Angon Laa Roiba


TIDAK SEORANG Nabi pun yang tidak pernah menjadi penggembala. Demikian sabda Kanjeng Nabi Muhammad dan dicatat dengan seksama secara muttafaqun ‘alaihi. Sejak kecil, para Nabi telah dididik oleh Gusti Allah melalui alam dan kehidupan dengan tongkat sebagai amsal di tangan dan kawanan domba sebagai realita sosial di hadapan.
Menggembala bukan hanya perkara pekerjaan, atau orang modern menyebutnya profesi, tetapi proses pembelajaran mendalam untuk mencintai tanpa pamrih, menjaga tanpa menguasai, menuntun tanpa memaksa, menemani tanpa mengintimidasi, dan mengupayakan keseimbangan tanpa mencurangi. Menggembala juga bukan soal aktivitas beternak atau dalam ranah ekonomi berkaitan dengan usaha memproduksi barang dan jasa serta melipatgandakan keuntungan untuk memenuhi hasrat konsumtif tanpa batas, tetapi rangkaian laku telaten agar setiap hewan gembalaannya bisa makan cukup, tumbuh sehat, dan hidup lebih baik.
Dalam kisah penggembalaan para Nabi, ada instrumen penting yang sering luput dari jangkauan perhatian para pencari hikmah, yaitu tongkat. Jika kita pelajari dengan teliti, tongkat bukan sekadar alat bantu atau simbol kuasa. Tongkat Nabi Ibrahim, misalnya, sangat identik dengan simbol teman perjalanan menuju Tuhan. Tongkat Nabi Musa diberikan fadhilah untuk membelah lautan bukan untuk menaklukkan atau menguasai suatu kaum, tetapi untuk menyelamatkan kaumnya yang tertindas penguasa. Tongkat Nabi Sulaiman lain lagi, bukan alat untuk menaklukkan jin atau menguasai angin, tetapi menjadi jembatan menuju keadilan. Sementara tongkat Kanjeng Nabi Muhammad, justru menjadi tempat umat pengikutnya bernaung di bawah bayangannya. Dalam semesta kenabian, tongkat adalah lambang Rahmat dan Perlindungan, bukan simbol power, kuasa, jumawa, apalagi penaklukan dan penindasan.
Tradisi penggembalaan yang kemudian diwarisi oleh para ulama dan salafussholih, termasuk penggunaan tongkat, juga lazim ditemui di bumi Nusantara sejak masuknya Islam di abad ke-7 Masehi hingga hari ini, bahkan memunculkan sebuah idiom khusus bocah angon yang diabadikan di tembang-tembang Jawa. Makna multidimensi bocah angon yang menggambarkan kesederhanaan, kesetiaan, keuletan, ketabahan, kesabaran, kemerdekaan, keseimbangan, sekaligus ketajaman berpikir dan kedalaman mengolah rasa inilah yang secara khusus diangkat menjadi tema Kenduri Cinta bulan Mei 2025.
Apa rukun dan pasalnya? Pertama, 72 tahun yang lalu, tepatnya pada 27 Mei 1953, bocah angon yang kelak kita kenal dengan nama Cak Nun, Mbah Nun, Emha Ainun Nadjib dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Menturo, di Jombang, Jawa Timur. Ia tumbuh dalam pelukan kesederhanaan dan cinta yang luas dari ayah dan ibunya—Muhammad Abdul Latief dan Chalimah. Anak keempat dari lima belas bersaudara ini sejak kecil sudah diajak menggembala wedhus. Tapi yang lebih penting dari itu: ia belajar mengasah hati, menajamkan pikiran, membentuk kepekaan, dan membangun cinta kepada hidup melalui spirit penggembalaan.
Kedua, bulan Mei atau biasa kita kenal dengan bulan Pendidikan dan bulan Reformasi, juga adalah bulan Maiyah. Maiyah lahir bukan di podium-podium kekuasaan, tetapi di tengah-tengah rakyat yang menuntut reformasi. Maiyah tumbuh bersama Mbah Nun yang menemani mahasiswa yang berteriak menuntut perubahan, rakyat kecil yang merintih lapar, pemimpin politik dan aktivis sosial yang gamang, bahkan Jenderal Suharto yang di saat-saat akhir jabatannya ingin sekali ber-khusnul khotimah. Meskipun saat ini beliau tengah menepi dan beristirahat dari laku angon-nya, cahaya perjalanan hidupnya yang tidak pernah lepas dari ikhtiar pencerdasan umat, dan reformasi cara berpikir terus menjadi pelita bagi anak-cucu Maiyah. Simpul, lingkar, dan majelis-majelis ilmu Maiyah yang hingga hari ini masih terus berjalan adalah rangkaian tak terpisahkan dari laku angon Mbah Nun sejak kecil hingga peran sentralnya dalam menemani kelahiran reformasi 1998.
