United Nations of Nusantara
Tadarus Surat Al Hujurat dibacakan bersama-sama secara tartil mengawali Kenduri Cinta edisi September kali ini. Seperti yang sudah disepakati bersama oleh para penggiat di forum-forum Maiyah lainnya; Padhang Mbulan, Kenduri Cinta, Bangbang Wetan, Mocopat Syafaat, Juguran Syafaat dan Gambang Syafaat bahwa tadarrus Al Qur’an secara tartil dan terpimpin kemudian dilengkapi dengan 3 jenis wirid; Hasbunallah, Padhang Mbulan dan Shohibu Baitiy dalam format pembukaan forum Maiyahan setiap bulannya.
Tepat pukul 20.00 Wib Kenduri Cinta dimulai, jama’ah yang sudah hadir tampak khusyuk melingkar bersama di shaf terdepan, bertadarrus bersama, bersholawat bersama, bermunajat bersama untuk kebaikan bersama dalam mengawali Kenduri Cinta malam itu.
Setelah tadarrus Al Qur’an dan membaca beberapa wirid yang sudah disepakati sebelumnya, Ibrahim mengolah mukaddimah Kenduri Cinta dengan format yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Jika sebelumnya jama’ah yang hadir lebih dahulu menyimak pemaparan dari penggiat Kenduri Cinta tentang tema yang diangkat, kali ini Ibrahim mengajak jama’ah yang sudah hadir untuk terlebih dahulu memaparkan pemikirannya yang terlintas pertama kali ketika membaca tema “United Nations of Nusantara” yang diangkat oleh Kenduri Cinta kali ini.
Salah seorang jama’ah dari Aceh, Adi Al-Kautsar yang sudah datang ke Kenduri Cinta ketiga kalinya mengatakan bahwa bisa jadi dengan mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara mungkin adalah salah satu solusi untuk menghapus hutang luar negeri Indonesia yang semakin tahun semakin bertambah. Menanggapi soal hutang luar negeri, Eko Tan, jamaah asal Jakarta memberikan informasi yang dia dapatkan bahwa di Swiss, Indonesia memiliki simpanan uang dan emas batangan yang cukup banyak yang konon dulu dipersiapkan oleh Soekarno disaat masih memimpin Indonesia. Sehingga menurut Eko, sangat logis koruptor di Indonesia semakin banyak karena mereka tahu betapa banyaknya kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Sehingga menurut Eko, tinggal bagaimana pemerintah mengambil kembali harta tersebut. Ibrahim kemudian melemparkan pertanyaan begaimana mungkin kita mengambil harta-harta yang ada di luar negeri, sedangkan harta yang ada di dalam negeri justru diambil oleh negara lain.
Ali, dari Pasar Minggu memaparkan dari tema yang diangkat Kenduri CInta kali ini bahwa solusi yang bisa dilakukan adalah beberapa masyarakat yang merasa tidak setuju dengan pemerintah yang ada saat ini kemudian berkumpul di sebuah pulau yang masih berada di wilayah teritorial yang sama di Indonesia untuk kemudian membangun sebuah negara kecil yang baru dengan sistem yang baru, namun cara ini tentu akan sangat diidentikan dengan makar.
Ibrahim menambahkan bahwa suku di Indonesia ini jumlahnya sangat banyak, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah yang ternyata hanya ada satu suku, yaitu suku Arab. Sehingga Indonesia membutuhkan sebuah formula yang berbeda dari negara Timur Tengah.
