Azimah Tolak Runtuh Sanad Simbah
Neng ndunyo piro suwene
Njur bali neng panggonane
Neng akhirat yo sejatine
Mung amal becik sangune
Ojo ngucap bodho yo ben
Golek ngelmu kudu telaten
La Ilaha ilallah Muhammadur Rasulullah
Kira-kira arti dalam Bahasa Indonesianya adalah sebagai berikut:
Di dunia tidaklah lama, kan pulang ke hadhirat-Nya, di akhirat lah tempat sejati, amal sholeh bekalmu nanti, jangan bilang; bodoh biarlah, gali ilmu pantanglah menyerah. Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya.
Tembang singkat dan sederhana ini membuat saya terkesima sejak pertama kali mendengarnya dilantunkan oleh om-om Kiaikanjeng. Mengandung lirik yang mudah dimengerti dan bisa terus berkembang ke pengertian-pengertian yang lebih kompleks. Meskipun setelah berjumpa makna kompleks itu saya tidak lantas merasa makin pandai, justru terasa makin bodoh saja. Namun, mudah-mudahan bukan kebodohan yang mendekatkan pada kecerobohan melainkan kebodohan yang mendekatkan pada kewaspadaan, menjadi wadah hikmah dan pengetahuan. Sebab, “sinau kudu telaten”, maka tidak boleh mengucap “bodho yo ben”.
Kebodohan, sesungguhnya telah berulang kali menimpa manusia dan menghancurkannya. Dalam sejarah, awal keruntuhan peradaban demi peradaban ditumbangkan oleh kebodohan. Sekuat dan sehebat peradaban yang mereka bangun akan runtuh akibat dari memelihara kebodohan. Dan keruntuhan itu diawali dari sikap jumawa, merasa kuat, dan mulai meragukan keberadaan Tuhan, bahkan hingga mengingkarinya karena makin percaya diri untuk sesumbar bahwa Tuhan hanya mitos karangan manusia yang ingin punya tempat bersandar imajiner lantaran lelah pada kerasnya hidup. Bangsa seperti ini runtuh, sebab pasti mereka membuka keran kebodohan, menyemarakkan perilaku tunjang palang, melegalkan segala ekspresi tanpa merasa terkurung batasan. Bagaikan ayam yang dilepas bebas di hamparan beras.
Ternyata ber-tuhan itu bukan persoalan kita melakukan peribadatan formal dan meletakkannya sebagai jimat ketenangan di waktu-waktu khusus. Melainkan metode yang paling diperlukan manusia untuk mengoptimalkan potensinya di setiap waktu, ya akal, ya panca indera, ya perasaan, dengan kesadaran tujuan yang tunggal sebagai etos pengabdian. Ini adalah paugeran semesta alam, bukan hanya paugeran untuk manusia. Ini adalah rumusan resmi langit dan bumi, adalah standarisasi sikap yang kompatibel untuk dijalankan di dunia dan tetap berlaku di akhirat. Bertuhan bukan hanya urusan hati, namun juga hati-hati. Panca indera berhati-hati, pikiran berhati-hati, akal berhati-hati, perilaku berhati-hati, produk dan produktivitas pun berhati-hati. Berhati-hati agar tetap berada jalur pengabdian kepada Tuhan dan tidak tertelikung oleh hasutan atau bisikan yang mencoba memalingkan pengabdian kepada yang selain Tuhan.
Dengan Tauhid, manusia diajarkan ilmu kontrol sebagai dasar pengelolaan diri, lantas berangkat ke penyatuan antar umat. Sinergi bakat dan potensi. Perkembangan kerjasama intelektual dan produksi. Hingga kemudian melakukan pertumbuhan dan perkembangan bersama sesuai dengan tata aturan yang telah ditetapkan Tuhan sebagai satu-satunya rujukan yang tak terbantahkan. Orang yang mengusik metode primer ini akan mendapat risiko yang jelas, ia dapat kehilangan arah dan naluri perjuangannya getas. Bisa jadi ia tetap berjuang, namun demi meraih tujuan lain yang berjangka sangat pendek dan gapuk. Bahkan apabila sistem Tauhid ini digeser dengan berbagai macam ideologi bikinan manusia yang tampak dahsyat, tetap saja akan terjawab bahwa sistem tauhid tidak bisa digeser atau ditimbun dan dilupakan. Sebab bibit kesadaran Tauhid ini telah terinstal pada diri setiap manusia, selama masih ada manusia, maka kerinduan untuk mengemukakan sikap Tauhid masih akan terus terbit.
Pembangunan dan perkembangan teknologi yang semakin mutakhir tidak lantas tanpa kontrol. Sebaik-baik kontrol adalah suatu kontrol yang terintegrasi, terpusat dan dapat menjangkau sebanyak-banyak dan seluas-luas bidang dan bahkan menjangkau sanubari setiap orang. Saking canggihnya sistem kontrol ini hingga menginspirasi manusia untuk memilikinya pula. Sistem kontrol seperti ini sedang dikembangkan, ditiru dan diterapkan oleh segelintir manusia dengan tujuan penguasaan dan pantauan global. Sedangkan sistem ini sudah terimplementasi pada diri manusia dari Penciptanya karena koneksi perhatian dan Kasih Sayang Tuhan kepada seluruh makhluk-Nya, bukan hanya pada level global namun pada level seru sekalian alam.
