CakNun.com

Surat Husnul Khatimah untuk Presiden Soeharto

Jamal Jufree Ahmad
Waktu baca ± 9 menit
Dok. Arsip Liputan6

Selasa pagi itu, berkemeja biru muda lengan panjang dan bercelana hitam, Cak Nun sudah siap berangkat ke Istana Merdeka dari rumahnya di Kelapa Gading. Tapi rasanya masih ada yang mengganjal di kaki: tak ada sepatu. Memang, hubungan antara kaki Cak Nun dengan sepatu tidak semesra hubungan kakinya dengan sandal selop. Sandal adalah teman kaki yang setia menemani ke mana-mana, hingga kini. Untung ada Pak Bariman, yang meminjamkan sepatunya untuk dipakai Cak Nun.

Malam sebelumnya, Cak Nur (Nurcholis Madjid) menelepon Ibu Novia. Ia mengabarkan kalau Presiden Suharto baru saja menghubungi. Bahwasanya surat yang Cak Nur tulis bersama Cak Nun, dkk. yang dititipkan lewat Mensesneg Saadilah Mursyid sudah diterima dan dibaca Presiden. Dan Presiden ingin mendengarkan langsung masukan itu bersama beberapa tokoh lain esok pagi.

Tatkala Cak Nun menuju Istana Merdeka, langit Jakarta masih diselubungi sisa-sisa asap kebakaran akibat kerusuhan dan penjarahan toko-toko dan pusat perbelanjaan beberapa hari sebelumnya. Apa yang dilakukan Cak Nun dkk. di Istana pagi itu, bisa dipantau lewat siaran langsung TVRI yang juga di-relay stasiun TV lain.

Seperti pemantauan yang dilakukan kader-kader Muhammadiyah di kantor pusat dakwahnya di Menteng. Gambaran ini tampak dalam rekaman video jurnalis ABC Australia di YouTube. Mereka mendengar kabar bahwa Presiden Soeharto sebentar lagi siaran langsung dari Istana. Ada pertemuan penting terkait situasi negara hari-hari itu.

Melalui layar RCTI, mereka melihat para tokoh nasional yang hadir. Tampak Suharto menyambut, menyalami mereka satu persatu. Mulai dari ketua rombongan Cak Nur, kemudian KH. Ali Yafie (Ketua MUI), KH. Ma’ruf Amin dan Ahmad Bagja (NU), Malik Fajar dan Sumarsono (Muhammadiyah), KH. Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), hingga tiba urutan terakhir, Cak Nun yang di belakangnya ada Gus Dur menyusul dengan kursi roda.

Para kader yang menonton siaran TV pagi itu bersorak, “Woalaaaaah….” Memang tak ada Amien Rais di sana. Padahal tokoh nasional ketua organisasi para kader ini mendominasi panggung pemberitaan Reformasi 1998 di media massa.

Dua puluh enam tahun lalu, ketika kurs 16 ribu rupiah per dollar mirip seperti hari ini, 19 Mei, sembilan tokoh nasional menemui Presiden Soeharto. Pemicu pertemuan itu adalah surat rumusan yang diterima Presiden yang berjudul: Semuanya Harus Berakhir dengan Baik (Husnul Khatimah).

Asal-Usul Surat

Situasi berubah drastis dan mencekam begitu cepat dalam beberapa hari pada Mei 1998. Berawal dari tewasnya beberapa mahasiswa Universitas Trisakti yang ditembak ABRI tanggal 12 Mei saat berdemonstrasi di kampus, menyusul kemudian pembakaran, perusakan, penjarahan oleh massa yang meluluhlantakkan Jakarta sejak 14 Mei.

Menuju akhir pekan, keadaan semakin tak terkendali. Sabtu 16 Mei, banyak intelektual menahan diri untuk keluar rumah. Tapi menjelang sore, beberapa dari mereka ada yang memberanikan diri berkumpul di Hotel Regent, termasuk Cak Nur, Cak Nun, Utomo Dananjaya, Fahmi Idris, dan Eky Syahrudin. Mereka mendiskusikan berbagai kemungkinan untuk mengakhiri krisis ekonomi-sosial-politik yang intinya: Soeharto harus lengser.

Tapi bagaimana caranya menyampaikan itu ke Soeharto yang masih dipandang bagai raksasa, semua orang segan dan takut kepadanya. Semua yang hadir belum tahu jawabannya. Cak Nun mengusulkan pembentukan opini publik bersama militer, seperti yang sudah diupayakannya lewat majelis Padhangmbulan di Menturo pada 11 Mei sebelumnya.

Sementara Cak Nur juga sudah berupaya sehari sebelum pertemuan, 15 Mei. Ia menemui Quraish Shihab agar mau dititipi pesan untuk Presiden Soeharto saat shalat jumat supaya mau lengser. Tapi menteri agama ini tidak mau melakukannya.

Waktu pun semakin mendesak. Usai pertemuan sabtu sore itu, Cak Nur dan Cak Nun tak langsung pulang. Mereka berkumpul di rumah dinas Malik Fajar di Jl. Indramayu 14 Menteng, yang menjadi tempat rutin diskusi para intelektual dalam Majelis Reboan.

Bersama mereka ada juga Oetomo Dananjaya dan S. Drajat. Mereka merumuskan ‘empat prosedur’ lengsernya Soeharto dengan meminimalisir korban dan memaksimalkan efektivitas kenegaraan. Rumusan prosedur itu menjadi surat Husnul Khatimah yang rencananya akan diserahkan kepada Soeharto.

Lainnya

Topik