Hesti, salah seorang jama’ah yang mengakui datang pertama kali ke Kenduri Cinta kali ini, “United Nations of Nusantara” menurutnya bahwa Indonesia ini sudah sangat plural, sehingga menurutnya apabila ada yang berfikir untuk menolak untuk menjadi berbeda, maka dirinya menolak untuk menjadi dirinya sendiri. Karena menurut Hesti, sejatinya bangsa Indonesia ini memang berbeda-beda sehingga tidak semestinya kita tidak menolak sebuah perbedaan satu sama lain. Di Indonesia sangat dibutuhkan sebuah pengetahuan yang memberikan informasi tentang bagaimana bentuk ibadah dari setiap agama-agama yang ada di Indonesia sehingga ketika seorang anak menginjak usia dewasa dia tidak kaget dengan berbagai macam bentuk agama yang ada. Yang terjadi saat ini, bahkan di Islam sendiri terjadi pemisahan-pemisahan yang kemudian mengerucut pada kondisi perpecahan internal di Islam sendiri. Dan hal ini tentu perlu pengkajian yang lebih mendalam juga, apakah di agama yang lain juga terjadi hal yang serupa atau tidak.
Saiful Anwar dari Gunung Kidul merespon pemaparan Hesti, bahwa masalah perbedaan memang harus kita terima. Seperti dalam ilmu kelistrikan, energi listrik saja muncul akibat dari dua sumber yang berbeda, yaitu negatif dan positif. Dari energi listrik saja masih bisa menghasilkan output yang berbeda pula menjadi energyi gerak, energi panas dan yang lainnya. Yang kita butuhkan saat ini adalah bagaimana cara kita mensikapi perbedaan itu sendiri.
Adi Pujo, penggiat Kenduri Cinta ikut urun tanggapan dengan melemparkan sebuah pertanyaan, apakah dari dulu kita sebetulnya sudah menjadi sebuah “united” atau belum?. Atau memang dari dulu kondisi kita memang terpecah belah sehingga kita membutuhkan formula baru untuk menjadikan kita “united”. Adi Pujo menambahkan, bahwa mungkin pada zaman dahulu sepertinya toleransi antar satu sama lain sudah cukup besar sehingga tidak kita lihat sebuah perpecahan yang bermuara pada kehancuran Nusantara, karena apabila tidak ada rasa toleransi antar satu sama lain sangat tidak mungkin bangsa ini dipersatukan. Adi Pujo mencontohkan proses lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928. Bagaimana proses munculnya Sumpah Pemuda ini justru jauh sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan masih berada dibawah jajahan Belanda. Dari satu peristiwa ini saja kita bisa mengidentifikasi bahwa sejatinya bangsa ini sudah “united” sejak dulu, karena mudah disatukan.
Farid, putra Alm. Mbah Surip kemudian tampil keatas panggung menghibur jama’ah yang sudah hadir untuk mengantarkan forum memasuki diskusi sesi pertama.
Sesi Pertama
Mathar Kamal memandu diskusi sesi pertama yang menghadirkan beberapa pembicara yang merupakan perwakilan dari PP IPNU, PB HMI dan KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Amsar juga turut hadir dan naik keatas panggung atas ajakan Mathar Kamal.
Khoirul Anam dari PP IPNU (Ikatan Pelajar Nahdhlatul Ulama) yang merupakan salah satu sayap organisasi Nahdhlatul Ulama menjadi pembicara pertama. Khoirul Anam merespon tema yang diusung Kenduri Cinta kali ini dan mengkorelasikannya dengan peristiwa beberapa bulan terakhir yang merupakan salah satu proses politik yang cukup panjang dan menguras banyak energy bangsa ini, mulai dari pemilihan legislatif hingga pemilihan presiden. Proses yang cukup panjang tersebut menurut Anam kemudian menjadikan bangsa ini membutuhkan sebuah ruang yang cukup luas untuk kemudian bersama-sama untuk bermusyawarah dan bersepakat bagaimana langkah selanjutnya yang akan ditempuh oleh bangsa ini. Menurut Anam, untuk menyelesaikan persoalan kompleks yang dihadapi bangsa ini membutuhkan peran yang cukup luas dari seluruh rakyat Indonesia, terlebih bangsa ini baru saja melewati sebuah proses demokrasi yang ternyata cukup menciptakan jarak yang sangat lebar dan nyata, yang masih terlihat hingga hari ini. Peran pemuda sendiri menurut Anam juga sangat penting dalam menyelesaikan bangsa ini, sayangnya pemuda yang saat ini direpresentasikan oleh pelajar dan mahasiswa ternyata sangat sedikit sekali yang berminat untuk berkecimpung di dalam dunia organisasi kepemudaan saat ini. Menurut Anam, keberadaan organisasi-organisasi kepemudaan saat ini memegang peran yang cukup vital dalam mengawal perubahan yang tentunya diharapkan terwujud dari pemerintahan yang baru ini.