Kesadaran bertuhan adalah kesadaran kontrol, sehingga letak kebenaran penganutnya bukan pada kelincahan argumen dan kepiawaian membangun retorika bertuhan, namun pada akhlaknya, pada perangai dan perilakunya. Orang yang sabar dan santun, berwawasan luas, pandai menahan diri, bisa dilakukan oleh semua orang dengan aneka latar belakangnya, kaya atau miskin, kulit hitam atau coklat, rambut lurus atau keriting, berbahasa verbal atau isyarat, dan lain sebagainya.
Mbah Nun nyangoni anak putu dengan pesan akurat dan saya rasa perlu terus menjadi tekad pengamatan diri untuk menolak provokasi keruntuhan. Berikut pesan Simbah:
“Musuh kita adalah kesempitan dan kedangkalan berpikir.”
Mungkin karena dua faktor itu yang melahirkan kebodohan, mengembang biakkan jahlu dan merebakkan kerajaan jahiliyyah. Saya menyatakan ini sebagai sanad bukan lantas Mbah Nun adalah Nabi, namun karena penghormatan ilmu yang lahir dengan talang lesan seorang Syekh, Simbah, Bapak, ataupun Guru.
Sedangkan Allah berfirman, “Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Pesan Mbah Nun seperti memberi gambaran lebih tampak, bagaimana setan bekerja. Sikap ignorant yang kita pelihara bisa jadi adalah tanda bahwa musuh yang nyata (syetan) kita ijinkan bermukim di dalam kawasan iman kita. Sikap abai, tidak mau tahu, leleh-luweh, niscaya akan memunculkan tunas yang kelak menjadi cabang dan ranting sikap lanjutan yang menguatkan musuh itu pada diri sendiri. Jika perangai seperti ini menjadi ‘amr atas hidup, maka musuh yang nyata itu mulai bekerja lebih efisien karena telah mengalir bersama aliran darah dan psikis seseorang. Pola pikir bersumbu pendek, mudah tersulut, salah orientasi, keliru menentukan skala prioritas, susah mencerna, enggan menganalisis, malas mengobservasi. Bukankah dari sikap ini pula yang pada akhirnya memberhala menjadi berbagai penyakit hati, seperti putus-asa, sombong, riya, iri dengki, bangga hati, besar kepala, kufur nikmat hingga syirik karena mengaku ada sesembahan lain yang patut disembah selain Yang Maha Tunggal.
Tak jarang Mbah Nun mewanti-wanti kepada anak cucunya agar berpikir luas dan mendalam, tidak enggan merunut sehingga melihat sebatang rokok saja bisa menjalarkan empati kepada lingkungan, kepada budaya, kepada sejarah silam, kepada nilai spiritual, kepada petani-petani gunung, hingga tentang gunung dan sosok menjulang yang menjaga keseimbangan.
Ummat manusia yang ingin tumbuh menjadi motor peradaban perlu memerangi sikap sempit dan dangkal. Kesempitan itu adalah sikap yang membawa seseorang untuk mudah merasa sesak, banyak target dan ambisi yang berdesak-desakan di kepala dan dadanya. Obat keluasannya adalah pasrah, yakni berserah yang mengandung kesadaran betapa luasnya kemungkinan pertolongan Allah yang dihinggapkan kepada orang-orang yang tenang dan tidak tergesa-gesa, tak pula terburu-buru patah dan mengasihani diri sebagai seolah sebagai satu-satunya orang paling menderita di muka bumi. Sedangkan kedangkalan adalah berperilaku picik, cethek, dan nanar pada kedalaman. Obat kedalamannya adalah kesanggupan menggali kandungan peristiwa dan menguak misteri ilmu yang setiap cerukannya menghantarkan hikmah tak terduga.
Betapa ini pula yang dilatihkan pada forum-forum Sinau bareng. Namun jika peserta sinau bareng tetap masih memelihara kesempitan dan kedangkalan di dadanya, tidak memeranginya, maka musuh itu terus melekat dan mengintai, dan justru menjadi musuh yang lebih piawai karena diajak ikut sinau. Ini penyakit laten, maka perjuangan pun hampir selama gelaran hidup. Sebab, tidak lantas yang pandai berarti telah melepaskan diri dari musuh yang nyata (kesempitan dan kedangkalan berpikir)itu. Ukuran kepandaian lagi-lagi adalah kontrol dan dedikasi menjunjung adab serta akhlak yang mulia. Keindahanlah yang ditampilkan. Bermacam keindahan lebih mudah bersatu, sedangkan bermacam kebenaran kadang bisa berseteru, dan bermacam kebaikan tak jarang saling beradu. Keindahanlah yang membuatnya bersatu padu. Sering kali Mbah paring dhawuh tersebut. Dengan mengedepankan keindahan, maka hidup di dunia yang tidak seberapa lama ini dilukis dengan seni perilaku mulia (akhlakul karimah) sebagai amal sholeh yang berfungsi menjadi bekal kita nanti.
Ungaran, September 2023/ 11 Rabiul Awwal 1445 H.