Profesor Tasawuf yang Memilih Jalan Sunyi
Sabtu, 20 Juni 2020. Jam 3 dinihari telepon berdering. Setengah sadar saya meraih ponsel, muncul nama KC-Gandhie. “Mi, Syaikh meninggal. Segera meluncur ke rumah duka”. Singkat, padat, dan jelas.
Hening sejenak, tentu saja kaget, kabar duka selalu datang tiba-tiba. Sejenak kemudian saya buka WhatsApp Group, informasi tersebut sudah menyebar. Di pagi buta, saya segera meluncur ke rumah duka di Kampung Dukuh, sembari berharap bahwa kabar tersebut tidak benar.
Tapi ternyata, kabar itu benar adanya. Sesampainya di rumah duka, saya melihat bendera kuning sudah terpasang. Di ruang dalam, saya melihat Mbak Fatin duduk terpaku di samping jenazah Syaikh Nursamad Kamba.
Dari Kenduri Cinta saat itu Pak Munzir sudah sampai di rumah duka terlebih dahulu. Kemudian berurutan; Tri Mulyana, Sigit Hariyanto, Kusumaningrum, Bram, Heri. Gandhie datang menjelang pukul 5 pagi, selain karena harus berangkat dari Bogor, ada banyak hal yang harus dikoordinasikan.
Hari itu menjadi hari yang kelabu bagi teman-teman Jamaah Maiyah. Kami, penggiat Kenduri Cinta tentu lebih emosional rasanya. Kedekatan dan keakraban kami dengan Syaikh Nursamad Kamba sudah terjalin sangat lama.
Beberapa kali kami memiliki momen sangat intim, Reboan di rumah beliau, kami juga diundang aqiqah cucu beliau. Bulan Februari 2020 lalu, Syaikh Nursamad Kamba bersama Mbah Nun bahkan sempat datang ke forum Reboan di Teras Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki.
Pada 2018, ketika Syaikh Nursamad Kamba berulang tahun ke-60, kami mengadakan tasyakuran kecil-kecilan. Meskipun sederhana, tapi tetap meriah. Syaikh begitu gembira saat kami beri surprise perayaan kecil-kecilan itu. Bahkan, ketika cake ulang tahun dihadapkan beberapa lilin yang sudah dinyalakan apinya, kami semua menyanyikan lagu selamat ulang tahun, layaknya perayaan ulang tahun bersama teman-teman seperti biasanya. Mbak Fatin juga tampak bahagia saat itu. Tidak menyangka bahwa ulang tahun Syaikh akan kami rayakan.
Mundur lagi ke belakang, pada 2016, setelah Kenduri Cinta edisi Januari saat itu, “Gerbang Wabal”. Bersama beberapa penggiat Kenduri Cinta, kami bersama Syaikh Nursamad Kamba menuju Purwokerto menggunakan Kereta Api. Di malam harinya, Syaikh turut hadir di Juguran Syafaat. Esoknya, kami menuju Yogyakarta untuk Mocopat Syafaat di tanggal 17 Januari 2016. Hubungan kami di Kenduri Cinta dengan Syaikh Nursamad Kamba memang begitu dekat. Informasi meninggalnya Syaikh Nursamad Kamba tentu membuat kami kehilangan sosok yang kami tuakan di Kenduri Cinta.
Dan baru seminggu sebelumnya, ketika kami bersilaturahmi ke kediaman Ust. Noorshofa Thohir, salah satu Kyai yang kami takdzimi juga, kami dinasihati agar segera mempersiapkan regenerasi di Maiyah, khususnya Kenduri Cinta. Wafatnya Syaikh Nursamad Kamba seolah menegaskan nasihat itu, dan ketika Ust. Noorshofa hadir takziyah Sabtu lalu, beliau pun kembali berpesan kepada saya mengenai regenerasi itu, sambil mengusap punggung saya.
Dan kami pun ikhlas melepas kepergian Syaikh Nursamad Kamba hari itu.
Sore itu, saya tidak bisa menahan air mata. Jebol pertahanan saya. Di pusara makam Syaikh Nursamad Kamba, saya menangis.
***
Proses pemakaman selesai menjelang pukul 5 sore. Bersama beberapa penggiat, kami kembali ke rumah duka. Mbak Fatin meminta kami untuk ikut Tahlilan dan Yasinan malam itu. Tentu saja kami iyakan. Setelah Tahlilan dan Yasinan, kami pun mengungkapkan rasa terima kasih kepada keluarga karena selama ini telah mengizinkan Syaikh Nursamad Kamba menemani kami di Kenduri Cinta dan Maiyah. Tentu saja, kami juga menyampaikan permohonan maaf karena selalu merepotkan dan menyita waktu Syaikh Nursamad Kamba, yang seharusnya menjadi waktu bersama keluarga justru kami minta untuk menemani kami.