Menurut Anam, di Indonesia sendiri terdapat kurang lebih 4000 organisasi yang bergerak di berbagai bidang, semua organisasi ini memiliki peranan yang penting dalam memberikan edukasi kepada masyarakat di berbagai bidang, entah itu politik, budaya, agama, pendidikan, kesehatan, social dan kemasyarakatan tentunya. Secara khusus, Anam juga mengatakan bahwa forum Maiyah Kenduri Cinta ini juga memiliki peran yang penting, dimana konsistensinya setiap bulan dalam menyediakan wadah bagi masyarakat yang hadir mampu memberikan ilmu yang sangat luas cakupannya di kehidupan sehari-hari.
M. Arif Rosyid dari PB HMI yang sudah kedua kalinya hadir di Kenduri Cinta memaparkan bahwa Indonesia itu dibangun bukan berdasarkan prinsip semua untuk satu dan satu untuk semua, melainkan Indonesia dibangun berdasarkan semua berfikir untuk semua dan semua bekerja untuk semua, sehingga keberadaan semua elemen bangsa memiliki peran yang sama dalam membangun masa depan Indonesia. Sehingga menurut Rosyid, apapbila ada sekelompok orang yang kemudian berfikir pragmatis untuk mencari keuntungan bagi kelompoknya sendiri, dari situlah awal mula kehancuran bangsa ini.
Menurut Rosyid, apabila seluruh elemen bangsa ini mengedepankan prinsip semua bekerja untuk semua dan semua berfikir untuk semua, maka kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini tidak akan terjadi di masa yang akan datang. Terlebih saat ini Indonesia mayoritas penduduknya adalah mereka yang berada dalam usia-usia produktif. Keadaan ini menurut Rosyid akan memungkinkan Indonesia untuk menentukan pilihan diantara dua: ancaman atau peluang. Dari mayoritas penduduk yang sedang dalam usia produktif ini, Indonesia memiliki pilihan untuk menjadikan mereka ancaman atau peluang. Dan keputusan pilihan itu tidak hanya ada ditangan pemerintah saja, melainkan para pemuda yang tersebar di berbagai organisasi maupun yang tidak berorganisasi juga memegang peran yang cukup penting dalam menentukan pilihan Indonesia diantara keduanya.
Khirul Anam dari Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir merespon tema Kenduri Cinta kali ini dan mengkorelasikan dengan lagu “Dari Sabang Sampai Merauke”. Lagu ini merefleksikan wilayah teritorial Indonesia dibangun, dimana Indonesia hanya diperkenalkan hanya dalam nama “berjajar pulau-pulau”, sehingga konstruksi berfikir kita saat ini adalah wilayah teritorial, bukan orangnya. Akhirnya, manusia Indonesia tidak menjadi Indonesia karena hanya berfikir territorial saja, tidak berfikir secara substansi yang sebenarnya. Sehingga, relasi yang kebangsaan yang terbentuk di Negara ini adalah relasi teritorial, bukan relasi kemanusiaan.
