CakNun.com

Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan

Kenduri Cinta edisi Juni 2025
Kenduri Cinta
Waktu baca ± 15 menit

Dok. Kenduri Cinta

Pertanyaan lain disampaikan Hana Fitri dari Sukabumi, yang baru pertama kali hadir di Kenduri Cinta. Ia menyampaikan kegelisahannya tentang bagaimana cara berani berkata benar. Menurutnya, kita harus tegas dalam mengambil sikap. Benar bilang benar, salah bilang salah. Tetapi praktiknya tidak mudah.

Sabrang menjelaskan bahwa kita sering terjebak dalam solidaritas yang keliru. Kita membiarkan teman melakukan kesalahan karena takut dianggap tidak loyal. “Padahal,” lanjut Sabrang, “kebenaran tidak harus disampaikan dengan kasar dan menyakitkan.” Yang penting bukan seberapa berani, tetapi seberapa cerdik kita menyampaikannya. Ia berbagi pengalamannya tentang salah satu cara menyampaikan kebenaran dengan cara mengajak menonton film, setelah sebelumnya memberikan frame berpikir yang tepat. Kebenaran akan muncul dengan sendirinya, sedangkan kebohongan akan mengendap seperti kotoran.

“Ukhuwah Islamiyah tidak hanya terbatas pada sesama umat Islam, tetapi mencakup siapa pun yang hidup di bumi Allah.” — Habib Ja’far

Ahmad Hilmi dari Palembang melanjutkan pertanyaan. “Hari ini sulit menemukan cinta dalam konteks bernegara,” katanya. Ia bertanya, “Mengapa penggiat rela meneruskan forum ini, dan kenapa rasa cinta seperti ini sulit ditemukan di tempat lain?”

Sabrang menjawab singkat, “Karena memang harus dilakukan.” Baginya, Maiyah bukan soal narasumber, penggiat, atau bahkan Cak Nun. Maiyah ada karena sebuah keharusan — untuk melakukan sesuatu di tengah peradaban yang terus bergerak. “Ada kesempatan untuk menorehkan cerita dalam novel Indonesia,” katanya. Mengambil kesempatan itu adalah tanggung jawab kita sebagai manusia: menulis bab baru dalam perjalanan bangsa dengan kesadaran, keikhlasan, dan komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan.

Asrin, penggiat seni di TIM, menyampaikan sebuah pertanyaan yang sering muncul di ruang publik tentang perdebatan antara membela Papua atau Palestina: “Mana yang lebih penting antara bela negara atau bela agama?” Pertanyaan ini mencerminkan kebingungan banyak pihak dalam menempatkan identitas keagamaan dan kebangsaan, seolah-olah kedua hal itu tidak bisa berjalan beriringan.

Sabrang memberikan jawaban lugas, “Yang kita bela adalah manusia.” Menurutnya, latar belakang boleh berbeda-beda, tetapi ada satu hal yang tidak bisa berbeda: kesamaan sebagai manusia. “Kita bisa mencari banyak kesamaan — suku, asal, atau manusia. Tapi yang datang ke sini bukanlah organisasi, suku, atau asalnya, melainkan manusia itu sendiri.” Dengan demikian, solidaritas tidak lagi dibatasi oleh identitas sempit, tetapi diperluas oleh rasa kemanusiaan yang universal.

Bagus ikut merespons dengan sebuah pertanyaan retoris, “Kalau berbasis agama, pembelaan terhadap Palestina harusnya sama dengan Rohingya, so?” Sebuah penegasan bahwa sikap keagamaan tidak boleh selektif atau hanya mengarah pada kelompok tertentu.

Dok. Kenduri Cinta

Perspektif lebih praktis disampaikan oleh Abdur. Dari sudut pandang logika dasar, dua hal yang tidak kontradiktif sebenarnya bisa berjalan bersama. Menurutnya, kontradiksi dari ‘beragama’ bukanlah ‘bernegara’, melainkan ‘tidak beragama’. Begitu juga sebaliknya. “Agama dan negara bukan kontradiksi. Tidak perlu ditabrakkan. Kalau bisa dilakukan bersama, kenapa tidak?” ujarnya.

Pandangan lebih luas disampaikan Habib Ja’far. Baginya, membela agama dan membela negara bukanlah dua hal yang bertentangan. Ukhuwah Islamiyah, menurutnya, tidak hanya terbatas pada sesama umat Islam, tetapi mencakup siapa pun yang hidup di bumi Allah. “Bela agama berarti menjaga seluruh tanah ciptaan-Nya, termasuk Papua dan Palestina. Begitu juga bela negara, seharusnya tidak membeda-bedakan wilayah karena negara kita memiliki komitmen untuk menghapus penjajahan di atas muka bumi. Kita tidak boleh terjebak dalam dikotomi kolonial,” tegasnya.

Sebagai penutup, Sabrang menyampaikan bahwa apa yang ditanam Cak Nun selama ini sudah mulai tumbuh. Panen mungkin tidak akan kita rasakan dalam hidup kita, tetapi masa depan tidak gelap dengan apa yang kita lihat di pagi hari ini.

Pukul 03.26 WIB dini hari, forum diakhiri dengan indal qiyam yang diiringi lantunan khidmat Shohibu Baiti. Meski sampai matahari segera terbit, semangat dan kehangatan malam itu tak kunjung memudar. Api kebersamaan terus menyala, menyinari langkah-langkah yang masih panjang. (Red KC/Haddad)

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Paseban Majapahit Bukan Karya Manusia

Paseban Majapahit Bukan Karya Manusia

“Agar Dia menegakkan yang benar dan menghancurkan yang batil, meskipun orang-orang berdosa membencinya.” (QS Al-Anfal: 8)

Surat Al-Anfal ayat 8 menegaskan bahwa kebenaran bukan milik satu pihak yang digunakan untuk menafikan pihak lain.

Achmad Saifullah Syahid
A. Saifullah Syahid

Topik