Angon Laa Roiba: Cinta Menemani, Keyakinan Melayani


Jakarta, 16 Mei 2025 — Hujan turun sejak siang di Jakarta. Air menyelinap tenang ke sela-sela aspal dan trotoar yang retak. Udara basah dan langit suram mengiringi Jumat sore yang tampak enggan menjadi malam. Tapi menjelang pukul enam, langit membuka sedikit ruang. Kota mulai bernapas lebih ringan. Di pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM), lampu-lampu menyala dan manusia mulai berdatangan — bukan untuk menyaksikan pertunjukan teatrikal atau konser populer, melainkan untuk duduk bersama, bersila, dan mendengarkan. Kenduri Cinta edisi 256 bulan Mei digelar, dengan tema: “ANGON LAA ROIBA”.
Forum Kenduri Cinta bukan sekadar diskusi malam. Ia adalah perayaan yang tidak mengenal panggung, tidak menyisakan penonton, dan tidak pernah menjadikan mikrofon sebagai satu-satunya corong suara. Dalam Kenduri Cinta, semua setara: berbicara, mendengar, berpikir, dan meresapi. Tema “Angon Laa Roiba” adalah ajakan halus namun mendalam untuk menertibkan kembali batin dan akal dari keraguan, serta menggembalakan nurani agar tidak tercerai oleh kecepatan zaman.
Tidak banyak yang ingat bahwa Taman Ismail Marzuki (TIM), tempat forum ini digelar, bukan hanya sebuah kompleks seni. Ia lahir dari visi besar: menjadikan Jakarta tidak hanya sebagai ibu kota politik, tapi juga sebagai pusat kebudayaan nasional. Diresmikan pada 10 November 1968 oleh Gubernur Ali Sadikin, TIM dibangun sebagai ruang artikulasi kreativitas, pertemuan antara tradisi dan kemodernan, tempat dimana seniman, pemikir, dan warga dapat meneguhkan identitas kultural bangsa lewat karya dan wacana.
Sejak era setelah Reformasi bergulir, TIM menjadi rumah yang konsisten bagi Kenduri Cinta, salah satu simpul Maiyah. Bulan Mei, bukan bulan yang hampa makna. Ia menyimpan jejak sejarah: bulan Pendidikan, bulan Reformasi, dan dalam konteks Maiyah, bulan Maiyah. Sebab di bulan inilah, puluhan tahun silam, Emha Ainun Nadjib — bocah angon dari Jombang yang kelak menjadi pusat dan poros Maiyah — dilahirkan.
Maiyah tidak menjadikan kelahiran sebagai perayaan tokoh secara berlebihan. Tidak ada kultus terhadap tanggal, tidak ada pemujaan terhadap figur. Sebab dalam kerangka berpikir Maiyah, yang dirayakan bukanlah dari mana seseorang datang, tapi ke mana ia menuju. Sebagaimana Islam tidak menandai kelahiran Nabi sebagai tonggak sejarah, melainkan memilih Hijrah sebagai permulaan kalender, Maiyah pun menempatkan perjalanan, bukan permulaan, sebagai esensi hidup.
Jumat malam itu bukan sekadar mengenang kelahiran Cak Nun, tapi menyelami ruh hijrahnya: dari gaduh menuju hening, dari keraguan menuju keteguhan, dari ketidaktahuan menuju keutuhan. Kenduri Cinta menjadi ruang tadabur dan tafsir terbuka, tempat siapa pun bisa membaca ulang sejarah — bukan dengan nada kebencian, melainkan dengan cinta yang kritis dan jernih.
Ratusan bahkan ribuan orang hadir malam itu. Mereka datang bukan karena undangan formal, tetapi karena rasa percaya: bahwa berpikir bersama dalam suasana yang egaliter adalah kebutuhan zaman. Tidak ada selebrasi, tidak ada seremoni. Hanya tenda sederhana, tikar, musik akustik, diskusi yang mengalir, dan kesediaan untuk diam. TIM, seperti pada puluhan tahun sebelumnya, kembali menjadi tempat untuk menyemai kemungkinan, bahwa kebudayaan bisa hadir bukan sebagai tontonan, tapi sebagai percakapan.