Nanang Hape yang pada kesempatan ini hadir bersama kelompoknya, Wayang Urban, mengkorelasikan tema Kenduri Cinta malam itu dengan dunia Wayang. Dalam kesenian wayang, wayang itu baru hidup jika dalangnya silam. Artinya, penonton tidak melihat dalangnya, melainkan wayangnya. Apabila wayangnya bagus, maka dalangnya akan menjadi bagus. Menurut Nanang, Wayang adalah refleksi kehidupan sehari-hari. Nanang mencoba mengajak jama’ah yang hadir untuk tidak melupakan akar, karena sejak awal para narasumber hampir semua berbicara tentang masa depan yang direpresentasikan sebagai berseminya buah dalam sebuah pohon. Nanang mencoba menarik jama’ah untuk berbicara tentang akar agar semua yang hadir tidak melupakan sejatinya diri dari setiap manusia. Menurutnya, Indonesia ini terbangun dari berbagai suku. Suku dalam bahasa Jawa artinya adalah kaki; sikil.
Menurut Nanang, apabila Indonesia ingin melihat dirinya 50 tahun ke depan, maka salah satu syaratnya adalah melihat bagaimana 50 tahun ke belakang yang terjadi di Indonesia. Nanang mengibaratkan seperti sebuah jangka (alat tulis untuk membuat gambar lingkaran), karena menggunakannya harus berputar, maka Indonesia juga harus menggunakan cara yang sama.
Wayang, menurut Nanang bisa menjadi juru warta, yaitu sumber cerita jangka ke belakang dari Indonesia yang kemudian bisa digunakan untuk menjangka Indonesia ke depan bagi generasi saat ini. Seorang seniman akan berusaha untuk menyampaikan gagasan melalui kesenian yang digeluti, dan dalam kerangka Indonesia kemudian ia akan berusaha mengenal budaya-budaya sleain dari latar belakang kesenian yang ia geluti. Nanang bercerita pengalamannya dalam mempelajari jenis nada Adzan di tiap-tiap daerah di Indonesia yang ternyata memiliki banyak jenis nada dalam cengkoknya. Adzan di Aceh akan sangat berbeda dengan Adzan di Jogja, misalnya. Bagi seorang seniman, ia akan menggali lebih dalam lagi sesuai dengan jenis kesenian yang ia geluti, sehingga ia menemukan hal-hal yang baru dalam memahami nada cengkok Adzan tersebut. Dan menurut Nanang, saat ini orang-orang yang lebih menjaga kebudayaan lebih banyak dari kalangan seniman.
Wardi SH memaparkan Trifalak Tunggalistik yang merupakan sebuah ilmu yang sudah memiliki Hak Cipta sejak tahun 2010. Trifalak Tunggalistik lebih mengedepankan ilmu yang ada dalam diri manusia sendiri, menurut Wardi sendiri bahwa apapun yang ada di dunia saat ini, teknologi apapun yang ada di dunia saat ini sudah ada dalam diri manusia. Menurut Wardi, bangsa adalah ciptaan Tuhan sedangkan negara adalah sesuatu yang dibentuk oleh manusia yang berkumpul dalam sebuah bangsa, Indonesia misalnya adalah sebuah negara yang dibentuk oleh BPUPKI yang merupakan representasi bangsa Nusantara saat itu.
Selepas Wardi memaparkan Trifalak Tunggalistik, Mathar Kamal memancing beberapa jama’ah yang hadir untuk merespon semua yang sudah dipaparkan oleh narasumber yang berbicara diatas panggung. Ahmad Dhuha dari Pemalang yang hanya bersekolah hingga SMP merespon tema yang diangkat Kenduri Cinta dan mempertanyakan mengapa tidak menggunakan bahasa Indonesia saja. Hal ini sejalan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini, menyatakan cinta Indonesia namun dengan bahasa Inggris, I Love Indonesia. Sepintas memang fenomena ini mengagumkan, mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia sudah semakin maju karena mampu berbahasa Inggris, namun jika dilihat dari sisi yang lain hal ini membuat mental bangsa ini semakin mundur karena tidak merasa bangga dengan bahasanya sendiri.