Ketiga, kita tidak merayakan milad beliau seperti merayakan ulang tahun tokoh atau pemimpin biasa. Kita tidak sekadar mengenang kelahiran, tetapi mencoba menyelami ruh dan hikmah dari perjalanan hidup yang beliau jalani. Sebab kelahiran itu sendiri bukan apa-apa jika tidak diikuti dengan perjalanan yang bermakna. Maiyah tidak lahir atas lahirnya tokoh apapun, tidak pernah mengangkat hari lahir seseorang sebagai hari suci, dan tidak mengabadikan hari lahir siapapun. Sebagaimana Islam tidak menjadikan kelahiran Nabi Muhammad sebagai tonggak penanggalan, tetapi menjadikan hijrah sebagai titik mula. Maiyah berpijak bukan pada tentang datang dari mana, tapi tentang ke mana kita berjalan. Maka yang kita rayakan bukan sekadar merayakan kelahiran bocah angon, tapi hijrahnya: dari kegelapan menuju cahaya, dari keraguan menuju keyakinan, dari keterpisahan menuju keutuhan.
Keempat, kita semua mafhum bahwa reformasi yang digadang-gadang menjadi titik balik perubahan yang lebih baik, ternyata menyisakan luka. Keadilan yang diharapkan tak kunjung nyata. KKN yang dulu dikritik kini diwariskan bahkan dibagi rata hingga ke tingkat RT. Kekuasaan tidak lagi diperebutkan oleh segelintir elite, tapi diperebutkan oleh semua yang merasa berhak. Dalam situasi inilah, Maiyah mendapatkan mandat untuk terus menemani Ibu Pertiwi Indonesia dan anak-cucunya. Bukan sebagai organisasi, bukan sebagai partai, bukan pula sebagai pergerakan ideologis. Maiyah akan terus berada di jalur dan spirit “menemani”. Seperti bocah angon yang menemani wedhus-wedhus-nya: setia, sabar, dan tulus, namun tetap riang gembira penuh jiwa syukur dan pikiran fokus. Angon bukanlah pekerjaan mengurung atau memaksakan. Angon adalah seni menjaga kebebasan sambil memastikan keselamatan. Angon bukan memerintah dari jauh, tapi berjalan bersama di tengah kawanan. Itulah laku Mbah Nun dan para pejalan Maiyah. Itulah yang kita pelajari dari beliau dan para pendahulu Maiyah: bahwa hidup bukan tentang menguasai, tapi menemani. Bukan tentang memimpin, tapi melayani. Bukan tentang mendikte, tapi mendengarkan dan membersamai, karena hakikat terdalam Maiyah adalah bersama Allah.
Kelima, tongkat yang dipegang oleh para Nabi, termasuk oleh para pewarisnya seperti Mbah Nun, bukan alat untuk menundukkan. Mungkin hari ini tongkat itu berbentuk atau bermanifes menjadi AI (artificial intelligence), crypto currency, penyangga ekonomi domestik suatu negara bernama reciprocal tariffs, tapi utilitasnya harus dipastikan untuk merintis jalan, menerbitkan mata air, dan menggugurkan daun-daun sebagai pangan bagi hewan yang lapar serta mahluk yang butuh memperbaiki kualitas kehidupan. Dalam bahasa manusia: tongkat itu digunakan untuk menghadirkan makhroja atau jalan keluar dari kesulitan, menenangkan hati yang kering, dan mengembalikan harapan pada mereka yang pucat pasi, berdiri gemetar di tepi jurang keputus-asaan.
Dari lima rukun penggembalaan di atas, hari ini, 72 tahun setelah kelahiran bocah angon itu, kita semua masih melingkar. Kita menyalakan api cinta di tengah gelapnya zaman. Kita berusaha melanjutkan laku angon—laku kenabian, menemani hati-hati yang kesepian, pikiran-pikiran yang haus makna, dan jiwa-jiwa yang merindukan arah.
Karena memang setiap dari kita adalah Bocah Angon. Sebagaimana sabda Kanjeng Nabi:
“Setiap kalian adalah gembala. Dan setiap gembala akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.”
Di atas tapak jejak kenabian tersebut, Mbah Nun mengajari dan melatih kita untuk berkarakter Bocah Angon sebagaimana telah disapa dengan penuh kasih-sayang oleh Kanjeng Sunan Kalijaga yang diaransemen ulang oleh Kiaikanjeng dalam tembang Ilir-Ilir. Berangkat dari kesadaran sebagai sesama ‘Bocah Angon’, kita pada dasarnya adalah juga sesama yang sedang di-angon dan merindukan Sang Maha Angon.
Mari kita terus berjalan, saling menemani, saling menjaga. Di bawah langit Maiyah, bersama tongkat Rahman-Rahim kasih sayang, menuju Ridha Ilahi yang kita rindukan.
Laa Roiba Fil Maiyah.