“Saya yang memperkenalkan Kenduri Cinta kepada Kak Nur”, Mbak Fatin mengungkapkan. Kak Nur adalah panggilan mesra Mbak Fatin kepada Syaikh Nursamad Kamba. Mbak Fatin, di awal-awal lahirnya Kenduri Cinta ikut berproses, karena hubungan Mbak Fatin dengan beberapa sastrawan di TIM terjalin sangat baik. Mereka adalah Pak Taufik Ismail, Bang Jose Rizal Manua, Bang Sutardji Calzoum Bachri dan juga Almarhum Hamid Jabbar. Dulu, ketika Mbak Fatin datang ke Kenduri Cinta, Syaikh Kamba hanya menunggu di mobil. Belum mengenal siapa itu Emha Ainun Nadjib, belum tahu tentang Kenduri Cinta, apalagi Maiyah. Tetapi saat itu Mbak Fatin sudah mbatin bahwa Mbah Nun akan cocok dengan Syaikh Nursamad Kamba. Hanya menunggu momen yang tepat untuk dipertemukan.
Tahun 2002 Mbak Fatin dan Mbah Nun ada acara di Australia. Saat itu Mbak Fatin masih tinggal di Kairo saat Syaikh Nursamad Kamba masih bertugas sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI Mesir. Mbak Fatin berangkat dari Mesir, Mbah Nun berangkat dari Indonesia.
Malam itu, kami mendengar cerita-cerita dari Mbak Fatin mengenai Syaikh Nursamad Kamba yang belum pernah kami dengar.
Suatu sore ketika di Australia itu, Mbah Nun rengeng-rengeng lagu Umi Kultsum. Mbak Fatin mendengarkan. Kemudian mengabarkan kepada Syaikh Nursamad Kamba mengenai momen tersebut. Kemudian terbayang, andaikan KiaiKanjeng mengaransemen lagu Umi Kultsum pasti akan sangat bagus. Syaikh Kamba tertarik dengan ide Mbak Fatin itu. Syaikh Kamba sangat mengidolakan Umi Kultsum, sehingga banyak lagu-lagu Umi Kultsum yang dihapal Syaikh Kamba. Tahun 2003, Mbah Nun, Bu Via dan KiaiKanjeng diundang ke Mesir.
Kehadiran Mbah Nun, Bu Via, dan KiaiKanjeng disambut hangat, di suatu Hall besar. KiaiKanjeng memukau penonton yang hadir. Mereka menyaksikan kepiawaian KiaiKanjeng memainkan lagu-lagu Umi Kultsum yang sudah diaransemen ulang dan mengundang decak kagum masyarakat Cairo yang datang saat itu. Sejak momen itulah Mbah Nun dan Syaikh Nursamad Kamba menjadi akrab.
Syaikh Nursamad Kamba pernah menceritakan bahwa suatu malam di Kairo berdiskusi dengan Mbah Nun, membahas isi buku Al-Futuhat Al-Makkiyah karya monumental Ibnu Arabi. Syaikh Nursamad Kamba merasa bahagia karena bertemu teman berdiskusi yang memiliki sudut pandang yang sama dalam khasanah Tasawuf. Yang kemudian membuat Syaikh Nursamad Kamba kagum adalah ketika dikonfirmasi apakah Mbah Nun pernah membaca buku Al-Futuhat Al-Makkiyah, Mbah Nun menjawab bahwa beliau tidak pernah membaca buku tersebut. Tetapi, menurut Syaikh Nursamad Kamba, materi yang dibicarakan dalam diskusi malam itu merupakan inti dari pemikiran Ibnu Arabi yang tertuang dalam buku tersebut. Bahkan dijelaskan oleh Mbah Nun dengan mudah dan gamblang.
Dari pengalaman ini kelak kemudian Syaikh Nursamad Kamba memiliki gagasan revolusioner: Tarekat Virtual. Seorang yang mendalami Tasawuf, kemudian ia mencari kebenaran dalam perjalanan spiritualnya, tidak harus mengenal atau menemukan siapa Mursyidnya. Karena laku hidup dan proses spiritualnya secara alami bertransformasi ke lubuk hati dan jiwa si pencari. Sang Mursyid mungkin tidak bermuwajjahah secara langsung dengan sang murid, tetapi nilai-nilainya teraplikasikan dalam dirinya. Ya, mungkin level paling rendah dari Tarekat Virtual yang kita alami di Maiyah adalah ketika kita bertemu dengan Mbah Nun di dalam mimpi.
Syaikh Nursamad Kamba sendiri mengalami banyak peristiwa spiritual yang bisa dibilang magis. Ketika masih mahasiswa di Al-Azhar Kairo, Syaikh Nursamad Kamba berguru kepada Syaikh Prof. Dr. Muhammad Dhiya El-Din El-Kurdi, yang merupakan Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah. Begitu dekat hubungan Syaikh Nursamad Kamba dengan sang Mursyid, bahkan sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Pernah diceritakan oleh Syaikh Nursamad Kamba, ketika masih awal-awal menikah dengan Mbak Fatin, kondisi ekonomi sedang sulit, dana beasiswa belum cair, sementara kebutuhan hidup harus tetap dipenuhi. Tiba-tiba, Syaikh Dhiya menghubungi Syaikh Nursamad Kamba agar segera datang ke rumah untuk mengambil bahan makanan pokok.