Diaz dari Jakarta mengungkapkan responnya kepada perwakilan dari organisasi kepemudaan yang hadir di Kenduri Cinta malam itu. Menurut Diaz, mayoritas dari pejabat yang menjabat sebuah jabatan di pemerintahan saat ini pernah merasakan kehidupan Organisasi Kepemudaan sebelum ia menjadi pejabat seperti sekarang ini. Tidak sedikit bahkan dari mereka yang dulunya merupakan aktivis mahasiswa. Menurut Diaz, semakin banyaknya Organisasi Kepemudaan yang ada saat ini bertolak belakang dengan tema “United nations of Nusantara”, pemuda saat ini justru mengkotak-kotakan dirinya berdasarkan kelompoknya masing-masing ketika berorganisasi, imbasnya ketika menjabat suatu jabatan mereka menjadi representasi dari organisasi mereka sendiri. Sayangnya, para elit pejabat Negara Indonesia saat ini sangat berbeda dengan dirinya ketika dulu menjadi aktivis mahasiswa dalam organisasi kepemudaan. Sehingga yang terjadi adalah hilangnya kepercayaan rakyat terhadap para pemimpinnya. Diaz mencontohkan dalam proses pemilihan legislatif, para calon legislatif mengemis suara kepada rakyat, namun ketika mereka menjabat sebagai wakil rakyat di parlemen sama sekali tidak merepresentasikan dirinya sebagai wakil rakyat. Karena frame yang terbentuk dalam alam fikiran mereka adalah sebuah kompetis yang harus mereka menangkan untuk dapat melenggang mulus hingga kursi parlemen. Ketika sudah duduk di kursi parlemen, mereka sudah tidak berfikir lagi tentang rakyat, yang mereka fikrikan adalah bagaimana agar mereka bisa kembali menduduki kursi tersebut di pemilihan yang akan datang.
Umam, jama’ah asal Madura yang saat ini kuliah di Jakarta menegaskan bahwa dengan melihat keadaan Indonesia saat ini justru di Kenduri Cinta inilah kita mencari apa yang disebut “united” itu sendiri. Tentang nama Indonesia, Umam menyarankan agar nama Indonesia diganti menjadi Nusantara. Menurutnya, orang tua zaman dahulu apabila anaknya sering sakit salah satu solusinya adalah dengan merubah nama anaknya itu. Umam juga mencontohkan bagaimana alm Gus Dur merubah nama Irian Jaya menjadi Papua.
Ulya, jama’ah perempuan asal Karawang lebih mengajak kepada bagaimana kita mengembalikan identitas bangsa kita ini dan mempertegas kembali identitas tersebut, apabila keduanya sudah dilakukan barulah kita berfikir bersama-sama mengemas bagaimana menentukan jalan yang akan ditempuh di masa yang akan datang.
Nanang Hape dengan kelompok Wayang Urban-nya kemudian membawakan beberapa nomor lagu sebelum para narasumber menanggapi apa yang sebelumnya disampaikan oleh jama’ah yang hadir.
Sesi Kedua
“Temen-temen sekalian, saya sangat gembira, sangat bahagia, sangat mendapatkan harapan”, Cak Nun membuka diskusi sesi kedua.
Cak Nun mengajak para narasumber yang hadir untuk jangan tergesa-gesa merespon apa yang disampaikan oleh jama’ah yang hadir, namun akan lebih indah apabila semua yang hadir mampu membangun ruang yang baru untuk kemudian menemukan pintu-pintu yang baru dalam merespon apa yang disampaikan sebelumnya oleh jama’ah Kenduri Cinta.
Cak Nun menyatakan bahwa bangsa yang sangat kaya budaya ini, sangat beragam suku dan bahasanya tidak bisa diurus oleh pemerintahan yang “kacang goreng” seperti sekarang.
