CakNun.com

Jalan Kita Panjang, Tapi Akal Kita Pendek

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Photo by set.sj on Unsplash

Para begawan sudah dari dulu bilang, bahwa kekuatan sejati suatu bangsa tidak terletak pada tumpukan tambang atau lautan sawit. Tapi di kepala dan hati manusianya. Negeri yang kuat adalah negeri yang tahu mana yang harus disubsidi dan mana yang mesti dikompetisikan. Negara yang cerdas bukan yang sibuk dagang aset publik, tapi yang tahu kapan harus melindungi dan kapan melepaskan. Itu sebabnya Cina bisa bikin Barat megap-megap — karena sektor publiknya digenggam negara, bukan dijual ke konglomerat.

Begawan kita bilang: bangun daya saing nasional itu bukan cuma soal menarik investor. Tapi bagaimana negara hadir di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Negara bukan tukang dagang, tapi tukang pelihara. Kalau rakyat sehat, sekolah bagus, jalan mulus, itu namanya rakyat dipupuk, bukan dijual.

Dan sesungguhnya, NKRI sudah di jalur yang benar. Tapi ya itu, jalannya masih pakai sandal jepit. Larinya pelan, kadang terpeleset karena licin oleh oli birokrasi yang bocor. Agenda reformasi jangan cuma berhenti di e-KTP atau digitalisasi data. Yang harus dibenahi adalah inti sari dari investasi itu sendiri: pendidikan. Sebab pendidikan itu bukan sekadar gelar atau ijazah, tapi pabrik produktivitas manusia.

Namun lihatlah sekarang, dunia pendidikan tinggi kita lebih mirip pasar gelap ketimbang rumah ilmu. Dosen-dosen sibuk mengisi borang akreditasi daripada berdiskusi soal masa depan bangsa. Mahasiswa lebih paham cara menulis skripsi pakai AI daripada memahami makna integritas. Kampus lebih fasih bicara reputasi internasional daripada menjawab kebutuhan lokal.

Padahal begawan sudah sering mengingatkan: pendidikan tinggi itu benteng terakhir kita dalam perang global. Kalau universitas sudah jadi korporasi, maka mahasiswanya akan lahir sebagai konsumen, bukan sebagai pemimpin.

Kita tidak kekurangan anak pintar. Kita kekurangan ekosistem yang menumbuhkan kecerdasan yang membumi. Kita punya banyak pengusaha, tapi yang nasionalistik? Langka. Bukan karena genetiknya salah, tapi karena birokrasi kita bikin siapapun jadi pragmatis.

Birokrasi itu seharusnya seperti air bagi petani. Bening, mengalir, menyuburkan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: birokrasi seperti kabut. Tak jelas, menyesatkan, dan menutupi jalan. Mau jadi pengusaha saja harus punya kenalan di kementerian. Mau buka pabrik, harus setor sana-sini dulu. Bagaimana rakyat bisa produktif kalau negara sendiri tidak memberi mereka tempat untuk tumbuh?

Saya makin yakin satu hal: masa depan bangsa ini akan sangat ditentukan oleh dunia pendidikan. Tapi saya juga makin pesimis ketika melihat wajah asli pendidikan kita hari ini. Bukan hanya miskin anggaran, tapi juga miskin harapan. Para guru hebat disuruh ikut pelatihan yang disusun orang yang tidak pernah mengajar. Para dosen hebat dibungkam dengan regulasi yang menjadikan mereka pegawai administrasi.

Bangsa ini seperti kapal besar yang sedang berlomba di samudera global, tapi kapalnya tambal sulam dan awaknya bingung arah. Kita ini bangsa kaya, tapi miskin pola pikir. Kita punya Pancasila, tapi yang diamalkan justru mental korporasi. Kita punya universitas negeri, tapi dikelola seperti Perusahaan.

Kalau tidak segera kita sadari, maka anak-anak kita kelak hanya akan jadi penonton di negerinya sendiri. Mereka akan jadi tenaga kerja di pabrik-pabrik milik asing, atau pengguna setia produk luar yang dibayar pakai utang dalam negeri.

Kita harus berani mengembalikan roh pendidikan sebagai taman untuk menumbuhkan manusia. Kita butuh pengusaha yang bukan sekadar pebisnis, tapi pejuang. Kita perlu birokrasi yang bukan penghalang, tapi pelayan.

Dan itu semua tidak akan bisa terjadi jika kita tetap berpikir bahwa daya saing nasional itu soal kompetisi semata. Sebab hakikatnya, daya saing bangsa itu bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling paham siapa dirinya.

Mari kita mulai dari satu hal: kembali percaya bahwa pendidikan itu bukan beban negara. Ia adalah jantungnya.[]

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Topik