Di malam itu, forum ini mengajarkan kembali makna ruang. Bahwa menjaga TIM bukan hanya tentang fisiknya, tapi tentang menjaganya sebagai ekosistem berpikir. Di kota yang sibuk mengejar pembangunan, Kenduri Cinta memilih untuk merawat peradaban — dengan sabar, dengan kasih, dan dengan jalan sunyi yang tidak pernah kehilangan cahaya.
Forum Kenduri Cinta malam itu resmi dimulai pukul 19.30 WIB di pelataran Teater Besar Taman Ismail Marzuki, diawali dengan pembukaan yang khidmat dan menyentuh. Para penggiat — Rizal, Awan, Alfa, Rizal Harjanto, Munawir, dan Akhmad Mizani — memimpin lantunan sholawat dan doa bersama, mengalunkan keheningan yang sarat makna. Suasana berubah menjadi syahdu, menghadirkan kedamaian yang meresap hingga ke relung hati jamaah. Lebih dari sekadar ritual pembuka, momen ini menjadi simpul batin yang merekatkan kebersamaan dan menyelaraskan kesadaran spiritual, membuka ruang hati dan pikir untuk menyambut perbincangan malam itu dengan jiwa yang bersih dan terbuka.
Laku Angon: Melayani dengan Tulus dan Bersungguh-Sungguh
Sesi diskusi dimulai dengan suasana hangat dan penuh perhatian. Rizal dan Mizani tampil sebagai moderator malam itu, mengenakan kemeja putih yang mencerminkan kesederhanaan sekaligus kesiapan mereka memandu forum. Rizal membuka sesi dengan salam yang lantang dan sapaan hangat kepada jamaah, mencairkan suasana dan mempererat kedekatan antar sesama. Mizani kemudian mengajak seluruh jamaah untuk sejenak bersyukur, mengingatkan bahwa bulan Mei adalah bulan kelahiran Cak Nun, sebuah momen penting yang patut direnungi dan dirayakan sebagai bentuk cinta dan doa. Setelah pembukaan singkat, moderator mempersilakan Ansa, Karim, dan Bang Lims untuk bergabung sebagai pemantik dan pembicara diskusi sesi awal, membuka ruang perbincangan yang akan membawa forum menyelami tema malam itu.

Selanjutnya, moderator mempersilakan Ansa untuk memulai pembahasan tema “Angon Laa Roiba”. Dengan tenang dan penuh kejelasan, Ansa menguraikan kembali fondasi pemikiran yang telah dipaparkan dalam mukadimah. Ia menyoroti bahwa “angon” bukan sekadar aktivitas pastoral menggiring hewan, melainkan sebuah simbol spiritual dari kepemimpinan yang melayani, menemani, dan menjaga dengan penuh kasih dan tanggung jawab. Kepemimpinan yang tidak berjarak, tidak serba memerintah dari atas, melainkan menyatu, membaur, dan tumbuh bersama umatnya.
Sebelum masuk lebih jauh ke pemaknaan, Ansa mengajak jamaah untuk merenungi kembali hakikat forum Kenduri Cinta itu sendiri — sebuah ruang perjumpaan batin yang telah dibangun, dirawat, dan dimuliakan oleh sosok yang menjadi pusat dari keberadaan forum ini: Cak Nun. Ia mengingatkan bahwa Cak Nun bukan hanya penggagas, tetapi juga guru kehidupan yang melalui karya, laku, dan keteladanannya telah memperjalankan kita dengan berbagai intensi dan jalan hidup yang berbeda, namun pada akhirnya disatukan dalam kasih sayang dan kebersamaan di dalam forum ini. “Kita semua diperjalankan oleh berbagai hal, tetapi kita dipertemukan di sini oleh cinta,” ucapnya.