Fundamen Bangsa Mulai Sejak Anak-anak
Salah satu sifat Rasulullah Saw. adalah siddiq yang berarti: benar, jujur. Sifat ini tersematkan pada diri Muhammad, jauh sebelum masa kenabian. Bahkan sifat jujur ini diakui oleh musuh musuh Rasulullah. Bukan hanya diakui oleh para sahabat dan pengikutnya. Betapa mulia sifat Rasulullah ini.
Membahas sifat sifat utama Rasulullah ini lebih jauh, dalam dialog di acara Pasinaon Piwulang Luhur FKKMK UGM yang lalu, Cak Nun menjelaskan secara runtut sifat Rasulullah ini, bahkan sifat-sifat itu dipahami dalam urutan yang bersifat kausatif. Menurut Cak Nun, siddiq artinya sungguh sungguh. Kalau seseorang sungguh-sungguh, maka akan bisa dipercaya (amanah), dan seterusnya akan tabligh (mampu menyampaikan pesan dengan baik) serta fathonah (memiliki kecerdasan).
Bila kita melihat sifat siddiq, di dalam famili katanya, kata siddiq ini berkaitan dengan kata ‘shadaqah’. Shadaqah artinya memberi tanpa disuruh memberi. Kalau manusia siddiq, artinya sungguh sungguh sebagai manusia, maka dia pasti akan selalu tergerak untuk membantu tanpa harus disuruh. Dia akan memberi tanpa pernah diminta. Manusia yang bersungguh sungguh pasti akan menolong orang. Nah naluri menolong orang ini akan selalu ada kalau manusia sungguh sungguh berlaku sebagai manusia. Manusia yang ‘tidak tega’. Manusia yang mempunyai sifat tidak tegaan (aziizun alaihi ma ‘anittum; QS. At-Taubah: 128). Walaupun ini adalah sifat yang Allah sematkan kepada Rasulullah, boleh dong pengikutnya juga mempunyai sifat ini, karena sifat ini adalah esensi manusia. Menjadi manusia esensial!
Pada kenyataannya banyak manusia yang tegel (tega), lawan kata ‘tidak tega’. Berita-berita di koran koran, di televisi televisi. Kemarin ada berita, orang tua tega menyerahkan anaknya untuk disetubuhi dukun pesugihan, agar si orang tua kaya. Ini hanya salah satu contoh ketegaan orangtua kepada anaknya. Banyak lagi ke tegaan yang dilakukan oleh anak ke orangtua, pemimpin kepada rakyatnya, direktur kepada bawahannya. Dan lain lainnya.
Padahal esensi manusia itu adalah hatinya — perasaannya. Bukan otaknya — pikirannya. Itulah kenapa pada waktu pra kenabian, Muhammad Saw dibedah dadanya untuk dibersihkan dan disucikan hatinya oleh Malaikat Jibril.
Bukti bahwa sifat siddiq dimiliki oleh para Rasul utusan Allah Swt terdapat di dalam surat Maryam ayat 50:
وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِّنْ رَّحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا
Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik (siddiq) dan mulia.
Sifat jujur ini sangat penting dan menjadi dasar dari sifat manusia. Konsep kejujuran, berkata benar, dan tidak berbohong harus ditanamkan kepada setiap insan mulai saat dia lahir, bahkan dimulai pada saat bayi di dalam kandungan ibunya. Kejujuran pada anak akan selalu tertanam dan selalu dibawa di dalam hati dan tercermin dalam kehidupan sehari hari.
Pertanyaannya, apakah sifat sifat dasar yang baik ini masuk dalam ‘kurikulum’ dari setiap pembuat keputusan? Yang harus selalu ditanamkan. Yang harus selalu diingatkan, yang harus selalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Panduan dan kurikulum sekarang yang ada adalah untuk mencapai tumbuh kembang anak secara lahir. Program 1000 hari emas. Program apa lagi? Adakah program tentang pembentukan insan mulia? Dengan cara apa?
