Demokrasi Ekonomi: Jalan Sunyi yang Dilupakan


Kita ini bangsa besar. Tapi kita sering lupa untuk menjadi besar dengan cara yang benar. Kita ribut tentang demokrasi, kita bikin festival lima tahunan bernama pemilu, kita paradekan jargon-jargon “daulat rakyat” dan “kedaulatan hukum”. Tapi kita jarang sekali duduk sejenak, menarik napas dalam, dan bertanya: apakah demokrasi kita ini sudah menyentuh jantung sesungguhnya dari kesejahteraan manusia?
Demokrasi yang sesungguhnya bukan sekadar soal kursi DPR atau kekuasaan presiden. Ia bukan hanya tentang siapa yang menang debat di televisi atau siapa yang bisa sewa konsultan politik termahal. Demokrasi yang sejati—yang dulu diperjuangkan para pendiri bangsa dengan darah dan air mata—adalah demokrasi ekonomi. Demokrasi yang menyentuh isi piring rakyat, harga beras di warung, dan nasib petani di lereng Merapi. Demokrasi yang tak hanya bicara soal siapa yang memimpin, tapi juga untuk siapa kekayaan negeri ini dikelola.
Rasulullah SAW bukanlah pendiri kerajaan. Ia tidak mendirikan dinasti. Ia tidak mewariskan kekuasaan politik, tapi ia menanam akar ekonomi yang adil dan partisipatif. Piagam Madinah bukan hanya dokumen sosial-politik. Ia adalah dokumen ekonomi. Ia membongkar monopoli pasar, meruntuhkan oligarki dagang, dan mendirikan wakaf sebagai tulang punggung peradaban. Rasul tak pernah berkhutbah tentang pasar bebas, tapi beliau menegakkan pasar yang bebas dari kerakusan.
Kalau kita sungguh memahami sejarah, kita akan sadar: Rasul adalah Nabi terakhir karena ajarannya menyentuh substansi paling mendasar dari kehidupan manusia—yaitu bagaimana kita berbagi rezeki, mengelola kekayaan, dan memastikan tak ada yang kelaparan sementara sebagian menimbun emas.
Sayangnya, demokrasi kita hari ini justru dilucuti dari ruhnya. Politik jadi panggung kekuasaan semata, ekonomi jadi ladang konglomerasi. Bukan rakyat yang berdaulat, tapi segelintir pemilik modal yang mengendalikan parlemen, partai, bahkan kebijakan negara. Ironis, sebab dulu kita merdeka bukan karena ingin punya bendera sendiri, tapi karena rakyat tak tahan lagi dijerat oleh sistem ekonomi kolonial yang menindas. Tapi sekarang? Kita malah membangun ekonomi yang lebih rapi dan lebih menyakitkan dari zaman Belanda.
BUMN kita hari ini, misalnya, bukan lagi cermin dari pengelolaan kekayaan rakyat oleh rakyat. Ia berubah menjadi perpanjangan tangan negara yang sering justru menjauh dari rakyat. Yang dulu semangatnya adalah kedaulatan rakyat atas aset nasional, kini berubah jadi kompetisi untung-rugi ala korporasi. Rakyat kembali jadi penonton. Atau lebih parah: jadi konsumen yang harus bayar lebih mahal untuk fasilitas miliknya sendiri.
Inilah mengapa, semestinya fakultas politik dan ekonomi tidak berdiri sendiri. FISIPOL dan FEB seharusnya bersatu: sebab politik yang tidak paham ekonomi hanyalah mimpi kosong, dan ekonomi yang tak punya nilai politik hanyalah kerakusan yang dibungkus statistik.
Kita perlu kembali ke titik berangkat. Bahwa demokrasi bukan tentang siapa yang memimpin, tapi untuk siapa kekayaan negeri ini dikelola. Kita perlu ekonomi yang dikembalikan ke tangan rakyat, bukan melalui slogan populis, tapi lewat sistem konkret—koperasi, wakaf produktif, distribusi aset, dan prinsip kekeluargaan. Hanya dengan itu daulat rakyat benar-benar bisa berjalan.
Bila kita terus berpesta dalam ilusi demokrasi politik, tanpa mengakar ke demokrasi ekonomi, maka kita bukan sedang membangun bangsa. Kita sedang memahat nisan perlahan-lahan. Dengan ukiran mewah, tentu saja.
Maka kalau hari ini masih ada yang percaya bahwa demokrasi kita baik-baik saja, mungkin mereka terlalu sering duduk di ruang ber-AC dan lupa mencium bau keringat nelayan yang tak laku jual ikan karena kalah saing sama korporasi asing. Atau mereka terlalu sibuk selfie di TPS, merasa telah menyelamatkan bangsa dengan mencoblos satu nama, padahal esok harinya harga cabai tetap naik dan anak-anak petani tetap harus berhenti sekolah.
Kita ini bangsa yang pandai membuat slogan, tapi malas menanam sistem. Kita fasih bicara tentang “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, tapi saat rakyat mencoba berdagang kecil-kecilan di pinggir jalan, justru ditertibkan oleh petugas yang gajinya dibayar dari pajak rakyat itu sendiri.
Barangkali kita tak benar-benar ingin demokrasi. Barangkali kita hanya ingin giliran berkuasa. Dan giliran itu kita samarkan dengan kata-kata indah: pembangunan, stabilitas, pertumbuhan ekonomi.
Tapi sampai kapan kita mau terus hidup dalam demokrasi yang hanya memberi panggung pada elit, sementara rakyat cuma dapat kursi penonton paling belakang—tanpa tiket pulang?[]
Pakem, 9 Juni 2025