CakNun.com

Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan

Kenduri Cinta edisi Juni 2025
Kenduri Cinta
Waktu baca ± 15 menit

Dok. Kenduri Cinta

Sindrom Kolonialisme dalam Tubuh Bangsa

BAGUS menyambung diskusi, menyampaikan refleksi tentang pengalaman hidupnya. Salah satu momen penting dalam hidupnya terjadi saat ia masih duduk di bangku SMP, tepatnya saat Reformasi 1998. Saat itu, bahkan ayahnya harus mengevakuasi dirinya dari sekolah dengan wajah ditutup plastik hitam dan helm karena situasi yang sangat memanas. Pengalaman itu meninggalkan pertanyaan besar dalam dirinya: “Apa definisi Indonesia?”

Pertanyaan itu menjadi awal dari pencarian panjang tentang identitas dan tujuan bangsanya. Saat melanjutkan studi di Bandung dan Nottingham, Bagus mulai memahami bahwa Indonesia bukanlah sebuah definisi, tetapi sebuah tujuan — sesuatu yang diwujudkan setiap hari melalui tanggung jawab, cinta, dan kesadaran kolektif. Jawaban itu pun akhirnya ia temukan juga di Kenduri Cinta, tempat ia merasa benar-benar diterima. Di Kenduri Cinta, ia menemukan potret Indonesia yang ideal, sebuah ruang di mana perbedaan tidak menjadi penghalang, tetapi justru menjadi kekayaan.

Ia juga menyampaikan metafora penting tentang yang disebut Walled Garden, sebuah ilustrasi masa depan Indonesia. Menurutnya, membangun teori penting dalam konteks mendiagnosis penyakit yang dialami oleh negara kita. Gejala-gejalanya jelas: kebodohan yang dinormalisasi, inkompetensi yang dihargai, budaya ekstraksi sumber daya alam, lemahnya institusi, hilangnya identitas, dan latah dalam membuat kebijakan. Menurut Bagus, akar dari semua ini adalah sindrom kolonialisme yang masih terus membayangi. Sindrom ini memiliki empat ciri utama.

Yang pertama, epistemic reliance, yaitu ketergantungan pada cara pandang luar negeri. Salah satu dampak dari ketergantungan ini adalah latah dalam kebijakan. Banyak orang berlomba-lomba belajar AI tanpa membangun fondasi pemikiran yang kuat. Sementara di negara maju seperti Inggris, pendidikan fokus pada Liberal Arts: Grammar, Logic, Rhetoric — Bahasa, Berpikir, Berbicara. Ini adalah fondasi untuk membangun pikiran yang bebas. Dampak lainnya adalah pengabaian pengetahuan lokal dan keraguan terhadap warisan intelektual leluhur. Imaji pusat tentang daerah sering kali berbeda dengan imaji daerah tentang dirinya sendiri. Bali, misalnya, dipandang sebagai destinasi wisata, padahal secara identitas, Bali adalah tempat mempelajari irigasi dengan subaknya. Jogja pun lebih dari sekadar museum budaya; ia adalah kultur yang mempelajari vulkanologi dan bumi.

Kedua, colonial mimicry. Salah satu duplikasi yang terjadi adalah sistem administrasi Indonesia yang hierarkis dan terpusat. Sistem riset di Indonesia pun ikut terpusat, sehingga lebih mirip proses pengadaan barang daripada upaya kreatif mencari ilmu. Penemuan vitamin oleh Christian Eijkman, misalnya, nyaris tak lagi bisa kita lihat jejaknya karena lembaga tempat penelitian itu dilebur ke dalam BRIN atas nama birokrasi. Kehormatan sebagai daerah yang pernah menghasilkan penemuan Nobel kini sulit ditemukan kembali.

Ketiga, ekonomi ekstraktif, di mana kita bergantung pada ekstraksi sumber daya alam, baik itu pala dan cengkeh di masa lalu, maupun timah dan nikel hari ini. Ketergantungan semacam ini sering kali membuat suatu daerah tertinggal secara intelektual. Ironisnya, kualitas demokrasi bergantung pada pendidikan yang menopangnya. Negara sindrom kolonialisme menjadikan intelektualitas sebagai sesuatu yang performatif, bukan didasarkan pada institusi yang kuat. Hilirisasi yang dipahami hanya sebatas pembangunan smelter, yang ironisnya menciptakan ketergantungan baru. Yang kita butuhkan adalah industri hulu seperti bahan kimia dasar atau silikon, agar bisa mandiri dalam produksi apa pun.

Dok. Kenduri Cinta

Keempat, tidak punya identitas. Jika sebuah bangsa tidak bisa memprediksi arahnya, maka bisa jadi ia tidak memiliki identitas. Sebagai contoh, dalam falsafah Sunda Kuno yang tertuang dalam naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian, hukum tertulis dianggap sebagai sesuatu yang berada di level paling bawah. Di atasnya ada konvensi publik dan argumentasi. Fakta ini juga terlihat dari keragaman bahasa di Indonesia. Dari lebih dari 700 bahasa daerah, hanya 13 yang memiliki aksara tulisan; sisanya hidup secara lisan. Sayangnya, sistem hukum kita hari ini lebih banyak mengadopsi aturan dari luar, sehingga banyak kasus tanah adat muncul karena kita tidak lagi menghargai ucapan lisan sebagai bagian sah dari hukum.

“Di Kenduri Cinta saya menemukan potret Indonesia yang ideal, sebuah ruang di mana perbedaan tidak menjadi penghalang, tetapi justru menjadi kekayaan.” — Bagus Muljadi

“Indonesia adalah tujuan,” tegas Bagus. “Jika kita benar-benar memahami siapa diri kita sebagai bangsa, maka Indonesia harusnya mampu menciptakan sistem hukum sendiri, yang lahir dari akar budaya dan nilai-nilai luhur bangsa.” Menurutnya, hal terpenting saat ini adalah fokus pada apa yang bisa kita lakukan untuk mengganti software kebangsaan kita, tanpa harus menunggu perubahan dari institusi atau pemerintah.

Di akhir, Bagus menyampaikan, “Ratu Adil sudah ada di sini, di depan saya. Kenduri Cinta hadir untuk menguji hipotesis itu.” Harapan akan Indonesia yang lebih adil, manusiawi, dan bermartabat bukan sekadar impian. Ia percaya, wujud nyata dari cita-cita itu telah hadir melalui ruang-ruang kebersamaan seperti Kenduri Cinta. Pembuktian atas hipotesis tersebut akan menjadi jawaban sejarah di masa mendatang.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Paseban Majapahit Bukan Karya Manusia

Paseban Majapahit Bukan Karya Manusia

“Agar Dia menegakkan yang benar dan menghancurkan yang batil, meskipun orang-orang berdosa membencinya.” (QS Al-Anfal: 8)

Surat Al-Anfal ayat 8 menegaskan bahwa kebenaran bukan milik satu pihak yang digunakan untuk menafikan pihak lain.

Achmad Saifullah Syahid
A. Saifullah Syahid

Topik