“Ini sudah akan lahir sebuah peradaban yang baru, bukan hanya negara yang baru”, lanjut Cak Nun. Melihat fakta yang kita temui saat ini, jika kita menggunakan analogi hukum agama, maka keberadaan Negara Indonesia ini sudah batal. Cak Nun memberi sebuah perumpamaan yang sangat sederhana. Dalam perspektif hukum seorang pencopet dengan koruptor itu berbeda hukumannya, tetapi jika kita berbicara soal konstitusi yaitu substansi dari pelanggaran norma antara pencopet dan koruptor, maka pencopet dan koruptor harus dijatuhi hukuman yang sama. Cak Nun menambahkan perumpamaan yang lebih mudah lagi yaitu dalam proses pelaksanaan sholat. Seseorang dinyatakan batal sholatnya tidak tergantung pada jumlah kentut atau air kencing yang keluar dari kemaluannya. Sedikit atau banyak ia kentut atau kencing ketika sholat, maka sholatnya dinyatakan batal secara hukum agama. Sehingga dalam prinsip dasar dalam sebuah moral, tidak perduli seseorang mencuri uang sedikit atau banyak, karena pada prinsip nilainya adalah pencurian. “Nah, seharusnya Mahkamah Konstitusi itu seharusnya seperti itu, jika Mahkamah Konstitusi tidak berani berbicara Konstitusi secara substansi, jangan menganggap dirinya sebagai Mahkamah Konstitusi”, lanjut Cak Nun.
Cak Nun mengajak Hendra salah seorang jama’ah yang berprofesi sebagai pengacara untuk menjelaskan prinsip dasar tentang hak dan kewajiban. Menurut Hendra, hak merupakan sesuatu yang dibawa dan dimiliki oleh seseorang, sedangkan kewajiban merupakan sebuah bentuk dari tanggung jawab yang ditanggung oleh seseorang terhadap pelaksanaan haknya.
Cak Nun mengerucutkan pertanyaan, “Pada posisi seperti apa seseorang memiliki hak?” Cak Nun kemudian menjelaskan dengan perumpamaan proses terbentuknya janin dalam kandungan seorang perempuan, bahwa hubungan intim antara suami dengan istri hanya merupakan sebuah proses awal. Yang dilakukan oleh sang suami adalah menanam sperma didalam ovum istrinya. Yang memiliki kemampuan menjadikan sperma itu menjadi bayi adalah Allah. Dari proses ini kita diajarkan tentang hak dan kewajiban. Ketika suami istri tadi mendapatkan haknya yaitu bayi yang dikandung oleh sang istri, maka kewajiban mereka adalah menjaga kandungan sang istri agar tetap sehat hingga bayinya lahir. Ketika bayi lahir, kewajiban pasangan suami istri tersebut akan lebih besar lagi, mulai dari memberi nama, aqiqah, mendidiknya dan seterusnya. Pada tingkatan selanjutnya, si anak yang lahir tadi memiliki kewajiban menaati kedua orang tuanya dan juga kepada Allah, karena ia merupakan produk dari pekerjaan yang melibatkan kedua orang tuanya dan Allah beserta para MalaikatNya. Seperti halnya Allah memiliki hak memberikan perintah sholat kepada manusia karena Allah yang menciptakan manusia. Seperti halnya dalam sebuah perusahaan, bahwa pemilik perusahaan hakikatnya adalah yang memiliki hak secara mutlak dalam penyusunan aturan main dalam perusahaan yang ia miliki.
“Saya punya kewajiban apa sama anda?”, Cak Nun melemparkan pertanyaan kepada jama’ah yang hadir. Cak Nun menegaskan bahwa semua yang hadir di Kenduri Cinta tidak memiliki hak dan kewajiban satu sama lain dalam Maiyah, sehingga dalam Maiyah yang terjadi adalah peristiwa Sedekah. Karena sejatinya Maiyah tidak memiliki hak dan kewajiban apa-apa terhadap jama’ah yang hadir dalam setiap forum Maiyahan di berbagai tempat. Tetapi dalam Maiyah semua dibahas secara murni berdasarkan nilai, mulai dari politik, agama, budaya, hukum, teknologi dan sebagainya. Forum Maiyah hingga saat ini melakukan kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh fihak lain yang berkewajiban melakukannya, maka nilainya adalah Sedekah.
