CakNun.com

Aku, Koruptor Dalam Mimpi

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 8 menit
Image by Free-Photos from Pixabay

Para penyembah anggaran, para pengabdi proyek, dan pecinta amplop terselubung yang maha tahu cara mencairkan dana tanpa mencairkan hati nurani — mungkin kalian tidak sadar bahwa negeri ini tidak sedang kekurangan anggaran, tapi sedang kelebihan cara menyembunyikan anggaran.

Jadi begini. Suatu malam, entah malam apa, aku tertimpa mimpi. Bukan mimpi remeh temeh, bukan juga mimpi menyelamatkan dunia, apalagi mimpi berciuman dengan cinta pertama — sudah basi, sudah jadi istri orang. Ini mimpi ganjil bin ngeri: aku menjadi koruptor kelas kakap. Iya, kakap. Bukan ikan asin kelas teri yang bisa ditangkap wartawan investigasi atau mahasiswa magang.

Dalam mimpi itu bukan sekadar maling uang koperasi RT atau pencatut dana pembangunan gorong-gorong. Aku adalah tuhan — tuhan yang menciptakan proyek, menghidupkan anggaran, dan menggandakan kwitansi. Di alam mimpi itu, aku naik mobil dinas berpelat merah, tapi hatiku sehitam tinta stempel fiktif.

Di pesta anggaran tahunan yang digelar di istana mimpi, aku berdiri di tengah ruangan sambil mengangkat gelas whisky — merek lokal, tentu saja, sebab nasionalisme tetap harus dijaga meski dalam dosa. Kuteriakkan kalimat sakral: “I am the Lord! I am the Law! And I am the richest man in Indonesia!” Yang berdiri di sekitarku, semuanya tertawa. Antara mabuk dan kagum. Entah karena mereka mengenal kebesaran dompetku atau karena semua sedang menunggu giliran proyek.

Yang membuatku takut bukan mimpinya, melainkan kenyataan bahwa begitu aku bangun, dunia tak jauh berbeda. Aku tak lagi jadi koruptor kakap, aku kembali jadi rakyat jelata — tapi wajah-wajah dalam mimpiku… masih ada di televisi pagi ini. Masih ada di beranda medsos. Masih ada di rapat-rapat anggaran. Masih duduk manis di kursi empuk, menghisap kopi dinas, dan menandatangani proposal yang ditulis dengan tinta tak kasat mata — tinta dosa.

Rasanya, hanya di negeri ini, orang bisa tertawa-tawa di ruang sidang, bahkan saat dituntut 12 tahun. Mungkin mereka sedang menghitung, bukan masa hukuman, tapi potongan remisi dan lamanya mereka akan jadi martir partai sebelum balik lagi ke lingkaran kuasa.

Korupsi hari ini bukan lagi sekadar kejahatan — tapi laku spiritual. Laku tirakat untuk mencari celah, membuat laporan pertanggungjawaban dengan power point yang indah, namun kosong seperti kotak amal palsu di pinggir jalan. Mereka puasa dari empati, salat di tikungan anggaran, dan zakatnya… ya, itu tadi: amplop terselubung yang disalurkan melalui yayasan keluarga.

Mimpi tetaplah mimpi. Dan negeri ini, meski airnya keruh, tetap akuarium yang ramai. Semua ingin jadi paus, tak ada yang mau jadi plankton. Semua ingin berkuasa, tak ada yang mau mencuci tangan — kecuali di depan kamera, tentu saja. Aku bersyukur pernah mimpi jadi koruptor. Setidaknya aku bangun. Yang jadi masalah, mereka yang betulan koruptor, tampaknya belum juga bangun — karena mereka tidak tidur. Mereka berjaga malam, menunggui anggaran, memeluk proyek seperti bayi, dan mencium amplop seperti mencium kitab suci.

Astaghfirullah, kata istriku. Lanjutkan mimpimu, kataku dalam hati — barangkali lebih nyata daripada dunia nyata. Mimpi memang tak pernah konsisten. Hari ini aku jadi pejabat: berdasi, senyum, difoto bareng rakyat. Besok aku jadi pengusaha: makan siang bareng pejabat yang kemarin, makan malam bareng makelar proyek. Lusa, entah kenapa, aku jadi tukang parkir di depan gedung DPR — tapi bukan tukang parkir biasa. Aku yang mengatur siapa yang boleh masuk duluan, siapa yang ditahan dulu, dan siapa yang cukup bayar “langganan” saja biar bebas 5 tahun ke depan.

