1975 : Tahun Frustrasi
Tahun 1975 adalah tahun frustrasi. Betapa tidak, bagi komunitas sastra Malioboro. Bergema dalam jiwa sastrawan Malioboro. Membuat mereka bingung menatap masa depan. Persis seperti anak ayam kehilangan induknya. Anak-anak ayam ini menciap-ciap dengan gemetar. Terasa langit gelap. Duka menyelimuti sampai cakrawala. Mereka menyaksikan sarang atau kandang mereka kosong, melompong meninggalkan misteri yang akut. Mereka saling bertegur sapa dan saling menukar, kemudian saling menikmati kebingungan dan rasa frustrasi. Ada apa, dan mengapa semua cinta dan kasih sayang yang aneh di Malioboro dia cabut tanpa kata? Mirip lirik lagu, jangan ditanya kemana aku pergi, jangan ditanya kemana aku pergi… Mau bertanya kepada siapa, karena yang pergi hilang tanpa bekas melahirkan aneka kisah atau prasangka yang lucu-lucu dan prasangka tanpa dasar fakta.
Kemudian, bagai murid Abu Dzar Al-Ghifari yang mengasingkan diri di lembah sunyi yang kesunyiannya sulit dijangkau, mereka kemudian mencari jalan sendiri-sendiri. Menempa diri dengan palu godam frustrasi. Dipukul, ditempa, dihajarlah jiwa-jiwa mereka sendiri dengan rindu sebagai penderitaan yang puncak. Sekali-sekali mereka melongok sarang yang telah hampa karena tanpa induk ayam, juga tempat bertapa telah terkunci seolah olah akan terkunci berabad abad.
Dia sungguh induk ayam yang amat aneh, meninggalkan sarang tanpa pesan dan membiarkan anak-anak ayam mencari jalan hidupnya sendiri. Anak-anak ayam ini, yang kreatif kemudian merenung dan mengais-ngais dalam kenangan, apa saja sesungguhnya pelajaran penting yang pernah diajarkan oleh induk ayam itu. (1) kesabaran dan keikhlasan tanpa batas yang bisa membuat jiwa gemetar, (2) kreativitas tanpa batas yang membuat jiwa bersemangat untuk terus berjuang, (3) upaya menjadi diri sendiri yang harus dilakukan terus-menerus, (4) menjadikan penderitaan sebagai bagian penting dari kebahagiaan, dan (5) cinta dan rindu yang harus dimaknai terus menerus.
***
Nah saudara-saudara, induk ayam ini adalah Syekh Waliyul Qutub akhir zaman bernama Umbu Landu Paranggi yang tahun 1975 diam-diam meninggalkan Malioboro. Meninggalkan Yogyakarta untuk kembali ke Sumba menikah, menikmati hidup berkeluarga dan beranak-pinak sebelum mengembara ke pulau Bali. Ibarat orang berpuasa total bertahun-tahun, Umbu Landu Paranggi berbuka puasa lahir batin di tanah kelahirannya bersama anak, isteri, dan keluarga. Tetapi sebagai wali kutub akhir zaman dia menugaskan dirinya untuk menjadi wali penjaga anak muda di Pulau Bali, tentu setelah merasa tugasnya menjaga anak muda di Yogyakarta selesai. Kepergiannya dari Yogya membuat murid-muridnya di Padepokan Malioboro frustrasi.
Untung dengan bekal 5 ilmu dan kesadaran yang Umbu tinggalkan justru membuat murid-muridnya mampu mengolah penderitaan dan pengalaman frustrasi ini menjadi karya puisi yang fenomenal.
Emha Ainun Nadjib, sebagai anak ayam yang ditinggal induknya di Malioboro diam-diam, dan sungguh frustrasi, kemudian sungguh bisa mengolah frustrasi menjadi puisi-puisi yang terkumpul dalam buku “M” Frustrasi!
Nah mengapa ada tambahan ‘Sajak Jatuh Cinta?’ Saya menduga karena secara intuitif Emha meraba arah kepergian gurunya, yang ternyata mematuhi perintah ibunya untuk dijodohkan dengan seorang perempuan Sumba yang dengan mengolah cinta bersama isterinya ini Umbu punya anak lebih dari satu. Secara intuisi, murid Umbu merasa menemukan momentum untuk jatuh cinta dan mencintai gadisnya. Saya saksikan murid Umbu kemudian tumbuh menjadi ayam jago yang mampu jatuh cinta kepada calon induk yang melahirkan anak-anaknya.
Saya menduga inilah ashabul wushul dari lahirnya puisi-puisi Emha Ainun Nadjib yang terkumpul dalam buku “M” Frustrasi! dan Sajak Jatuh Cinta ini.
3 Februari 2022.