CakNun.com

Sinau Nandhur, Mugi Tukule Woh Kang Becik

A’isy Hanif Firdaus
Waktu baca ± 3 menit

Secara garis kodratnya manusia tercipta sebagai makhluk yang paling sempurna dan dianugerahi dapat bersosialisasi dengan makhluk hidup yang lainnya. Tentunya, waktu perlu digunakan sebaik mungkin untuk menunaikan sikap sosial yang baik dengan yang lainnya. Karena, pada dasarnya, hamparan kebaikan yang kita rasakan dan nikmati sangatlah terhampar begitu luas, sampai luasnya bahkan segala kebaikan sekecil biji atau debu sekalipun itu bernilai pahala. Maka, apapun perbuatan jika dilakukan dengan ikhlas akan menjadi kebaikan yang sangat berarti dan bernilai pahala yang besar. Namun, kesempurnaan yang dimiliki manusia sudah seharusnya kita pergunakan sebagai manifestasi memiliki sifat simbiosis mutualisme kepada yang lainya. Maksudnya, yakni sifat yang mampu memberikan kemanfaatan untuk orang lain.

Seorang ibu menggendong anaknya sambil menyimak Mocopat Syafaat Agustus 2022.
Foto: Adin (Dok. Progress)

Terhitung sejak pertama kali manusia terlahir ke dunia tentu tidak pernah tidak membutuhkan bantuan dari orang lain. Begitu juga dengan orang lain, pasti suatu saat akan membutuhkan uluran tangan kita. Mulai dari sekarang sedini mungkin kita harus membiasakan diri menebar kebaikan. Karena, ketika seseorang melakukan kebaikan, maka dia dapat merasakan bagaimana rasanya berbagi kebahagiaan dan tentunya membawa hal yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.

Membicarakan Nandhur atau dalam bahasa Al-Qur’annya Fastabiqul khairat atau berlomba–lomba dalam kebaikan tidak dapat dilakukan secara sempurna jika berdasarkan niat saja, tentu ada sistem atau manajemen yang baik agar perbuatan baik itu menjadi sebuah representasi dari akhlakul karimah. Perbuatan baik kecil-kecil yang sering luput dari perhatian kita dan seringkali dianggap tidak bernilai yakni membuang duri di tengah jalan menjadi hal yang tampaknya remeh bagi sebagian orang, tapi jika duri itu tidak disingkirkan, nantinya akan ada orang yang terluka. Jika perbuatan baik yang tampak sepele seperti itu sering dilakukan, maka InsyaAllah menjadi tumpukan kebaikan yang besar yang nantinya akan menjadi penolong kita di akhirat kelak.

Sebaliknya, jika kita sering mengunjing keburukan orang, mungkin bagi kebanyakan dianggap sepele, tapi perbuatan kecil itu akan berdampak negatif secara luas. Bayangkan saja, betapa akan menimbulkan banyak kepanikan sosial, isu-isu, berita hoax, stigma, pembentukan opini, bahkan akan berdampak besar di masyarakat. Tak hanya perbuatan baik yang kecil, melainkan perbuatan jahat yang jika rutin dilakukan, akan berdampak besar. Tidak ada dosa besar, melainkan dosa-dosa kecil yang selalu dilakukan. Walhasil, pahala kita akan terkikis dan digerogoti secara perlahan oleh perbuatan yang tergolong sebagai kerugian bagi dirinya sendiri.

Mbah Nun pernah mengatakan terminologi nandur yang merupakan bahasa Jawa membuat beliau teringat kata waltandhur yang adalah bahasa Arab dan termaktub di dalam Al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 18. Allah Swt. berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah SWT dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah Swt. Sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr:18).

Kedua kata diatas memiliki kemiripan bunyi dan sesuatu yang dapat dikorelasikan di antara keduanya. Mbah Nun menyampaikan bahwa di dalam nandur (baca: menanam, menginvestasikan) segala sesuatu hendaknya disertai dengan kesadaran waktu. Waltandhur punya arti “dan lihatlah”. Selengkapnya, kalimat di dalam Al-Qur’an itu berbunyi: waltandhur nafsun ma qaddamat lighad, yang artinya “hendaknya setiap diri melihat ke belakang untuk proyeksi ke masa depan.”

Dengan demikian, Saya pun cukup setuju kalau ada yang bilang “Orang baik adalah orang yang suka memberi”. Akan tetapi, memberi tidak memiliki batas yang sempit. Memberi tidak hanya sekadar soal materi. Pemberian bisa berupa waktu dan tenaga yang memerlukan pengorbanan. Seperti misalnya donor darah. Kita memberikan sesuatu dari tubuh kita untuk orang lain. Sama luar biasanya dengan mereka yang sudah meninggal dan menyumbangkan organ-organ tubuhnya pada lembaga ilmu pengetahuan agar para ilmuwan bisa meneliti cara tubuh manusia bekerja. Pemberian semacam ini nilainya amat mahal dan kita harus berterima kasih pada mereka yang bersedia melakukan itu.

Tentu yang terpenting: Janganlah berhenti untuk berbuat kebaikan! Bahwa bagi saya, seseorang yang bisa tetap berbagi dengan orang lain walaupun dengan segala kesulitan dan kekurangannya, dialah orang yang layak disebut orang baik.

Wallahu A’lam Bish Showwab

Lainnya

Topik