Tapi benangnya satu: aku punya kekuasaan. Bukan kekuasaan dari Tuhan. Bukan pula kekuasaan dari suara rakyat. Tapi kekuasaan yang dibangun dari koneksi, komisi, dan komposisi pencitraan. Kekuasaan yang bisa lahir dari siapa saja — asal tahu di mana celah dan ke mana arah anggaran melompat. Karena ternyata, korupsi itu tak butuh jabatan. Cukup punya kuasa. Kuasa atas keputusan. Kuasa atas celah peraturan. Dan yang terpenting: kuasa untuk tidak malu ketika sedang memalukan diri sendiri.

Aku, dalam mimpi itu (yang rasanya setengah nyata), menguasai banyak jurus. Ilmu tingkat tinggi. Ilmu yang tidak diajarkan di bangku kuliah, tapi diwariskan turun-temurun melalui rapat-rapat gelap dan makan malam eksklusif: Jurus Klasik: “Mark-up Rekanan” Harga proyek yang aslinya 100 juta ditulis 300 juta. Tapi tenang, 200 juta bukan buat aku semua. Kita bagi dua, karena korupsi juga mengenal solidaritas dan keadilan — dalam lingkaran kawan sendiri. Rakyat? Dapat plang proyek dan janji manis. Jurus Modern: “Feasibility Study Berbahasa Inggris dengan Hasil Kebohongan Global” Proposal dibuat elegan. Grafik penuh warna. Analisa SWOT dikutip dari Harvard, padahal sebenarnya SWOT-nya cuma: Suka Wacana, Ogah Tanggung jawab. Tapi karena berbahasa Inggris, semua manggut-manggut. Tak ada yang mau dibilang tidak internasional. Padahal yang dibangun nanti tetap jalan berlubang dan gedung tak selesai, tapi rapi laporan akhirnya.

Jurus Ilahiah: “Menghibahkan Jalan Tol setelah Duitnya Ditilep Maksimal” Aku bangun tol pakai duit rakyat, kutarik bayaran rakyat pakai tarif naik terus, lalu setelah semua lunas, aku bilang ini demi amal jariyah: jalan tolnya aku hibahkan! Yang tak tahu, rakyat sudah bayar 3 kali lipat dari biaya aslinya. Tapi tetap bersyukur, karena katanya: “Lebih baik ada tol mahal daripada tidak ada tol sama sekali.” Begitu katanya. Begitu doktrinnya. Begitu dalihnya.

Aku kadang bingung, ini masih mimpi atau sudah jadi berita. Kadang mimpiku keduluan tayang di televisi. Kadang kenyataan malah terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung ada alarmnya. Tapi tak apa. Selama masih bisa tertawa, mari kita lawan dengan tawa. Selama mimpi belum ditangkap KPK, dan kenyataan belum memanggil nurani, kita masih bisa menuliskannya. Sebab di negeri ini, antara mimpi dan kenyataan hanya dibatasi satu hal: kontrak proyek.

Maka dari itu, sebelum aku terbangun lagi jadi penjaga parkir yang kebagian remah kekuasaan, izinkan aku berlatih satu jurus terakhir: “Jurus Mengelabui Diri Sendiri Agar Merasa Bukan Bagian dari Masalah.” Itulah jurus favorit sebagian besar kita. Astaghfirullah. Semoga setelah ini aku mimpi jadi rakyat kecil yang bahagia — bukan karena dapat bansos, tapi karena negaranya sudah berhenti menjadikannya bahan bancakan.

Aku tertawa dalam mimpi. Tertawa sambil berguling di atas laporan audit dari Big Five. Audit bintang lima, tapi hatinya kopong. Di mimpi itu, tumpukan kertas laporan keuangan menjadi kasur empuk. Aku peluk erat, hangat rasanya. Bahkan lebih hangat dari pelukan mantan waktu masih sayang.

Big Five? Halah. Di negeri ini, label internasional sering dianggap lebih suci daripada hati nurani. Apalagi kalau laporannya ditulis dalam bahasa Inggris. “Outstanding cash inflow reconciliation due to extraordinary corporate maneuvering.” Padahal maksudnya: “Duit siluman masuk tanpa jejak karena akal-akalan bos besar.” Tapi karena bahasanya Inggris, semua manggut-manggut.

Di sektor ekspor, aku kirim gombal, kain pel, dan sisa pabrik tekstil. Tujuannya bukan untuk menaklukkan pasar global, tapi untuk menyelamatkan “laporan laba rugi” di gudangku sendiri di Singapura. Begitu barang tiba: langsung dibuang ke tong sampah. Tapi dokumen ekspornya? Lengkap. Capnya? Resmi. Suapnya? Pas. Kredit Rp 500 miliar cair mulus, dan aku cukup ongkang-ongkang kaki menikmati laba bersih Rp 33,5 miliar.
Bank Indonesia bilang? “Tidak ada yang dirugikan.” Mereka benar. Rakyat toh tidak tahu apa-apa. Yang penting prosedurnya rapi. Negeri ini memang negeri prosedur. Kalau prosedurnya rapi, meskipun substansinya palsu, tetap dianggap sah.

