Nggak Ngaji, Nggak Trendy
Untuk adik-adik Muslim Zilenial alias generasi Z, percayalah bahwa kondisi seperti hari ini bukanlah sesuatu yang memang sudah seperti ini kondisinya dari dulu. Kondisi yang saya maksud adalah kondisi di mana kita hari ini digiring untuk tidak terlalu menampil-nampilkan identitas religiusitas. Kenapa? Karena kalau tampil terlalu religius, nanti kita bisa dituduh anti kebhinekaan.
Dr. Rizal Ramli menyebut peristiwa yang berlangsung sejak hampir sepuluh tahun lalu ini sebagai ‘Politik Belah Bambu’. Sebuah operasi kontra-intelijen yang sudah kerap kali dilakukan di berbagai belahan dunia. Sebuah pengalaman sosial di masyarakat yang melelahkan memang. Agamis dan nasionalisme diseolah-olahkan merupakan dua kutub yang bertentangan. Padahal yang diuntungkan dari keadaan pembelahan sosial semacam ini hanyalah segelintir orang saja.
Tahun-tahun pembelahan sosial antara Islam dan kebhinekaan hendaknya memang kita anggap saja sebagai ujian kearifan bersikap. Terhadap mereka yang berbeda pandangan, kita mengarifi mereka memiliki landasan argumentasinya sendiri. Sehingga kita tidak terjebak pada perilaku merasa paling benar dan enteng menyalahkan yang berseberangan sikap.
Kalau ada rekan-rekan kita yang memilih menampilkan identitas religiusitas dengan kentara, tak perlu di-prejudice ia anti kebhinekaan. Amat mungkin mereka adalah rekan-rekan yang cintanya kepada agama Allah dan kepada syiar Islam sangatlah besar.
Sebaliknya, kepada rekan-rekan muslim yang memilih berpenampilan biasa saja, tak elok bila kemudian kita memicingkan sebelah mata. Mungkin mereka adalah rekan-rekan yang lelah dengan pembelahan identitas yang berlangsung selama ini dan mereka memilih bersikap biasa-biasa saja.
Tidak mengapa tak dianggap muslim yang taat, asalkan tidak menyakiti mereka yang pro-kebhinekaan. Mungkin begitu yang ada di benak mereka.
Era Pengembangan Diri Berbasis Keislaman
Di masa-masa belia Saya dulu, kondisinya justru berkebalikan dengan hari ini. Awal mula saya ikut aktif di kegiatan dakwah kampus, tagline yang banyak bermunculan kala itu justru adalah “Nggak Ngaji, Nggak Trendy”. Mahasiswa, kok nggak ngaji, nggak keren banget deh. Ah, daripada saya enggak dianggap trendy, mending saya ikut ngaji saja, ah. Begitu pikir saya waktu itu.
Apapun motivasi Saya ngaji pada awalnya, tetapi yang jelas kala itu saya mendapatkan circle yang positif, teman-teman liqo yang bukan hanya rajin belajar tetapi juga memiliki nilai plus di dalam agama.
Bukan hanya itu, sebagian dari mereka juga begitu aktif di berbagai kegiatan di luar kampus. Ini adalah pengalaman baru bagi saya kala itu untuk bisa srawung dengan beragam jenis kawan-kawan. Cikal-bakal yang membuat rekan-rekan saya hari ini demikian heterogen.
Di masa-masa itu justru yang keren adalah ketika menampilkan identitas religiusitas kemana-mana. Muslim dan Muslimah menorehkan prestasi dan memenangkan banyak kompetisi. Lalu, di ruang-ruang seminar ilmiah, nuansa Islami hadir oleh adanya pengisi musik Nasyid.
Buku-buku self-development dengan basis keislamanpun menjamur. Diantaranya Syaikh Aid Al Qarni dengan buku mega best seller-nya “La Tahzan”. Lalu deretan penulis muslim dalam negeri di antaranya ada Salim A. Fillah dan Sofwan Al Banna. Mereka merilis banyak judul-judul yang dibutuhkan oleh generasi muslim belia yang membutuhkan panduan pengembangan diri. Tak ketinggalan, lahir begitu banyak novel Islami pengembangan diri.
