Mbah Nun dalam Pencarian Hidupku
Bagiku mengklaim diri sebagai seorang ateis adalah awal-awal hembusan spiritualisme. Aku pernah diombang-ambing oleh pemikiran yang tanpa arah. Menihilkan Tuhan dengan gegabah, ajaran keagamaan manapun aku gegabah, aku anggap tak lebih dari takhayul yang diwarisi secara paksa oleh leluhur, kebodohan yang dijejalkan secara turun-temurun. Meng-aku-kan segala metabolisme ruang dan waktu. Menyombongkan pengetahuan yang sesungguhnya tak lebih dari tetesan air mata di tengah samudra. Berdebat tak henti-hentinya seperti orang-orang buta memperebutkan kebenaran bentuk bulan. Itu pun tak cukup menggambarkan kebutaan pengetahuan manusia tentang kehidupan setelah kematian karena tidak ada satu pun saksi seperti orang yang tidak buta mampu melihat bulan.
Lalu tiba pada sebuah masa aku masuk ke fase kehampaan. Ada ruang yang tidak bisa diisi dengan suara dari buaian para intelektual atau rayuan gombal para cendekiawan. Aku merasa didesak oleh perasaan yang begitu kosong, ada tangis yang membingungkan, yang tanpa sebab, tanpa awal, tanpa maksud.
Pencarian itu terus berlanjut, tapi yang kutemukan malah banyak orang memperdagangkan Tuhan seperti di pasar pagi. Aku menoleh dan aku melihat tulisan besar-besar di etalasenya “Agama kami yang paling benar. Bersama kami, kamu akan dihidangkan aliran sungai susu yang mengalir tak habis-habisnya, juga bidadari-bidadari cantik yang akan melayanimu setiap kau ingin melepas hasrat kebinatanganmu. Jangan sekali-kali kau ke tempat lain kalau kau tak ingin dibakar hangus berulang kali selamanya, dan ingat, selamanya itu lama sekali”.
Aku temukan rayuan dan ancaman itu di sepanjang pencarianku. Seperti disuguhkan sepiring nasi dan dari seluruh butir nasi di piring itu hanya sebutir yang tidak beracun, padahal aku sangat lapar, dan tentu saja aku tidak bodoh untuk mengambil pilihan memakannya. Di fase ini aku mulai percaya adanya Tuhan tapi tidak terhadap agama. Aku agnostik. Entahlah apa ini bisa dianggap jenjang atau justru aku lebih terperosok.
Bertahun-tahun aku dibelenggu situasi semacam itu. Kadang aku melupakan pergolakan batin itu saat aku sibuk dengan derasnya dunia dengan segala macam persoalannya. Tapi serangan itu selalu kembali tiba jika aku sudah mulai masuk pada kesendirianku, kekosonganku. Siksaan itu kadang membuatku memaki Tuhan dalam dialog imajiner kami, mengapa Dia menciptakan manusia yang mampu mempertengkarkan kebenaran. Kebenaran melawan kebenaran. Kebenarannya sendiri-sendiri. Mengapa Dia menciptakan manusia yang memperebutkan-Nya.
Lalu di suatu hari tanpa sengaja aku diantar oleh algoritma youtube ke sebuah video yang menampilkan seorang budayawan yang berbicara tentang ketuhanan secara kontras dengan apa-apa yang kudapatkan selama ini. Budayawan ini mengenalkan aku tentang artinya berserah diri, keterbatasan seorang insan. Beliau banyak membuka cakrawalaku tentang keindahan interaksi manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Beliau mengajarkanku kewaspadaan. Beliau menasehatiku bukan mendikteku. Beliau mengajarkan cara mencintai Tuhan dengan berdaulat. Beliau bernama Emha Ainun Nadjib. Yang tidak pernah meng-kiai-kan dirinya walau beliau memiliki seluruh kelengkapan untuk disematkan kehormatan semacam itu terhadap dirinya. Beliau lebih senang dipanggil Cak Nun oleh khalayak atau Mbah Nun terutama oleh aku dan sebagian besar jama’ah Maiyah.
Ya, karena Mbah Nun aku mengenal sedikit demi sedikit Tuhan dan agamaku.
8 November 2021, di sebuah subuh di Jakarta.