Belajar untuk (Selalu) Sehat (5)
Pasrah atau Putus Asa
Saya berdiskusi lewat text dengan salah seorang sahabat saya tentang banyak hal yang berhubungan dengan keseharian yang saya alami. Bagaimana saya menghadapi sikap dan perilaku dari orang orang di sekitar saya, termasuk pasien yang merupakan guru saya serta orangtuanya, yang merupakan guru saya juga. Keluh kesah saya lengkap dengan dhon-dhon saya terhadap fenomena yang saya hadapi, yang saya dengar, dan yang saya lihat.
Misalnya begini, kira-kira setahun lalu saya mendapati pasien, sebut saja Ali, umur 2 tahun dengan kecurigaan tumor mata. Dari hasil pemeriksaan yang canggih maupun hasil diagnosis patologi, yang merupakan standar emas/standar baku diagnosis, sudah diperoleh kesimpulan bahwa mata kiri Ali menderita tumor mata (retinoblastoma). Tumor mata pada Ali kita temukan pada kondisi yang masing sangat dini, yaitu Stadium-1.
Sekilas memang seperti sakit mata biasa, adanya mata merah dan bintik putih pada mata yang kalau kena cahaya seperti mata kucing. Terhadap kondisi yang masih sangat bagus ini kami merencanakan kemoterapi dengan tujuan membersihkan tumornya, menyelamatkan jiwanya, menyelamatkan bola matanya, serta menyelamatkan penglihatannya. Tumor mata pada stadium ini hampir semuanya bisa sembuh sempurna dengan kemoterapi.
Sesudah penjelasan kepada orangtua Ali, mereka minta waktu untuk memulai pengobatan. Tetapi Ali tak kunjung datang untuk segera memulai pengobatannya. Sampai akirnya kami ‘lupa’ dengan kasus itu karena datangnya kasus-kasus baru.
Suatu pagi hari saya bersama residen, berkeliling menyapa guru-guru kecil saya, dan menemukan seorang anak dengan usia kira kira 3 tahun, sedang digendong ibunya yang bermasker, si anak dengan bola mata kiri yang sudah menonjol keluar, sangat compang camping kondisi bola matanya. Saya sapa guru kecil saya ini dan saya sapa ibunya, dan serta merta ibunya menyebut nama saya dan bilang bahwa ini adalah Ali, yang beberapa bulan lalu sudah pernah ke sini, sudah terdiagnosis tinggal melakoni pengobatan.
Saya tertegun.
Saya manggut-manggut dan mengingat beberapa bulan ke belakang. Kemudian saya bertanya kepada ibu dan bapaknya di situ. Mereka akhirnya bicara dan mengakui bahwa mereka mencoba mengobati dengan ‘cara lain’. Ketika uang sudah semakin menipis dan penyakit Ali tak kunjung membaik, bahkan malah bertambah parah, mereka memutuskan untuk kembali ke jalur pengobatan RS.
Hati saya tercabik-cabik melihat kenyataan ini.
Mestinya Ali saat ini sudah bisa sembuh, bisa melihat dengan sempurna tanpa harus menjalani operasi pengambilan bola mata (enukleasi), jiwanya terselamatkan, dan bisa bertumbuh kembang sesuai anak-anak yang lain, tapi kali ini Ali terpaksa harus menjalani kondisi yang lebih berat yang harus dihadapi akibat keputusan dari kedua orangtuanya. Tentu Ali tidak tahu menahu apa-apa tentang keputusan kedua orangtuanya, akan tetapi Ali lah yang harus menanggung beban beratnya secara langsung.
Ini adalah kisah sepenggal dari Ali yang menanggung akibat dari keputusan orangtuanya. Kejadiannya membutuhkan waktu beberapa bulan untuk sampai pada kondisi yang sangat lanjut, ke stadium – 4! bukan berarti tak bisa diobati. Bisa diobati, tapi akan membutuhkan obat yang lebih dahsyat dan waktu yang lebih panjang, serta kans keberhasilannya tentu akan lebih kecil.
Ada pula guru kecil saya yang harus menanggung akibat yang lebih berat dari itu, bahkan hanya butuh waktu beberapa minggu, tidak sampai sebulan dari ‘ketahuan’ penyakitnya. Akan tetapi orang tuanya lebih memilih tidak memberinya obat, dengan berbagai macam pertimbangan dan alasan yang saya belum begitu paham. Sampai pada saat akhirnya, tidak sampai hitungan sebulan, guru kecil saya ini kembali dibawa ke RS dalam keadaan yang sudah sangat berat, dan akhirnya Allah menjemputnya.
Kalau saya berpendapat, segala sesuatu kita pasrahkan kepada-Nya. Pasrah yang saya maksud adalah usaha maksimal yang bisa kita lakukan. Itulah bentuk kepasrahan sesungguhnya. Keputusan akan usaha kita itu adalah hak prerogatif dariNya.
Pasrah bukan berarti diam. Pasrah bukan berarti tidak berusaha. Pasrah itu merendahkan hati. Pasrah itu seolah olah mendengar bisikan Tuhan ‘kalian sudah berusaha, maka istirahatlah biarkan Aku yang akan menyelesaikan semuanya ini’
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Tanpa adanya usaha yang maksimal sesungguhnya itu adalah keputusasaan.