CakNun.com

Keamanan dan Keimanan Bagi Manusia Modern di Masa Pandemi

Manusia sedang dikepung ketakutan sejak pandemi Corona muncul. Makhluk berukuran nano namun hingga sekarang belum bisa dihancurkan oleh senjata modern peradaban manapun ini membikin orang-orang sangat dibatasi kegiatannya.

Pemerintah mengimbau masyarakat untuk tak berkerumun dan berkegiatan di masjid-masjid, di gereja, di mall, cangkrukan di warung kopi, atau menonton film di bioskop. Semua kegiatan diliburkan dulu, ditunda, atau dialihkan lewat cara yang lebih mengamankan satu sama lain.

Bukankah yang terakhir disebut ini memang tujuan dari Islam, yang secara harfiah dalam bahasa Arab berasal dari kata salama yang berarti “selamat”, “aman”, dan “damai”? Itu berarti, apa yang diusahakan umat manusia seluruh dunia saat ini justru sangat berjiwa Islami, mewakili religiusitas, dan menunjukkan ke-ber-Tuhan-an mereka, karena semua orang tentu ingin melewati masa sulit ini dengan selamat: entah lewat larangan mudik, lockdown, atau PSBB. Semoga ini tidak salah.

Terbatasnya kesempatan untuk beraktivitas seperti biasa menuntut manusia menahan diri dari banyak macam keinginan. Orang-orang diimbau untuk hanya keluar rumah karena kepentingan yang mendesak. Maka, bagi yang mengakrabi afala ta’qilun, Corona dan Ramadhan adalah momen sangat pas untuk, seperti yang berulang-ulang disampaikan Mbah Nun dalam berbagai kesempatan Maiyahan, melakukan shaum dan bukan hanya shiyam.

Di Indonesia, himbauan pemerintah untuk #dirumahaja, tidak mudik, dan yang terbaru PSBB — meskipun itu tak berlaku bagi masyarakat menengah ke bawah yang kebutuhan hidupnya tak tercover bantuan pemerintah, adalah bukti bahwa Tuhan sedang menginginkan umat manusia untuk “berpuasa”.

Bayangkan saja, setelah empat belas abad manusia diperintah “berpuasa” ini, Tuhan masih saja memberi gondelan sekaligus alasan bagi mereka untuk melakukannya, lewat Corona. Lah, berarti selama beratus-ratus tahun, di zaman modern seperti sekarang, kita-kita ini, para manusia, ngapain? Kalau dalam bahasanya ibu-ibu pedagang di TKIT Alhamdulillah, sedang enten penggawean apa?

Apa manusia zaman sekarang karena saking modern cara berpikirnya tak mampu menghayati apa yang mereka dapat dari perkuliahan universitas-universitas, kegiatan-kegiatan kesenian, ceramah poro kyai dan ulama, hingga pengajian lewat video Youtube, sampai-sampai untuk melakukan shaum saja harus “dipaksa” lewat Corona? Atau jangan-jangan mereka malah tidak mengaji sama sekali? Bahkan, kita tak yakin apakah modernisasi membikin orang-orang tahu bedanya shaum dan shiyam. Lah njuk, kon iku mumet opo piye a?

Ulama besar dari Tarim, Habib Umar bin Hafidz — beliau lahir di tanggal yang sama dengan Mbah Nun namun lebih muda sepuluh tahun, bermunajat dalam ceramahnya dengan berharap Corona hilang sebelum Ramadhan. Namun, Tuhan sepertinya berkehendak lain. Manusia seakan-akan “masih membutuhkan” Corona untuk menghayati shaum dan berlatih menahan diri. Dan selama Ramadhan, kita-kita ini sekaligus juga melakukan shiyam. Lewat Corona, Tuhan hendak membelalakkan mata manusia bahwa selama ini, mereka masih belum mampu mengatur diri mereka sendiri, masih melakukan segala sesuatu di luar batas, dan sak penake udele dhewe. Selama ini, mereka telah berjalan terlalu jauh, mencari sesuatu yang sifatnya kabur, dan tak sempat ngusel-usel dan bermesraan dengan-Nya.

Maka dari itu, Tuhan menyampaikan sikap posesifnya secara sendu: untuk bisa berdekatan dengan-Nya, manusia dianugerahi ketakutan akibat wabah yang disebut banyak orang sebagai bencana. Wabah itu membuat manusia di seluruh dunia mengeluarkan kebijakan yang tujuannya mengejar keselamatan, rasa aman, dan kedamaian bagi banyak orang.

Sayangnya, tak bisa dipastikan apakah manusia, dan kita ada di dalamnya, cukup punya penghayatan bahwa usaha-usaha itu sifatnya sangat Islami, melibatkan sifat ke-ber-Tuhan-an, dan amat transendental. Lagipula, kepercayaan semacam itu bagi manusia modern, kan, sifatnya kolot, mengada-ada, dan tidak ilmiah sama sekali. Maka dari itu, semoga kita termasuk yang dianguerahi-Nya keamanan dan keimanan.

Lainnya

Menunggu Ditransfer Malaikat

Menunggu Ditransfer Malaikat

Dalam hati saya membatin ini anak pasti tidak dapat peluang rezeki dari upaya menjaga diri. Peluang rezekinya tinggal satu: ditransfer oleh Malaikat Allah. Atau bangun suatu pagi, tiba-tiba di bawah bantalnya keluar dolar.

Kalender Jowo Digowo, Kalender Arab Digarap, Kalender Barat Diruwat

Kalender Jowo Digowo, Kalender Arab Digarap, Kalender Barat Diruwat

Ungkapan “Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat” tidak hanya berlaku di bidang sosial budaya, tetapi juga di bidang eksakta, misalnya dalam hal perhitungan matematis kalender. Bukti dari unen-unen tersebut juga dapat kita lihat pada perhitungan matematis pada ketiga kalender yang telah kita kenal, yaitu kalender Jawa, kalender Hijri dari Arab, dan kalender Masehi dari Barat.