CakNun.com

Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan

Kenduri Cinta edisi Juni 2025
Kenduri Cinta
Waktu baca ± 15 menit

Dok. Kenduri Cinta

Mengisi Tempat dengan Ruang Kesadaran

HENDRI Satrio berbagi pengalamannya pertama kali datang ke Kenduri Cinta dengan prasangka bahwa ini hanya forum santai. Ternyata, ia salah. Ia menyoroti momen tanya jawab sebagai klimaks setiap edisi. Setiap edisi penuh dengan pertanyaan mendalam, bukan hanya dari narasumber, tapi juga dari jamaah yang hadir. Di sanalah kita belajar satu sama lain. Karena itu, setiap kali pulang, ia selalu membawa sesuatu — wawasan baru, perspektif segar, atau kehangatan ruang kebersamaan. Karena itulah, ia selalu ingin kembali. Momentum seperti ini, menurutnya, harus dimanfaatkan untuk hal-hal yang meningkatkan kualitas hidup secara kolektif.

Ia mengaitkan peristiwa tersebut dengan teori momentum politik dalam disertasinya: kepemimpinan, pengalaman, dan modal sosial. Dua yang pertama bisa muncul seiring waktu, tapi modal sosial — yang sudah nyata di Kenduri Cinta — adalah bekal penting untuk menyambut masa depan. Pertanyaan besar yang muncul adalah: What’s next? Apakah 25 tahun ini akan menjadi momentum negatif dengan penurunan partisipasi, ataukah justru menjadi titik awal untuk lebih bermanfaat? “Jawabannya,” kata Hendri Satrio, “tergantung pada apa yang ingin kita capai.” Bukan soal jumlah orang yang datang, tetapi bagaimana setiap individu yang hadir mampu membawa pulang sesuatu yang lebih baik dan kemudian menularkannya.

Dari sini muncul pertanyaan tentang potensi Kenduri Cinta untuk memberi dampak pada Indonesia. Bagaimana jika kita mulai memanfaatkan jaringan yang begitu luas ini secara maksimal? Di Kenduri Cinta, kita bisa bertemu dengan siapa saja, tanpa hierarki, saling belajar, bahkan mendapat jawaban langsung dari ahlinya. “Di ruang transit, saya bertanya ke Abdur, bagaimana cara menulis materi stand-up? Informasi seperti ini adalah modal sosial,” ujarnya. Informasi langsung dari ahlinya adalah modal sosial yang jarang ditemukan di tempat lain. Di Kenduri Cinta, kita belum sepenuhnya memanfaatkan potensi ini.

“Kita belajar satu sama lain. Karena itu, setiap kali pulang, saya selalu membawa sesuatu — wawasan baru, perspektif segar, atau kehangatan ruang kebersamaan.” — Hendri Satrio

Abdur, komika yang hadir malam itu, melanjutkan diskusi, ia setuju bahwa Maiyah adalah gelombang, dan istiqamah adalah cara untuk memastikan setiap bagian air tersentuh gelombang. Meski sempat pesimis dengan kondisi Indonesia, ia percaya bahwa perubahan kecil yang dilakukan secara konsisten bisa menghasilkan resonansi besar. Seperti dalam buku Atomic Habits, ia sadar bahwa perubahan 1% setiap hari, jika dilakukan terus-menerus, akan menghasilkan perbedaan signifikan dalam hidup. Jika setiap individu melakukan itu, maka bangsa ini pun bisa berubah ke arah yang lebih baik.

Sementara itu, Habib Ja’far menyampaikan bahwa Kenduri Cinta adalah ruang yang unik — bukan hanya karena ilmu yang dibagikan, tetapi karena kesetaraan yang dijunjung tinggi. Ia mengingatkan bahwa kekuatan Kenduri Cinta terletak pada bentuknya sebagai space, bukan place. Ruang ini tidak butuh gedung megah atau infrastruktur fisik, tapi sebuah kesadaran bersama untuk saling mendengar dan berkata jujur. Sejalan dengan pemikiran Jürgen Habermas, Kenduri Cinta berhasil menciptakan ruang publik sebagai alternatif di tengah dominasi institusi formal yang kaku.

“Selamat tumbuh tahun untuk Kenduri Cinta,” lanjutnya. Ia mengingatkan bahwa 25 tahun bukan waktu untuk mengulang capaian lalu, tapi untuk tumbuh. Usia seperempat abad bisa digunakan untuk merefleksikan apa saja yang telah dicapai, serta arah yang ingin dituju.

Dok. Kenduri Cinta

Ia juga menyentuh masalah kesadaran waktu. Mengacu pada Heidegger, ia menyatakan bahwa waktu bukan sekadar angka, tapi soal kesadaran. Waktu terasa cepat ketika kita bahagia, dan lambat ketika sedih. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari bahwa hidup adalah soal mencari titik-titik kesadaran, titik balik, titik pertumbuhan. “Hidup adalah soal mencari titik, maka temukanlah titik itu,” ujarnya.

Di akhir, Habib Ja’far menyampaikan harapan agar sepulang dari Kenduri Cinta, kita semua membawa sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan. Syukur jika resonansinya tidak berhenti pada diri sendiri, tapi bisa menyebar ke orang lain. Karena formulanya jelas: khairunnas anfauhum linnas — sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat bagi sesama.

Sesi pertama ditutup dengan Lahila yang kembali membersamai jamaah. Lahila membawakan lagu Semau-maumu, Atur Saja Tuhan, Jodohkan Aku Dengannya, Selalu Ada di Nadimu.

“Kenduri Cinta adalah ruang yang unik, bukan hanya ilmu yang dibagikan, tetapi kesetaraan yang dijunjung tinggi. Kekuatan Kenduri Cinta terletak pada bentuknya sebagai space, bukan place.” — Habib Ja’far

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Paseban Majapahit Bukan Karya Manusia

Paseban Majapahit Bukan Karya Manusia

“Agar Dia menegakkan yang benar dan menghancurkan yang batil, meskipun orang-orang berdosa membencinya.” (QS Al-Anfal: 8)

Surat Al-Anfal ayat 8 menegaskan bahwa kebenaran bukan milik satu pihak yang digunakan untuk menafikan pihak lain.

Achmad Saifullah Syahid
A. Saifullah Syahid

Topik