CakNun.com

Kapitalisme di Pangkuan Ibu Pertiwi

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Tom Fisk from Pexels

Kalau kita mengira kapitalisme itu barang baru — barang impor dari Belanda, Amerika, atau paket kiriman dari IMF — maka itu artinya kita sedang melupakan nenek moyang kita sendiri. Jangan-jangan justru sebelum Marx lahir dan sebelum Roosevelt bersabda, kita sudah lebih dulu mencicipi dan bahkan mempraktikkan kapitalisme, meskipun tidak dengan nama yang sama. Kita ini bangsa dagang, bangsa pelaut, bangsa pengangkut rempah dan juru niaga perantara antara India, Tiongkok, Arab, dan entah siapa lagi. Dan apa yang diputar dalam kegiatan dagang itu? Ya uang. Modal. Laba.

Jadi hari ini anak-anak muda teriak “Turunkan kapitalisme!”, atau “Lawan neolib!”, kadang saya geli juga — sebab ternyata yang mereka lawan itu sudah sejak dulu tinggal sekasur, sedapur, sesumur dengan sejarah kita. Bahkan barangkali, mbahnya kapitalisme Eropa itu dulu belajar duluan dari cara kita berniaga.

Kapitalisme Merkantil: Lembut Tapi Mengikat

Dulu, ketika kita berdagang dengan India dan Tiongkok, transaksi yang dilakukan bukanlah cuma tukar menukar barang. Ada modal yang diputar, ada harapan untuk kembali dengan untung yang berlipat. Ini bukan barter biasa. Ini adalah investasi. Maka lahirlah pola pikir: tanamkan sesuatu, panen uang. Ini bukan kebudayaan agraris, ini adalah kebudayaan pasar. Maka yang tumbuh bukan cuma padi, tapi juga hasrat dan nafsu untuk memperbesar laba. Disitulah benih kapitalisme merkantilis ditanam.

Tapi bangsa ini tak pernah hanya sekadar pedagang. Kita juga feodal. Maka terjadilah perkawinan antara kekuasaan dan dagang: pejabat yang punya kekuasaan pakai jabatannya buat dapat bagian dari perdagangan. Ini yang di zaman sekarang disebut konflik kepentingan. Dulu, cukup disebut “lumrah”. Ya, sebab dari dulu kita sudah punya kapitalisme gaya kita sendiri: kapitalisme birokratis. Dagang pakai kekuasaan.

Penjajahan Adalah Akuisisi Saham

Lalu datanglah saudagar-saudagar Barat yang juga membawa pedang dan kitab. Portugis, Spanyol, lalu VOC Belanda. Mereka datang bukan hanya untuk rempah-rempah. Mereka datang karena mereka melihat bahwa sistem dagang kita sudah cukup matang untuk dimasuki dan dimodifikasi. Maka kapitalisme kita yang tadinya “kampung” itu kemudian di-upgrade oleh mereka jadi kapitalisme industri. Dengan bumbu liberalisme.

Tapi jangan kira liberalisme itu artinya kita dibebaskan. Justru kita dipreteli. Dibelah. Dipecah. Lalu dibeli. Kalau hari ini perusahaan besar melakukan akuisisi atas perusahaan kecil, itu hanya tiruan dari sejarah kolonial kita. Penjajahan adalah bentuk awal dari akuisisi korporasi global terhadap kehidupan bangsa yang masih berbau gotong royong.

IMF dan WTO: VOC Gaya Baru

Setelah mereka merasa cukup menanam industri dan sistem ekonomi mereka, Belanda dan kawan-kawannya pergi. Tapi bukan benar-benar pergi. Mereka tinggal di dalam kepala kita. Di dalam sistem ekonomi kita. Di dalam kurikulum kita. Di dalam cara kita mengelola negara.

Maka datanglah kakek-kakek berkemeja rapi dari World Bank, IMF, WTO. Mereka tidak bawa meriam. Mereka bawa proposal. Tapi efeknya sama. Kita tetap terikat. Bahkan hutang kita bukan hanya ekonomi, tapi hutang ideologi. Kita ini tidak sedang hidup merdeka. Kita sedang dikredit oleh sistem.

Kenapa Koperasi Sulit Tumbuh?

Maka ketika Bung Hatta mengusulkan koperasi, itu semacam mimpi di siang bolong. Sebab yang beliau tawarkan itu adalah sistem yang berakar dari gotong royong, dari saling bantu, dari nilai-nilai sosial yang menempatkan manusia di atas laba. Tapi kapitalisme yang sudah duduk manis di singgasana sejarah kita tidak tinggal diam. Ia merayap ke semua sistem pendidikan, ke mentalitas birokrat, ke cara berpikir elite politik.

Koperasi yang seharusnya jadi pilar ekonomi rakyat justru dipolitisasi, disabotase, dijadikan alat kampanye. Maka rakyat lebih percaya pada bank, pada rentenir digital, pada marketplace luar negeri — daripada pada koperasi yang katanya milik bersama.

Maka, wahai bangsa yang katanya hebat ini, kita sedang tidak butuh ideologi baru. Kita butuh pulang. Pulang ke asal kita. Ke nilai-nilai kita sendiri yang belum sempat tumbuh besar karena keburu dipangku oleh kapitalisme global. Mari kita periksa, siapa yang duduk di meja makan ekonomi kita hari ini? Siapa yang memegang panci dan siapa yang cuci piring?

Kalau memang kita ingin lepas dari cengkeraman kapitalisme global, jangan cuma ganti baju ideologi. Ganti cara makan kita. Ganti cara berpikir kita. Jangan jualan dari dapur orang lain. Sebab bangsa yang tidak bisa masak sendiri, akan terus makan di warung orang. Dan bayar pakai utang.[]

Nitiprayan, 15 Juni 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Tua Itu Rahmat yang Minta Dimengerti

Tua Itu Rahmat yang Minta Dimengerti

Kiai-kiai tua, embah-embah yang duduk bersarung sambil nonton langit, para sesepuh yang tubuhnya melambat tapi pikirannya makin lembut — jangan lekas menyebut diri sakit.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo

Topik