Mbak Fatin turut bercerita. Pada kehamilan putra pertama Irfan Muhammad La Paturusi, saat menjelang kelahirannya, saat itu Syaikh Nursamad Kamba sedang menjadi Tenaga Musiman (Temus) Haji. Sudah menjadi hal yang biasa jika mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur Tengah diperbantukan menjadi petugas lapangan pada musim Haji. Pada 1990, Syaikh Nursamad Kamba berkesempatan menjadi salah satu Temus. Sang putra lahir bertepatan dengan Hari Idul Adha. Di Mesir, hari Idul Adha jauh lebih meriah perayaannya dibandingkan dengan hari Idul Fitri. Kota menjadi sangat sepi, dan saat itu Rumah Sakit yang dituju untuk proses persalinan tutup. Mbak Fatin kemudian datang menemui Syaikh Dhiya dan kemudian diberi rekomendasi dirujuk ke sebuah rumah sakit langganan Syaikh Dhiya. Mbak Fatin mendapatkan fasilitas VVIP karena dianggap sebagai Al-Ajnabiy (orang asing) kerabat Syaikh Dhiya.
Beberapa saat setelah melahirkan, terdengar kabar bahwa Terowongan Mina runtuh. Kita pasti ingat peristiwa Tragedi Terowongan Mina. Tentu saja suasana hati Mbak Fatin tidak karuan. Baru saja melahirkan putra pertama, kemudian mendengar kabar terjadi Tragedi Mina saat Syaikh Nursamad Kamba menjadi Tenaga Musiman Haji. Jangan dibayangkan saat itu Mbak Fatin dapat dengan mudah menghubungi Syaikh Nursamad Kamba seperti hari ini yang kita rasakan. Sangat susah menghubungi dan mencari informasi terkini di Mina. Alhamdulillah, akhirnya kabar diterima bahwa Syaikh Nursamad Kamba dalam keadaan baik-baik saja.
Hal yang sama magisnya kembali dialami Mbak Fatin pada saat kehamilan kedua; Hanan Farhanasani I Goga. Saat HPL yang sudah diprediksi dokter, Syaikh Nursamad Kamba akan melangsungkan sidang disertasi. Kebimbangan menggelayuti hati Mbak Fatin. Mbak Fatin bergeming, tetap ingin menemani Syaikh Nursamad Kamba dalam proses sidang disertasi. Ajaib. Kelahiran sang putri mundur, bahkan hingga 2 bulan. “Hanan itu di perut saya 11 bulan”, ungkap Mbak Fatin.
Di hari wafatnya Syaikh Nursamad Kamba, saya sendiri akhirnya mengetahui bahwa almarhum memiliki tempat di hati banyak orang. Syaikh Nursamad Kamba adalah salah satu alumni terbaik dari Universitas Al Azhar Kairo yang dimiliki oleh Indonesia. Ada banyak gagasan revolusioner yang lahir dari buah pemikiran beliau. Ketika Pak Maftuh Basyuni menjabat Menteri Agama, Syaikh Nursamad Kamba membantu mereformasi manajemen penyelenggaraan Ibadah Haji. Setelah kembali ke tanah air, Syaikh Nursamad Kamba menggagas lahirnya Jurusan Tasawuf Psikoterapi di Fakultas Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Fakultas yang awalnya sepi peminat, setelah lahirnya jurusan Tasawuf Psikoterapi banyak mahasiswa yang kemudian mendaftar di Fakultas tersebut.
Di Maiyah, Syaikh Nursamad Kamba menegaskan kepada kita bahwa apa yang kita jalani di Maiyah adalah Jalan Kenabian. Tidak semata-mata Jalan Sunyi. Sumbangsih pemikiran Syaikh Nursamad Kamba di Maiyah sangat besar. Buku “Kidz Zaman Now Menemukan Kembali Islam” menurut saya hakikatnya adalah buku pegangan yang wajib dimiliki Jamaah Maiyah. Di buku tersebut, Syaikh Nursamad Kamba menjelaskan banyak hal mengenai Islam. Bahkan ada satu bab yang sangat spesifik membahas mengenai Maiyah dalam Perspektif Sufisme.
Setelah beliau wafat, baru saya ketahui bahwa sebenarnya beliau memiliki kesempatan untuk mengurus kenaikan pangkat kepegawaiannya di Kementerian Agama menjadi Golongan 3D, tapi urung beliau urus. Bahkan gelar resmi Profesor pun enggan beliau urus, padahal beliau sangat layak menyandang gelar Profesor. Di akhir hayatnya, Syaikh Nursamad Kamba memilih Jalan Sunyi di Maiyah, untuk bersama kita.
Syaikh Nursamad Kamba, sejati baktinya, hakiki ilmunya, sufi jalannya.
(Bersambung)