CakNun.com

Kemajuan yang Terjajah

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Afif Ramdhasuma

Di awal abad ke-20, saat bumi baru saja dicecap sebagai sumber energi, Amerika Serikat menyalakan api pertama dari bara minyak bumi. Rockefeller menancapkan benderanya, mendirikan dinasti minyak yang mencengkeram dunia. Tapi tahukah engkau, saudaraku, bahwa pada waktu yang sama, di tanah air kita — di bumi yang kini bernama Indonesia — bara itu juga menyala? Tidak tertinggal. Tidak tersesat. Malah lebih dulu tahu bagaimana caranya menyalakan pelita di tengah gelapnya zaman kolonial.

Dari Sumatra Timur sampai Balikpapan, dari Tjepu hingga Singapura, terhampar jaringan produksi minyak bumi yang rapi dan mengagumkan. Dan bukan kita yang menggambar peta itu. Bukan kita yang memegang kuas sejarahnya. Tapi kita — para pewaris tanahnya — justru menjadi buruhnya. Menjadi karyawan yang digaji dengan senyum sambil dicatat produktivitasnya dalam tabel manajer berbahasa Belanda.

Industri minyak bumi di Nusantara, yang tampak seperti anugerah kemajuan, ternyata adalah cermin besar — memperlihatkan wajah kita yang dipoles agar terlihat makmur, tapi di baliknya adalah luka-luka penjajahan yang tak pernah kering. Film dokumenter yang saya tonton — dengan visual yang memukau dan narasi yang menggoda — adalah bagian dari upaya mencitrakan Royal Dutch Shell sebagai raksasa energi yang tidak hanya hebat dalam teknologi, tapi juga “dermawan” dalam memperlakukan kaum boemipoetra.

Tapi saudaraku, narasi itu bukan tanpa agenda. Ia adalah surat lamaran yang ditulis dengan tinta sejarah palsu kepada para investor dunia. “Lihat kami,” katanya, “kami adalah perusahaan yang ramah, adil, dan berkelas dunia.” Dan dunia pun datang, membawa modal, membawa janji, membawa tambang dan tangki — serta membawa anak-anak kita yang terpelajar untuk duduk di kantor-kantor ber-AC, memakai jas, bicara bahasa korporat, dan lambat laun lupa tanah airnya sendiri.

Itulah industri kolonial. Dan lebih dari sekadar industri, ia adalah rahim yang melahirkan generasi baru. Mereka yang mendapat beasiswa dari perusahaan-perusahaan asing, pendidikan dari sekolah-sekolah tinggi kolonial, jaringan dari acara-acara jamuan. Mereka yang hari ini kita panggil elite bangsa: para pejabat, pengusaha, birokrat, dan politisi yang lidahnya lebih fasih menyebut “growth” daripada “kemanusiaan”.

Dan kita pun menyaksikan, dari masa ke masa, dari Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Digital: sebuah kecenderungan untuk selalu memandang kemajuan sebagai sesuatu yang datang dari luar. Sesuatu yang harus dibayar dengan pengikisan martabat, kedaulatan, bahkan harga diri bangsa. Lalu kita merayakannya. Kita bangga menyebut diri “emerging market” — padahal yang muncul bukanlah kita, melainkan cengkeraman yang lebih dalam dari sebelumnya.

Lihatlah Singapura — sebuah pulau kecil yang sengaja dipilih sebagai pusat pengolahan minyak karena letaknya yang strategis di persimpangan pelayaran dunia. Maka benarlah, mengapa hari ini NKRI selalu tergantung pada BBM dari negeri seberang itu. Sebab sejak awal kita tidak dibentuk untuk mandiri. Kita dibentuk untuk melayani.

Dan ketika kita berbicara soal kilang minyak, kita sebenarnya sedang berbicara tentang bagaimana sebuah bangsa kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Tentang bagaimana ‘kemajuan’ yang kita banggakan adalah hasil penjinakan. Kita diajari untuk merasa sukses ketika menjadi operator, padahal kita pemilik tanahnya.

Maka, wahai saudaraku, kemajuan macam apa yang sedang kita kejar hari ini? Apakah kemajuan yang membebaskan, ataukah kemajuan yang kembali menjerat kita dalam kerangkeng baru yang lebih modern, lebih rapi, lebih canggih, tapi tetap tidak kita miliki?

Hari ini, saya sadar bahwa dalam setiap peta industri, dalam setiap jalur pipa minyak yang membentang dari pesisir hingga pusat distribusi global, tersimpan satu pertanyaan lama yang tak kunjung terjawab: apakah kita memang ingin maju, atau hanya ingin terlihat maju di mata mereka?

Dan jika benar bahwa sejarah terulang, maka tugas kita hari ini bukan sekadar mengejar teknologi. Tapi menyelami jiwa — agar di dalam kemajuan itu tidak lahir lagi keterjajahan. Agar di tengah pembangunan, tidak tumbuh lagi pengkhianatan terhadap akar dan tanah sendiri.

Sebab kemajuan tanpa kemanusiaan adalah penjajahan yang berganti baju.
Dan bangsa yang tidak berdaulat atas energinya, akan kehabisan tenaga untuk memerdekakan dirinya.[]

Nitiprayan, 31 Mei 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Topik