CakNun.com
Maiyahan Cak Nun dan KiaiKanjeng ke-4136

270 Tahun Kabupaten Blora, Sinau Bareng Spirit Manfaat

Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng dalam rangka HUT Kabupaten Blora ke-270, Lapangan Kridosono, Blora, Minggu 8 Desember 2019
Rony K. Pratama
Waktu baca ± 6 menit

Lapangan Kridosono, Blora, penuh sesak. Beberapa orang tak kebagian tempat, namun masih punya siasat. Sebagian menduduki tribun, sebagian lain harus ikut berjubel sesak lesehan. Perayaan Hari Ulang Tahun ke-270 Kabupaten Blora diselebrasikan semarak. Cak Nun dan KiaiKanjeng menjadi magnet utama.

Mengawali acara, Cak Nun memberikan kesempatan kepada Pak Djoko Nugroho, Bupati Blora, agar memberikan “kenduri katresnan” kepada audiens. “Semoga kesempatan Sinau Bareng ini dapat memperbaiki hati kita agar selalu lebih baik. Tema acara ini Blora the Spirit of Indonesia. Itu topik yang berat. Itu kenapa saya mengajak masyarakat ke sini agar sama-sama mewujudkan apa yang ditemakan tersebut. Agar semuanya belajar bareng,” pesannya.

Kabupaten Blora memiliki jumlah penduduk sekitar 860 ribu jiwa. Pak Bupati mengatakan dengan jumlah tersebut diharapkan setarikan napas dengan manfaat yang diberikan kepada sesama. Menabur manfaat, menurut Cak Nun, mesti diawali dengan kalam Tuhan iqra bismi rabbika—bacalah dengan atas nama Tuhan. “Iqra bukan sekadar membaca, melainkan harus didasarkan atas sinau bareng. Sinau segala sesuatu, baik dengan alam maupun sesama manusia,” tuturnya.

Terhadap esensi manfaat bagi sesama manusia, Mas Sabrang menganalogikan pohon mangga. “Siapa di sini yang pernah makan mangga? Di sini siapa yang pernah menanam pohon mangga? Kebaikan yang dilakukan, baik memakan maupun menanam, itu bisa dinikmati siapa saja. Di situlah inti dari Sinau Bareng. Kalau kita Sinau Bareng, maka kita saling belajar dengan yang lain,” jelasnya.

Sinau Bareng mengondisikan semua orang memiliki hak setara. “Kalau kita pandai, kita harus pandai bareng-bareng. Kita harus menikmati belajar secara bersama-sama,” tambahnya. Kebersamaan itu merupakan fondasi Maiyah. Kiai Muzammil sontak mengaitkan dengan konsep dalam Islam. Menurutnya, orang-orang yang beriman itu seperti sebuah bangunan. Ada fondasi, atap, dinding, dan lain sebagainya, sehingga kesemuanya saling menguatkan.

Cak Nun mempertajam topik pembahasan. “Filosofi pembangunan adalah semua saling memberi, mengamankan, dan menguatkan. Itulah Islam. Dan Maiyah memperjuangkan nilai-nilai tersebut,” responsnya. Kalau ditelisik, apa yang diperjuangkan Maiyah, khususnya melalui metode Sinau Bareng, sesungguhnya merupakan asas terbaik dalam hidup.

Di sela-sela dialektika antara Cak Nun dan Mas Sabrang, terbersit topik menarik seputar apakah kebaikan atau kebermanfaatan yang seharusnya lebih dahulu. Bahkan tentang kebaikan, ia acap kali diposisikan lintasan lomba. Sebuah persaingan tiada akhir antara mana yang baik dan mana yang buruk. Pun kedudukan kebaikan yang sering dianggap sebagai legitimasi kehebatan.

Mas Sabrang menjawab dengan tegas. “Juara-juaraan itu saya sendiri tidak setuju. Karena kalau merasa lebih baik, maka kemudian memosisikan orang lain buruk. Malah justru bisa terjebak pada perasaan bahagia di atas penderitaan orang lain.”

