Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan


Ada Cinta yang Terus Menyala
DI TENGAH gemuruh politik, budaya instan, dan kehidupan modern yang semakin individualistis, sebuah tradisi tetap bertahan dengan penuh kehangatan. Setiap bulan, ribuan orang berkumpul tanpa panggung megah atau sponsor korporat. Mereka datang bukan karena diwajibkan, iming-iming materi, atau posisi. Tetapi karena merindukan ruang di mana tidak ada yang dihakimi sebagai “kecil”, “salah”, atau “tak berdaya”. Inilah Kenduri Cinta—kebersamaan yang telah menyala selama seperempat abad, membuktikan bahwa cinta dan konsistensi bisa menjadi senjata ampuh melawan keterasingan di zaman yang semakin dingin.
Sabrang membuka sesi pertama, menyampaikan bahwa Cak Nun sejak awal dengan tegas menolak formalisasi Maiyah. Maiyah bukan partai, bukan ormas. Maiyah adalah gelombang yang menyatukan mereka yang ingin belajar menjadi manusia. Dari penolakan terhadap hierarki inilah lahir konsep “sinau bareng”—belajar bersama mengurai realitas kehidupan yang multidimensi tanpa sekat guru-murid.
Dalam ruang ini, seorang profesor bisa belajar dari pemulung, sementara nelayan berbagi kebijaksanaan dengan akademisi. “Bagus, misalnya, tidak hanya memberikan ilmu, tetapi juga mendapatkan banyak ilmu dari Kenduri Cinta,” ujar Sabrang. Bagus mengangguk setuju.
Seperti buah rambutan yang saling menempel meski bentuknya tidak sempurna — atau seperti yang disebut Cak Prio dari Bang Bang Wetan sebagai rambutan protol — Maiyah adalah tempat bagi mereka yang kerap tersisih, yang datang karena sadar diri sedang belajar menjadi manusia yang lebih baik.
Dua puluh lima tahun bukan waktu yang singkat untuk tetap konsisten tanpa dana tetap atau agenda politik. Enam puluh dua simpul Maiyah yang tersebar di seluruh Indonesia adalah bukti nyata ketahanan sebuah komunitas yang berpegang teguh pada istiqamah—konsistensi pada nilai-nilai dasar. Maiyah menolak dikapitalisasi oleh sponsor mana pun, menjaga netralitas di tengah gempuran politik identitas, dan yang terpenting, tetap setia pada semangat awal: membangun ruang kebersamaan yang tulus.
“Ekspresi cinta tertinggi adalah berani menghukum kesalahan, agar seseorang tidak dihukum di akhirat.” — Sabrang
Sabrang kemudian membagikan kisahnya dengan Cak Nun untuk menggambarkan konsistensi prinsip ini. Sabrang muda berangkat ke Jogja untuk belajar bersama Cak Nun. Setibanya di Jogja, Sabrang dijemput oleh Cak Nun. Dalam perjalanan, Cak Nun mengingatkan Sabrang bahwa Cak Nun bukan hanya bapaknya saja, tapi bapak dari banyak orang. Kalimat sederhana ini mengandung pelajaran besar — bahwa dalam ruang kebersamaan yang sejati, bahkan ikatan darah sekalipun tidak boleh menciptakan privilege atau hierarki.
Di Maiyah, cinta tidak diartikan sebagai pembelaan membabi-buta. Sebaliknya, teriakan keras dan kritik pedas bisa jadi adalah bentuk kasih sayang paling tulus. “Ekspresi cinta tertinggi adalah berani menghukum kesalahan, agar seseorang tidak dihukum di akhirat,” begitulah prinsip yang dipegang. Dalam ruang dialog egaliter ini, setiap orang diajak untuk jujur pada diri sendiri dan sesama, karena hanya dengan cara itulah pertumbuhan sejati bisa terjadi.

Di era ketika banyak gerakan sosial terjebak dalam popularitas semu dan pencitraan, Maiyah tetap menjadi ruang di mana obor kebenaran dijaga nyalanya. Seperti kata Sabrang dalam refleksinya: “Mungkin dunia belum terang, tapi cahaya tidak akan pernah pudar karena ada Maiyah di sini.” Jadilah manusia yang bermanfaat, sekecil apa pun langkah kita, karena konsistensi pada kebaikan akan selalu lebih kuat dari gemuruh retorika kosong.
Dua puluh lima tahun Kenduri Cinta menjadi bukti bahwa sebuah ruang kebersamaan yang dibangun atas dasar ketulusan mampu bertahan, bahkan di tengah gemerlap dunia. Di saat masyarakat semakin terfragmentasi, Maiyah hadir sebagai oase dengan menawarkan pelajaran berharga: bahwa komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan, keberanian untuk mencintai secara tulus, dan sikap saling mengingatkan bila diperlukan, dapat membentuk komunitas yang kokoh dalam menghadapi gersangnya modernitas. Dalam penutup paparannya, Sabrang menyampaikan, “Selamat ulang tahun ke-25. Generasi boleh berganti, tetapi kita harus tetap istiqamah. Semoga kita semua bisa menjadi pembawa obor untuk Indonesia.”