Mestinya kurikulum sifat sifat esensial ini sangat penting. Nggak usah ngomong tentang kejujuran, yang sedikit agak abstrak. Budaya antre saja yang kita lihat sekarang ini. Mestinya ditanamkan sejak kecil. Sejak TK! Terinsipirasi pendidikan ini di Korea yang saya lihat, bagaimana anak anak TK dikawal oleh gurunya untuk menyeberang jalan dan masuk ke Istana kerajaan di Korea Selatan. Kemudian ada lagi budaya antre yang diajarkan pada anak anak SD ketika antre di depan counter check in di bandara! Lha sekarang saya melihat antrean di depan lift di RS. Bukannya antre dengan rapi dan mendahulukan yang keluar, serta mendahulukan yang sakit. Yang terjadi adalah ketika pintu lift terbuka, maka antrean di depan lift (yang tidak dalam komposisi berurutan), langsung menyerbu masuk lift tanpa memberi kesempatan yang di dalam lift keluar dulu. Inilah kita, inilah negara kita. Sikap dan sifat dasar ini sangat penting ditanamkan sejak kecil.
Lho ini esensial lho, jangan sampai kita hanya menciptakan generasi yang seperti robot, menjadi tukang (tukang kayu, tukang batu, maupun tukang insinyur). Bukan berarti ‘tukang’ adalah hal yang bermakna negatif. Melainkan ibarat tukang yang lebih banyak mengerjakan atau bersentuhan dengan benda mati, yakni tanpa kita menyentuh sisi-sifat esensial manusia. Jujur, berkata benar, bisa dipercaya. Selalu bisa dipegang kata-katanya. Jangan bersifat kedelai (dhele; jw).
‘Esuk dhele, sore tempe’, pagi (masih) kedelai sore (sudah menjadi) tempe. Sifat yang inkonsisten. Tak bisa dipercaya. Apalagi kalau sifat ini dicontohkan oleh manusia yang berjuluk pemimpin. Apa jadinya terhadap yang dipimpinnya. Tidak bisa menjadi teladan!
PR kita untuk membangun insan yang mulia. Tidak hanya kata-kata dan tulisan ‘insan mulia’ akan tetapi diwujudkan dalam hal yang nyata.
Pendidikan anak-anak harus selalu diberi sifat-sifat dasar yang mulia ini. Sekarang ini penanaman sifat mulia ini menjadi sesuatu yang terpinggirkan. Bagaimana tidak? Orangtua akan lebih bangga bila anaknya sudah bisa membaca, menghitung (matematika) dan menulis mulai dari usia dini. Zaman sekolah di TK Bustanul Athfal ‘Aisiyyah, saya tidak merasakan tuntutan untuk bisa berhitung dan membaca. Kegiatan harian adalah kegiatan dunia anak. Bernyanyi, menari, bermain, mendengarkan cerita dan kisah kisah teladan. Dan diajari berdoa serta menghafal surat-surat pendek.
Kompetisinya adalah seputar itu. Hafalan surat dan bernyanyi. Tanpa ada juri dan penilai seperti layaknya dalam kompetisi.
Zaman now, lain ceritanya. Orangtua kebanyakan sekarang berlomba-lomba mengikutkan anak-anaknya dalam les berhitung, les membaca, les musik, les bernyanyi. Les sempoa, les vokal miliknya penyanyi ‘A’, les musik brand pemain band ‘B’. Orangtua zaman now lebih bangga bila anaknya menang dalam lomba menyanyi, lomba main musik, dan tidak sedikit orangtua yang bercita-cita agar anaknya menjadi artis. Penyanyi, pemain band, maupun pemain sinetron! Tapi, sekali lagi, bukan berarti menjadi penyanyi, pemain band, atau artis sinetron bermakna negatif atau tak ada dari mereka yang baik lho ya, ini soal betapa terpinggirnya pendidikan nilai, sikap, dan akhlak.
Walaupun ada orangtua yang bangga dengan anaknya yang akhlaknya baik apalagi juga pintar mengaji dan hafal Al-Qur’an. Akan tetapi, jumlahnya tak banyak. Bahkan bisa dikategorikan “langka”.
Lalu harus bagaimana?