bukan merombak. Dan ketika tambalan itu lepas, yang tersisa hanya luka lama yang belum sempat sembuh—luka bernama ketimpangan, ketergantungan, dan kemiskinan yang diwariskan lintas generasi.
Globalisasi datang dengan wajah manis: telepon genggam di tangan anak kecil, kopi impor di meja mahasiswa, dan janji investasi di bibir pejabat. Tapi di balik semua itu, ada yang dicuri secara halus—kedaulatan, harga diri, dan imajinasi tentang masa depan yang kita tentukan sendiri. Dunia seragam bukanlah dunia yang adil; ia hanyalah dunia yang telah kehilangan warna lokalnya.
Mungkin, di suatu pagi nanti, ketika krisis baru datang seperti gelombang yang tak lagi bisa kita tolak, kita akan belajar lagi dari para petani yang menanam padi di sawah miring, dari nelayan yang tetap melaut meski bahan bakar mahal, dari perempuan yang menanak nasi dengan sabar di dapur bambu. Mereka bukan sekadar korban dari “proses global”, melainkan saksi bahwa martabat manusia tidak pernah bisa direformasi dengan teori, hanya bisa dijaga dengan keberanian.
Karena globalisasi, pada akhirnya, bukan tentang dunia yang menyatu—tetapi tentang siapa yang masih bisa bertahan tanpa kehilangan dirinya.[]