Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan


Dialog Cinta, Bangsa, dan Kebenaran
MALAM ITU, sesi tanya jawab menjadi puncak dari sebuah perjalanan diskusi sepanjang malam. Di tengah udara malam yang mulai terasa dingin, jamaah tetap antusias bertanya. Pertanyaan yang dilemparkan menyambung pikiran dan memperkaya perspektif tentang Indonesia, cinta, dan tanggung jawab moral sebagai manusia.
Sebuah pertanyaan filosofis tentang posisi kita sebagai bangsa dan individu dalam kerangka kebangsaan datang dari Nurul Ilmi, jamaah dari Serang. Ia mempertanyakan makna lirik lagu Indonesia Raya: “Di sanalah aku berdiri”. Ia bertanya, “Itu berdiri di mana?”
Sabrang menjawab bahwa kata “di sana” bisa bermacam-macam maknanya. “Lagu kebangsaan,” katanya, “tidak selalu harus dipahami secara literal, tetapi dirasakan.” Bahasa Indonesia, yang ambigu dan sering kali bisa berbohong tanpa terlihat berbohong, memerlukan penghayatan yang lebih dalam agar tidak sekadar menjadi simbol formalitas.
Hendri Satrio menambahkan bahwa dalam konteks lagu perjuangan, “di sana” adalah masa depan kemerdekaan yang masih dikejar, impian yang belum tercapai. Sedangkan “di sini” adalah kenyataan yang kita hadapi hari ini.
Topik pertanyaan bergeser ke bidang pendidikan. Arista Andayani, guru yang aktif dalam dunia pendidikan anak usia dini, menyampaikan kegelisahannya atas tantangan mendidik anak-anak dari orang yang membuat hidup kita semua susah. Di tengah realitas sosial yang sering kali jauh dari ideal, ia juga merasa miris saat melihat gaji guru di Indonesia yang rendah dibandingkan dengan negara seperti Tiongkok. Ia pun bertanya, “Bagaimana kita bisa mewariskan cinta dan syukur jika kita sendiri lelah dengan kondisi? Bagaimana cara mewariskan nilai-nilai itu jika kita sendiri meragukan efeknya pada anak-anak?”
“Anak tidak bisa memilih orang tuanya,” ujar Sabrang. Mereka lahir suci dan memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Tugas kita adalah mengajarkan kejujuran dan fairness. Harapannya, suatu saat mereka akan mengetahui bahwa yang dilakukan oleh orang tua mereka tidak benar. Revenge terindah, menurutnya, adalah ketika mereka sendiri yang menggugat perilaku orang tua mereka.
“Masa depan anak tidak sepenuhnya digantungkan pada jejak keluarga, tetapi pada usaha kita dalam membentuk lingkungan yang mendukung perkembangan karakter.” — Sabrang
Pendapat yang sama disampaikan oleh Abdur. Ia meyakini bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah — bersih, murni, dan belum terpengaruh oleh baik atau buruknya dunia. “Lingkunganlah yang menentukan apakah ia akan tumbuh menjadi orang baik atau justru berlaku buruk,” ujarnya. “Kita, sebagai bagian dari lingkungan itu, punya tanggung jawab untuk membentuk ruang yang baik bagi mereka tumbuh,” tegasnya.
Kejahatan tidak diturunkan dari orang tua. Sejarah telah mencatat bagaimana Al-Walid, tokoh Quraisy yang dikenal memusuhi Nabi, memiliki anak bernama Khalid bin Walid — sosok yang kelak menjadi salah satu panglima besar Islam. Dari sini kita belajar bahwa masa depan anak tidak sepenuhnya digantungkan pada jejak keluarga, tetapi pada usaha kita dalam membentuk lingkungan yang mendukung perkembangan karakter. Siapa tahu di antara anak-anak tersebut, ada calon tokoh besar Indonesia di masa depan.
Ada juga perspektif tentang proses pembentukan karakter dari Bagus. Momen-momen sulit sering kali menjadi fondasi kuat bagi seorang anak untuk tumbuh lebih tangguh. Hanya dengan melewati kesulitan itulah karakter terbentuk. Anak memang perlu dibiarkan menghadapi tantangan, sebab dalam kesulitanlah mereka belajar bertahan. Yang sulit menjalankan itu tentu saja orang tua, khususnya ibu, yang harus rela melihat anaknya menderita. Tapi begitulah prosesnya: ketika mendapat gangguan, baru tumbuh.

Dari sudut pandang spiritual, Habib Ja’far menyampaikan pandangan tentang peran orang tua dan guru. “Dalam Islam, orang tua adalah guru pertama, dan guru adalah orang tua kedua,” ujarnya. Keduanya memiliki tanggung jawab yang sama besar dalam mendidik anak. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa minat menjadi guru masih rendah, salah satunya karena gaji yang tidak memadai. Padahal, seorang guru memiliki kemuliaan tersendiri di sisi Tuhan.
Di sisi lain, ia menekankan bahwa putus asa adalah lawan dari iman. Iblis secara harfiah berarti putus asa. “Orang yang putus asa dari rahmat dan kuasa Tuhan lebih buruk dari iblis itu sendiri,” tegasnya. Ia mengingatkan bahwa meski banyak ketidakadilan di sekitar kita, kita tidak boleh menyerah. Sebagai hamba-Nya, kita harus tetap percaya pada kekuasaan Tuhan dan terus berusaha semaksimal mungkin.