Merasuknya khasanah keislaman pada sendi-sendi kehidupan kampus dan lingkungan generasi anak muda adalah hal yang amat baik. Meskipun seringkali di sebuah tren yang baik sekalipun ada benalu yang tumbuh. Benalu yang kemudian menjadi kritik sosial saat itu menurut saya adalah merebaknya fenomena ‘ustadz seleb’. Peran televisi amat kentara di sini.
Esensialisasi di dalam Beragama
Pada masa-masa televisi makin ‘agamis’ itulah, bersamaan itu saya bersentuhan dengan lingkungan baru Jamaah Maiyah. Persentuhan awalnya yakni melalui buku The Silent Pilgrimage karya Ian L. Bets. Pada masa-masa itu seolah saya digiring untuk mengupayakan keseimbangan baru. Bahwa seorang muslim ada tugas syiar ke luar, tetapi juga ia mempunyai tugas untuk meniti jalan sunyi. Menata ke dalam diri.
Dari porsi kesibukan ngaji saya yang cenderung lahiriah saya mulai membagi porsi untuk menyelami sesuatu yang batiniah. Batu pondasinya adalah segitiga cinta Allah, Rasullah dan Hamba. Bagaimana mengupayakan hubungan yang intim dan privat antara hati di dalam jiwa dengan sang pencipta dan dengan sang suri tauladan sejati. Ini adalah babak awal bagi diri saya bahwa Islam tidak sekedar sebuah korps.
Tidak apa-apalah dianggap tidak Islami karena penampilan, toh yang penting saya sedang menata sesuatu yang batiniah. Dan mungkin karena pilihan sikap saya yang seperti inilah, ketika era pembelahan sosial mulai kentara, hingga hari ini saya tidak pernah dilabrak orang dengan pertanyaan: Kamu kubu Islam atau kubu Kebhinekaan?
Ya, agama saya Islam, tetapi penampilan saya biasa-biasa saja. Nasionalisme saya Indonesia tetapi tidak pernah teriak-teriak ‘NKRI Harga Mati!’ juga. Terserah apa stereotip Anda, sing penting ojo jotos-jotosan, yo?!
Mbah Nun kerap berpesan bahwa agama itu letaknya di dapur. Yang hendaknya kita suguhkan ke ruang tamu adalah akhlaknya.
Pada sebuah kesempatan saya mengikuti kegiatan gathering nasional, saya berkenalan dengan seorang rekan wirausaha. Meskipun masih merintis, tetapi idenya cemerlang, penyampaiannya apik dan ia cepat berteman dengan siapa saja. Saya tidak tahu dia agamanya Islam atau Kristen atau lainnya. Termasuk pemeluk yang taat atau tidak. Saya baru tahu ketika ndilalah-nya saya kebagian plot kamar yang sama, di kamar ia menggelar sajadah sembahyang dan mengaji.
Di kesempatan yang lain, sama-sama sebuah forum gathering nasional, saya kebagian plot kamar dengan seorang penggerak pemuda dari Suku Badui Luar. Meski ritual agama kami di kamar berbeda, kami tetap berbincang dengan akrab dan bersahabat.
Dari sejumlah pengalaman semacam itu, saya belajar bahwasannya kita tidak perlu beragama secara demonstratif. Bergaul dan bersaudara dengan hati terbuka justru akan memperkaya khasanah hidup kita.
Ada hal-hal yang lebih esensial untuk ditempuh dan dikerjakan ketimbang mendemonstrasikan identitas. Di antaranya yakni bagaimana kita berjibaku membangun kualitas diri yang terejawantahkan di dalam akhlak di dalam sesrawungan.
Mungkin hari ini ‘Operasi Belah Bambu’ sudah selesai. Tetapi kita tidak tahu imbas berupa rasa terbelah di tengah-tengah masyarakat ini kapan akan sembuh dan selesai. Maka yang terbaik dan yang memungkinkan dilakukan adalah bagaimana masing-masing kita hanya menyajikan akhlak terbaik di ‘ruang tamu’, buah dari kesungguh-sungguhan memasak kematangan ruhani di dapur jiwa kita.