Seperti pernikahan karena warisan. KUA mencatat, saksi menyetujui, wali nikah mengangguk. Tapi tak satu pun cinta ikut hadir. Tetap dianggap sah. Karena cinta di negeri ini bukan syarat, cukup jadi bonus — atau bahkan sekadar hoaks. Aku pindah ke sektor tol. Ini surganya para juragan tanah dan pelobi anggaran. Aku usulkan bangun jalan sendiri, pakai uang rakyat yang dipegang bank BUMN. Aku yang bangun, aku yang narik tol-nya, dan 15 tahun kemudian… aku bilang: “Dengan ini saya hibahkan jalan ini ke negara.” Negara tepuk tangan. Media bikin judul: “Konglomerat Dermawan Hibahkan Jalan ke Negara.” Padahal, selama 15 tahun, aku sudah makan daging, rakyat cuma mencium tulang. Itu bukan sedekah, tapi proses pemutihan. Seperti orang kaya yang bagi sembako menjelang pemilu — berharap Tuhan dan rakyat sama-sama amnesia.

Aku lanjut main di sektor properti. Kali ini sasaranku gedung bank. Aku beli dari bank, pakai uang pinjaman dari bank itu sendiri. Lalu aku sewakan lagi ke bank yang sama. Uangnya? Dipakai buat bayar cicilan. Begitu lunas, gedung jadi milikku. Bank-nya tetap sewa, tapi uang sewanya kini masuk ke kantongku. Itulah ekonomi yang disebut “Putar Balik Nasional Berkelanjutan.” Apakah pemimpin bank bodoh? Tidak. Tapi mereka hidup dalam sistem yang sudah lama disumpal — asal dapat jatah, semua diam. Lalu aku masuk ke ranah asuransi. Aku ciptakan tertanggung fiktif di kampung-kampung terpencil. Begitu “mati”, aku tagih klaimnya. Agen asuransi bungkam, karena mereka juga bagian dari sindikat. Mau aku kirim laporan kematian makhluk Mars pun, asalkan preminya terbayar, klaim bisa cair. Inilah ilmu tingkat tinggi: “Cara Mencetak Jenazah Palsu untuk Keuntungan Nyata.”

Dan yang paling canggih: aku juga memalsukan uang. Bukan uang abal-abal yang dipakai beli gorengan. Ini uang palsu kelas dewa. Tak pernah beredar. Disimpan di kas sebagai “iron stock”, cadangan yang tak boleh disentuh. Karena tidak disentuh, maka tidak dicurigai. Auditornya? Tak punya imajinasi sejauh itu. Mereka hanya menghitung. Tak pernah membayangkan ada iblis yang pintar akuntansi.

Kalau ini semua hanya mimpi, mengapa terasa terlalu rinci? Terlalu sistematis. Terlalu rapi.
Seolah-olah aku tak sedang tidur, tapi cuma sedang membuka mata ke realitas yang sudah dianggap biasa. Dan yang lebih ngeri: semua ini tidak terjadi di lorong-lorong gelap. Tapi di ruang ber-AC, di kantor resmi, di institusi yang dihormati. Lalu kita pun berkata: “Ya sudahlah, yang penting prosedur jalan.” Negeri ini dibangun di atas keyakinan bahwa asal prosedurnya benar, maka dosa bisa dilapisi kertas legalitas. Korupsi bisa dikemas sebagai investasi. Penipuan sebagai efisiensi. Dan kezaliman sebagai pelayanan publik. Kalau mimpi ini tak kunjung berakhir, barangkali kita semua memang sedang tertidur terlalu lelap — di bawah selimut prosedur, sambil memeluk bantal berisi audit palsu.

Mimpi ini terlalu sempurna untuk sekadar bunga tidur, tapi terlalu mirip dunia nyata untuk disebut khayalan. Maka aku bangun. Merinding. Bukan karena takut dosa — karena dalam mimpi pun, dosa sudah dianggap investasi. Tapi karena aku sadar, semua yang kulakukan di alam tidur itu, sedang dikerjakan oleh orang sungguhan di dunia nyata. Bahkan lebih rapi, lebih lihai, lebih halus. Mereka tidak mimpi. Mereka bangun. Sedang rapat. Sedang bikin keputusan. Sedang menyusun kalimat agar tampak bijak sambil mencuri.

Karena, saudaraku, korupsi hari ini bukan sekadar soal nyolong. Tapi soal strategi bertahan hidup dalam sistem rusak yang dianggap normal. Selama akar sistem tak dibereskan, kita hanya akan mencabuti daun-daun yang bolong. Membuang daun kering tiap hari, tapi membiarkan akarnya tetap subur — menghisap air suap dan pupuk gratifikasi. Kalau memang akarnya tak bisa disembuhkan, barangkali memang harus dimatikan sekalian. Tapi siapa yang berani menebang pohon korupsi, kalau semua orang sedang berteduh di bawahnya?

Maka izinkan aku menutup esai mimpi ini, bukan dengan dalil, bukan pula dengan ceramah panjang. Tapi dengan sepatah doa yang tak terlalu religius: Ya Tuhan, jika Engkau tak segera membereskan negeri ini, biarlah kami tidur lebih lama lagi. Karena terkadang, melihat mimpi buruk lebih mudah daripada melihat kenyataan yang lebih buruk dari mimpi.

Kita hidup di negeri yang hobi pura-pura. Pura-pura berantas korupsi, padahal sedang membagi kue. Pura-pura transparan, padahal kacanya kaca film. Pura-pura reformasi, padahal yang berganti cuma seragam, bukan isi kepala.

Negeri ini seperti rumah besar yang dicat terus-menerus agar tampak mewah, tapi pondasinya keropos, WC-nya mampet, dan dapurnya jadi tempat tikus berdiskusi sambil nyuri beras. Setiap tahun kita disuguhi jargon-jargon penuh semangat: “Good governance!” “Zero corruption!” “Digitalisasi anggaran!” “Revitalisasi birokrasi!

Tapi semua terdengar seperti musik gamelan yang dimainkan oleh orang yang tak tahu mana bonang, mana bantal. Ritmenya kacau, nadanya janggal, tapi tetap dipuji oleh MC dan influencer yang sudah di-endorse. Korupsi hari ini bukan sekadar penyakit mental. Tapi sistem yang disengaja dibiarkan rusak — karena terlalu banyak orang menggantungkan hidup darinya. Dan ironisnya, para perampok itu tampil dengan dasi paling rapi, parfum paling mahal, dan jargon moral paling suci. Mereka bicara soal “pembangunan berkelanjutan”, sambil menumpuk utang masa depan. Mereka berorasi tentang “anak bangsa”, sambil membiarkan anak-anak mati karena stunting, tak sekolah, atau digusur tanpa solusi. Padahal kita ini bukan bangsa bodoh. Kita cuma terlalu sabar. Terlalu pemaaf. Terlalu sering dibohongi oleh bahasa yang manis dan baliho yang besar.
Kita bisa tertawa di tengah tragedi. Kita bisa gotong royong meskipun negara pura-pura tidak tahu. Tapi, kalau terus ditekan, dihina kecerdasannya, dibodohi dengan anggaran dan janji, orang sabar pun bisa meledak. Dan bila rakyat yang selama ini diam, mulai membuka mulut dan melawan, yang paling panik bukanlah hukum, tapi para penjahat berdasi yang takut kebenaran mulai menyala di hati rakyat. Bangsa ini tidak butuh pahlawan super. Tidak perlu malaikat birokrasi dari negeri dongeng. Yang kita butuhkan hanyalah: sistem yang waras, dan manusia-manusia jujur yang tidak merasa harus kaya dalam semalam, yang tidak mengukur harga diri dari jumlah properti. Yang tahu bahwa kekuasaan itu amanah, bukan alat untuk membalas dendam politik, bukan mesin penggiling etika.

Dan kalau sistem sudah terlalu busuk untuk diperbaiki, barangkali memang perlu dibongkar.
Tapi jangan pakai kekerasan. Jangan pakai balas dendam. Mari kita bongkar dengan tawa, kejujuran, dan akal sehat. Karena kita bukan bangsa yang lemah — kita hanya terlalu sering ditidurkan dengan mimpi-mimpi yang disponsori oleh oligarki. Maka kepada para koruptor, para pengatur proyek, dan para pengendali anggaran yang mungkin sedang membaca ini — atau sedang ngecek apakah nama mereka tersinggung. Tenang saja. Kami tidak menyebut nama. Kami tahu kalian canggih. Kalian seperti virus: hari ini pejabat, besok komisaris, lusa penceramah moral di podcast. Tapi hati-hati. Rakyat ini sedang bangun. Bangun dari tidur panjang penuh mimpi buruk. Dan kalau rakyat sudah bangun, tidak ada penguasa, pengusaha, atau pengelabui anggaran yang bisa tidur tenang lagi. Selamat datang di fajar kesadaran. Selamat tinggal negeri mimpi. Mari kita akhiri dengan satu kalimat paling sederhana, tapi paling meledak di hati nurani: “Yang tidak ikut memberantas korupsi, berarti sedang menikmatinya.” Dan yang pura-pura memberantas korupsi, biasanya sedang mengatur giliran.[]

Nitiprayan, 5 Agustus 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Topik