Napak Tilas Ngelmu Cak Nun, bersama Irfan Afifi di Michigan
Butiran es tipis menghantam deras kaca depan Toyota Sienna yang kami kendarai. Seketika, butiran itu menjadi air. Ini anomali, karena sudah bulan Maret. Kampus maupun sekolah sudah mendeklarasikan bahwa kini masanya spring break, masuk musim semi. Tapi ternyata salju masih tak mau beranjak dari bumi Michigan. Sementara di Illinois, salju sangat enggan menghampiri saat musim dingin kemarin.
Pada ahad pagi yang sendu itu, kami berempat — saya dan istri, sobat masa kecil, serta teman sedulur — menempuh hampir lima jam perjalanan darat, nderekke seorang intelektual muda Yogyakarta yang cemerlang dan otentik, Mas Irfan Afifi. Kami menuju kota Ann Arbor di negara bagian Michigan. Chicago dan Ann Arbor berjarak sekitar 380 kilometer.
Bagi saya, perjalanan ini meninggalkan kesan mendalam, utamanya tentang ke-Jawa-an saya yang bersentuhan dengan Cak Nun dan Mas Irfan. Cak Nun memiliki kisah dengan Chicago, kota yang udara dan aromanya saya hirup setiap hari, hampir lima tahun terakhir. Beliau juga banyak bercerita tentang Ann Arbor. Kedua kota ini disinggahi Cak Nun 42 tahun yang lalu. Dan perjalanan saya bersama Mas Irfan kali ini memantik permenungan, yang mungkin pemicunya sederhana.
Ada Apa di Ann Arbor
Mungkin ini terkesan receh dan sentimentil. Tapi sering kali banyak kejadian kecil jika ditafakkuri, ia bisa menarik kita kepada refleksi yang luas dan dalam. Seperti yang sering Cak Nun ceritakan, tatkala mengajak Sabrang kecil yang sedang bermain tanah, untuk berpikir betapa Akbarnya Allah dari peristiwa cacing yang menerobos tanah yang dilihatnya. Afalaa tatafakkaruun.
Hantaman butiran salju tadi yang memantik suasana sentimental saya. Salju tipis yang turun menjelang masuk kota Ann Arbor itu membawa saya pada cerita Cak Nun ketika berkunjung ke sini antara tahun 1981-1982. Beliau mengalami momen melihat salju pertama kali di Ann Arbor. Dan dalam perjalanan ini pula, Mas Irfan mengalami salju pertamanya, meskipun tipis.
Banyak sekali momen “pertama kali” yang Mas Irfan lalui di sini. Ini merupakan pengalaman pertama ke luar negeri seumur hidupnya. Dia pergi harus sejauh ini, pertama kali ke Amerika, saat musim yang tidak enak buat ngudud sambil nongkrong di luar. Saking belum berpengalamannya, dia berangkat jauh-jauh ke Amerika merasa cukup berbekal uang 1 juta rupiah, yang setelah dikonversi menjadi hanya 65 dollar. Buat makan di sini, paling pol itu hanya bisa untuk dua hari saja.
Perihal makan memang bisa dikesampingkan, karena yang terpenting itu rokok. Maka dari itu, untuk hanya seminggu di Amerika, Mas Irfan harus bawa sangu satu slop alias sepuluh bungkus rokok. Seleranya adalah Gudang Garam Internasional alias Garpit kalau di Jawa Barat, yang populer sebagai rokok GP di Sumatera. Dalam lingkar pertemanan saya di Jombang dulu, mereka sering menyebutnya rokok Filter atau Inter.
Sama halnya, ketika ke sini, Cak Nun pasti bawa sangu rokok. Bedanya, rokoknya kretek, Djarum 76, yang sekarang sudah beralih ke Djie Sam Soe. Selain rokok kretek, ternyata beliau juga sangu silet merek Tatra yang kaku dan gampang patah, bukan merek Goal yang cenderung lentur dan luwes. Silet ini menemukan fungsinya bagi Cak Nun ketika ada dua gali memalaknya di sebuah terminal di Indianapolis — 280 km ke selatan dari Chicago. Duo preman itu minta rokok. Sedangkan Djarum 76 adalah rokok yang sangat berharga di negeri ini. Itu pun tinggal sebungkus. Maka Cak Nun “melawan”, dalam bentuk akting ngremus silet. Preman Amerika yang rasional tadi tidak berani lanjut — kok ada orang makan silet.
Cak Nun dan Mas Irfan, keduanya, sama-sama ke Ann Arbor untuk mengunjungi University of Michigan. Ketika itu, Cak Nun datang mengunjungi Bert Schierbeek, seorang novelis ternama dari Belanda yang sudah ditemuinya dalam sebuah festival di Erasmus Huis Jakarta pada bulan Mei 1981. Pak Bert bersama istrinya sedang diundang mengajar setahun di Michigan.
Sementara, Mas Irfan datang memenuhi undangan “syukuran” pensiunnya Profesor Kanjeng Mas Ayu Tumenggung (KMAT) Budayaningtyas Nancy K. Florida. Salah satu lantaran mengapa Mas Irfan diundang adalah karena inisiatifnya mengumpulkan, menerjemahkan, dan menerbitkan enam artikel ilmiah Bu Nancy menjadi sebuah buku yang fenomenal dan menggugah, yaitu Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa (terbit 2020).
Siapa Nancy K. Florida
Bu Nancy adalah seorang sejarawan yang mendedikasikan hidupnya dalam khazanah peradaban Jawa, baik pada masa Jawa kolonial sampai Indonesia paskakolonial. Secara akademis, beliau mendalami naskah-naskah Jawa dalam proses studi doktoralnya di Cornell University, Itacha-New York. Wujud dedikasinya terlihat dari hasil bertahun-tahun ketekunan penelitiannya pada era 1980-an di Keraton Surakarta, Pura Mangkunagaran, Museum Radya Pustaka, dan Perpustakaan Hardjonagaran.
Ia berkutat dengan naskah-naskah Jawa kuno yang diteliti halaman demi halaman, dibaca, dicatat, disusun menurut klasifikasi, dibuatkan katalog, dan semuanya direkam ke dalam film mikro. Keseluruhannya mencakup kurang lebih 5500 judul dengan sekitar 700.000 halaman. Buah kerja tenanan-nya itu bisa teman-teman baca dalam 3 volume buku Javanese Literature in Surakarta Manuscripts, yang diterbitkan dalam rentang waktu 20 tahun — volume terakhir terbit pada tahun 2012. Selain itu, ia juga mengembangkan disertasinya menjadi buku Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang: Sejarah sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial.
Selanjutnya, Bu Nancy mengabdikan dirinya untuk mengajar sebagai profesor studi Jawa dan studi Islam di program doktoral bidang antropologi dan sejarah. Ia juga profesor bahasa dan sastra Indonesia di program studi bahasa dan kebudayaan Asia. Keduanya berada di University of Michigan. Ia mengajar di sana sampai memasuki masa pensiun pada usia 75 tahun, yang syukurannya kami hadiri ini.