Ia menegaskan pula kalau kehebatan juga baik, meskipun dalam konteks tertentu. Misalnya, merasa lebih baik ketimbang hari kemarin. Itu bersifat individual. “Kalau Islam, lombanya kan bukan hebat-hebatan, melainkan saling memberi manfaat kepada orang lain,” ujarnya.

Cak Nun mengamini kalau asas terbaik dalam hidup itu manfaat. Hal itu dianggap paling utama di Maiyah. Bagi Cak Nun, orang yang memakai asas manfaat adalah orang yang mencari ilmu untuk memberikan manfaat. Titik beratnya pada ekspresi maupun laku manfaat itu, sehingga orang lain dapat merasakan dampak positifnya.

Blora, Desember 2019. Foto: Adin (Dok. Progress).

Diskusi makin mendalam, namun penuh ilustrasi performatif. Cak Nun kemudian meminta audiens apakah di Blora terdapat generasi muda yang menggeluti bela diri pencak silat. Sekitar empat orang anak muda, baik perempuan maupun laki-laki, gayung bersambut dan langsung menuju panggung. Mereka diberi kesempatan oleh Cak Nun untuk menunjukkan bakatnya.

Pengajian Kok Ada Silatnya

Usai jurus demi jurus dipertunjukkan, Mas Sabrang merefleksikan. “Tadi ada yang bertanya, pengajian kok ada silatnya. Ini memang inti dari Sinau Bareng. Kita bisa mempelajari dari apa pun. Silat sebagai tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang kita mempunyai ilmu yang luar biasa. Nilai yang bisa diambil: mental dan disiplin. Kedua hal ini sangat penting bagi pembangunan bangsa. Apa ilmu yang bisa diambil? Apa saja yang bisa kita maknai sebagai bahan belajar,” ucapnya.

Di Maiyah memang semua individu ditampung. Semua berhak mengekspresikan apa pun dengan catatan menyesuaikan konteks situasi-kondisi. Habib Anis menambahkan refleksi itu. Khususnya ia menyorot pada betapa ekspresifnya masyarakat Maiyah itu. “Apa yang membuat audiens di Maiyah bisa ekspresif? Karena tidak ada yang tertekan di Maiyah,” katanya.

Ia melanjutkan dengan contoh eksistensi gamelan di Jawa pada zaman dahulu. Alat musik Jawa tersebut dikatakan telah terorkestrasi sedemikian rupa secara ciamik. Habib Anis bertanya, “Kenapa orang zaman dahulu banyak menemukan hal-hal baru yang bernilai? Karena pada zaman dahulu mereka tidak tertekan sehingga bisa berdaulat. Dan itu seperti Sinau Bareng ini. Kalau dalam situasi tidak tertekan, maka kreativitaslah yang akan berkembang.”

Milad Blora juga termasuk produk kreativitas. Kiai Muzammil mengkritik banyak penceramah yang mengharamkan ulang tahun sebagai bid’ah—suatu larangan literal dalam teks agama. Bid’ah, menurutnya, terdiri atas dua hal, yakni bid’ah baik dan buruk. Tapi milad termasuk bid’ah yang baik selama dimaknai dengan orientasi manfaat yang bernilai kolektif.

“Orang yang mengatakan ulang tahun bid’ah itu berarti belum membaca Al-Qur’an secara keseluruhan. Nabi Isa dikisahkan dalam Al-Qur’an. Terdapat salah satu ayat yang menyatakan bahwa keselamatan bagiku ketika aku lahir; ketika aku dibangkitkan lagi dalam hidup. Ucapan selamat ulang tahun di sana jelas diabadikan dalam Al-Qur’an. Ekspresi ulang tahun itu bukan sekadar bentuk, melainkan kesadaran. Sebab kesadaran itu yang paling inti dari momen milad,” tandasnya.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik