Mengembara Model Anak-Anak
Sebagai generasi yang lahir di tahun 1950-an saya mengalami zaman Orde Lama, Orde Baru, dan zaman Orde Pasca Orde Baru yang sulit diberi nama ini.
Zaman Orde Lama awalnya saya rasakan baik-baik saja. Meski mungkin udara politik pasca Dekrit Presiden bagi orang-orang tua bikin mumet karena pengaruh kaum Kiri makin kuat dan kaum Kanan kena gebuk macam-macam sehingga banyak yang tiarap atau melakukan konsolidasi diam-diam, tetapi bagi anak-anak yang easy going tidak begitu banyak pengaruhnya.
Sampai dengan sebelum tahun 1965 anak-anak kampung di kota kelahiran saya punya irama budaya atau kebiasaan yang unik. Waktu itu pendidikan nasional dan kehidupan pada umumnya belum sekuler seperti di zaman Orde Baru. Anak-anak masih bisa menikmati liburan Ramadhan selama empat puluh hari. Liburan kwartalan juga membuat anak-anak asyik menikmati.
Kebiasaan unik yang kemudian menjadi semacam irama hidup anak anak memang berpusat pada hari libur.
Mirip dalam adegan drama maka ada episode ketika anak-anak mengisi liburan dengan mengembara ke kota Yogyakarta. Kami beberapa anak berjalan ke kota Yogyakarta lewat beberapa jalur jalan yang waktu itu masih rindang oleh pohon besar semacam mahoni, pohon asam Jawa, pohon gayam, di beberapa tempat yang dekat dengan rumah kampung dan pasar kecil banyak pohon waru dan talok. Sisa suasana teduh masih dapat dinikmati kalau sekarang melewati jalan mulai selatan Pasar Gading sampai Pondok Pesantren Krapyak. Dulu hampir semua jalan di Yogyakarta suasananya seperti itu. Jadi, waktu berjalan kaki ke kota Yogyakarta tidak terasa panas.
Kami hanya berbekal sarung yang disembunyikan di balik baju, melingkar di perut kempes kami. Melewati jalur utara, lewat Gedongkuning ke barat terus lurus lewat Mujamuju, Semaki di depan Makam Pahlawan Kusumanegara. Waktu itu Gembira Loka masih di sebelah barat pintu masuknya dan di barat persis ada rumah dinas tetangga yang suaminya pegawai kebun binatang. Ke barat lagi, kami kadang menyeberang jalan dan berhenti mengagumi rumah bagus yang teduh. Di situ ada tulisan Padepokan Ki Hajar Dewantara. Rumah ini bersih tetapi sepi.
Kami terus ke arah barat, waktu itu toko Pamela belum ada. Yang ada baru toko kayu Kinibalu. Terus ke barat, sampai depan Pasar Pace yang ramai pembeli.
Sampailah kami di depan makam pahlawan. Bagi anak anak, di seberang makam pahlawan ada Kantor Bendahara Negara (KBN) yang halamannya ada pohon pisang kipas yang besar. Daunnya mengembang mirip kipas raksasa berwarna hijau. Kami berhenti, mengagumi pohon pisang kipas yang langka karena di kota kecil kami tidak ada yang menanamnya. Ketika puluhan tahun kemudian saya mengawal ibu saya mengurus pengalihan hak pensiun tentara kepada Ibu karena ayah meninggal, pohon pisang kipas itu telah tidak ada. Diganti pohon hias biasa yang tidak meninggalkan kenangan apa-apa.
Dari depan kantor KBN ini berjalan terus ke barat sampai depan Pasar Sentul yang pohon warunya sangat rimbun. Pasar pusat perdagangan pisang dan jagung ini hampir sepuluh tahun saya amati. Sebab rumah Mas Warno Pragolapati dulu tersembunyi di belakang pasar ini. Juga waktu saya kost di Mergangsan pinggir Kali Code sering mampir pasar ini. Lebih-lebih saat sebelum menikah dan setelah menikah dengan istri saya yang wong Kauman Pakualaman, boleh dikata saya hampir setiap hari mengantar istri berbelanja di sini. Paling tidak waktu membeli gudeg di depan pasar atau membeli sembako di salah satu kios.
Pengalaman mengamati pasar ini saya olah menjadi puisi berjudul Kesaksian Pasar Sentul yang menjadi juara pertama lomba penulisan puisi yang diselenggarakan Purna Budaya Yogyakarta.
Ke barat terus sampailah kami di depan Puro Pakualaman. Ada Alun-alun Sewandanan yang terbuka yang biasa digunakan untuk shalat Id. Juga ada tempat terbuka yang ada lapangan voli yang dipergunakan latihan oleh anggota YUSO atau lapangan sepakbola mini yang sering dipergunakan untuk pertandingan persahabatan klub sepakbola kampung sekecamatan Pakualaman yang kadang kalau pas final mendebarkan karena seusai pertandingan sering dilanjut gelut oleh anak-anak kampung itu.
Yang menarik, menurut penuturan paman saya, di seberang Puro Pakualaman dulu ada kantor partai Kiri yang besar dan ada jaringan intelijen partai ini yang menggunakan jaringan tukang tambal ban sepeda. Awalnya, paman saya curiga melihat ada tukang tambal ban baru dengan peralatan baru dan laris dikunjungi orang walau sekadar memompa ban. Ternyata setelah diamati, antara tukang tambal ban dan yang datang tengah berkomunikasi secara rahasia. Tukang tambal ban model ini konon waktu itu banyak ada di berbagai tempat. Kalau penuturan paman saya benar, ini merupakan pengetahan baru bagi saya.
O ya, kembali ke depan Puro Pakualaman. Dulu ada Museum Pandu yang bagus sekali. Letaknya di bawah tanah yang sekarang ada di warung Bebakaran. Terus ke barat, ke depan rumah penyanyi kondang Rachmat Kartolo lalu terus menuju Bioskop Permata yang penuh kenangan. Di sepanjang jalan Sultan Agung utara jalan dulu ada toko alat tulis, studio foto, dan toko kelontong. Sedangkan di selatan jalan saya lupa apakah waktu itu Museum Biologi UGM sudah ada atau belum. Yang jelas Asrama Sawerigading sudah ada dan di sebelah baratnya ada SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta dan kalau sore untuk kuliah mahasiswa IKIP Muhamadiyah Yogyakarta.
Waktu itu saya belum tahu apakah di dekat bioskop Permata sudah ada penjual gudeg Yu Mul kalau malam sebab hampir tidak pernah saya keluar malam ke kota. Kalau keluar siang biasa. Lebih-lebih di hari libur, kami punya agenda jalan-jalan atau mlaku-mlaku ke kota Yogyakarta sambil sekaligus mencari bungkus rokok. Waktu itu ada mode mengumpulkan bungkus rokok yang mereknya atau trade mark-nya macam-macam. Yang terkenal pada zaman itu merek rokok kretek dengan lintingan dari kulit jagung, Cap Pompa, lalu ada rokok siong cap Siluman yang khas klembak menyan. Rokok merek Minakjinggo, Sepanjang Malioboro, Marikangen. Rokok putih juga banyak. Ada merek Kansas, Escort. Bungkus rokok yang dibuang di pinggir jalan jadi rebutan anak-anak yang jalan kaki. Lebih-lebih kalau yang ditemukan bungkus rokok langka.
Bungkus rokok ini kemudian dipasang di buku dijadikan album. Siapa yang koleksi bungkus rokoknya paling banyak macamnya dia jadi keren dan punya kebanggaan. Kadang kalau koleksi merek rokok lebih dari satu, dipertukarkan dengan merek lain.
Ketika kami terus berjalan ke barat melewati jembatan Sayidan lalu di depan stopan gantung Gondomanan berbelok ke kanan masuk kawasan stanplat bus Sriwedani kami pasang mata. Sebab penumpang bus yang luar sering membuang bungkus rokok buatan daerahnya. Misalnya penumpang dari arah utara membuang bungkus rokok Cap Jambu Bol. Ini jadi rebutan. Demikian juga kalau ada penumpang dari arah timur membuang bungkus rokok merek Wismilak. Penumpang dari arah barat yang naik jurusan Cilacap PP juga sering membuang rokok kesukaan orang sana.
Di barat stanplat bus Sriwedani ini dulu ada bioskop Benteng. Kami menyerbu tempat pembuangan sampah untuk berburu bungkus rokok. Ini juga kami lakukan di depan bioskop Senisono dan Indra.
Di tempat seperti ini kadang mudah ditemukan bungkus rokok putih. Apalagi di sepanjang Malioboro. Anak -anak sering panen bungkus rokok di tempat sampah yang mereknya lebih beragam. Setelah menyeberang rel kereta api kami terus ke utara, ke depan bioskop Ratih, depan Perpustakaan Islam dan depan kantor koran Kedaulatan Rakyat. Kami kadang mengintip membaca koran yang di papan pemasangan koran. Yang kami cermati biasanya iklan sabun wangi yang gambarnya asyik.
Biasanya setelah sampai ke Tugu golong gilig di simpang empat jalan Pangeran Mangkubumi, kami balik kanan dengan menyeberang jalan. Menyusuri jalan raya dari sebelah yang juga ramai. Kalau sampai di depan toko buku Hien Hoo Sing kami berhenti sebentar, menengok etalase barangkali ada buku anak-anak yang baru. Kebanyakan yang dijual buku pelajaran atau buku untuk orang dewasa.
Kami menyeberangi jalan lagi lalu masuk Pasar Beringharjo. Nah, ini pasti seru. Sebab masing-masing dari kami akan ketemu saudara, atau bahkan orang tua yang berjualan pakaian di pasar ini.
Begitu masuk gerbang, ada deretan etalase mini tempat menyimpan dagangan. Ibu saya ada di bagian tengah. Jadi, dulu dari pintu ke belakang belum ada jalan lebar untuk pembeli. Etalase yang berdekatan membuat pembeli harus berdempetan kalau masuk.
“Ana apa Mus kok tekan kene?” Demikian biasanya Ibu menegurku dengan suara lembut. “Mlaku mlaku Bu, karo kanca-kanca,” jawabku dengan bahasa ngoko, bahasa Jawa yang dipergunakan keluarga dari Mbah Kidul atau Mbah Hasyim yang kampungnya termasuk wilayah Kotagede Yka (Yogyakarta). Dengan Paman, Pakde, dan Bulik dari garis keturunan Simbah Kidul saya kalau ngomong terbiasa ngoko. Berbeda kalau berbicara dengan Mbah Lor atau Mbah Hamim dan anak-anaknya yang satu ayah satu ibu dengan ibu, saya bicaranya pakai krama Inggil. Teman-teman sepermainan saya yang bersama masuk pasar Beringharjo dikenal Ibu. Ini anak Lik Prapto. Anak Lik Sis, Lik Sastra misalnya.
Demikian juga ketika kami blusukan di semacam gang tempat ibu-ibu dan simbah-simbah berjualan Wade atau kain batik. Saya juga dikenali oleh mereka. “Lho ini kan putune Kang Hasyim?” Lalu ada yang berteriak, “Yu Amat Sarbini, Yu Sahlan, iki putune teka.” Yang disebut itu adalah nenek dari teman-teman saya. Kami pun bersalaman dengan mereka.