Dalam Islam, kedudukan Sedekah tidak sama dengan jenis-jenis ibadah yang diwajibkan dalam rukun Islam, sehingga Sedekah memiliki aturan yang khusus dan juga memiliki imbalan yang juga khusus yang dipersiapkan oleh Allah bagi yang melakukannya. Tidak ada kewajiban bersedekah, namun Allah menjanjikan balasan yang berlipat-lipat bagi yang bersedekah. Meskipun demikian, bukan imbalan tersebut yang kita harapkan dari Allah, karena kita sudah harus meyakini bahwa Allah akan melaksanakan kewajibannya sebagai Tuhan disaat hambanya sudah melakukan kewajibannya terhadap ketentuanNya. Dalam perspektif nilai, Sedekah bisa memiliki posisi yang lebih tinggi dari Zakat yang merupakan salah satu kewajiban manusia dalam Islam. Orang berzakat ada aturannya, berapa jumlah yang ia zakatkan, berapa ambang batas harta yang harus dizakati dan sebagainya. Tetapi berbeda dengan Sedekah, ia merupakan peristiwa menunaikan “kewajiban” dalam dimensi yang lain. Tidak ada aturannya berapa yang harus disedekahkan, tidak ada aturannya kapan harus bersedekah. Namun yang terjadi saat ini, kebanyakan manusia bersedekah ia bertujuan agar Allah melipatgandakan apa yang ia sedekahkan, dalam Maiyah kita mengenal bahwa hal tersebut bukanlah Sedekah melainkan berdagang kepada Tuhan. Karena Sedekah tidak boleh dipaksakan peristiwanya.
Cak Nun menegaskan bahwa Kenduri Cinta tidak memiliki kewajiban apa-apa kepada jama’ah dan Bangsa Indonesia terkait pendidikan politik, agama, budaya, hukum, teknologi dan sebagainya. Tetapi di forum Kenduri Cinta semuanya saling bersinergi untuk memberikan informasi satu sama lain. Jama’ah hadir dengan ikhlas dan tanpa pamrih, begitu juga Cak Nun hadir di forum Kenduri Cinta tanpa kepentingan apa-apa, tanpa menuntut apa-apa. Forum Kenduri Cinta menyediakan media pertemuannya. Dan ini bukanlah sebuah kewajiban bagi Kenduri Cinta kepada jama’ah yang sudah hadir, karena seandainya pada suatu hari Kenduri Cinta ditiadakan, maka jama’ah pun tidak memiliki hak untuk menuntut kepada Forum Kenduri Cinta untuk diadakan.
“Anda datang ke Kenduri Cinta, ndak mbayar, dikasih kuliah intensif, datang 2-3 kali sudah cukup untuk senyum-senyum di kantor anda masing-masing, sudah punya “kesaktian” untuk tidak bisa diapusi orang, mampu memahami apa-apa secara komprehensif, akal dan fikiran anda menjadi tangguh”, lanjut Cak Nun.
Cak Nun kemudian mengingatkan bahwa manusia hanya memiliki hak dalam wilayah menanam dan menjaga tanaman yang ia tanam, ia tidak bisa menentukan tanaman itu berbuah atau tidak. Karena yang memiliki hak penuh atas tumbuh dan berbuahnya tanaman tersebut adalah Allah. “Jadi saya tidak percaya bahwa forum yang dahsyat ini, yang Allah memberi hidayah ini tidak akan melahirkan masa depan bangsa yang bercahaya”, lanjut Cak Nun.
Cak Nun kemudian memberikan perumpamaan, apabila Indonesia ini sebuah gadget perangkat elektronik yang dibutuhkan itu soft reset, hard reset atau total reset? Jika soft reset yang terjadi hanya penghapusan data-data sementara, sementara aplikasinya masih sama, system operasinya masih sama, perangkat kerasnya masih sama. Begitu juga apabila yang dilakukan adalah hard reset, mungkin aplikasi dan system operasinya bisa berubah, namun perangkat kerasnya masih sama, harddisk-nya masih sama, prosesornya masih sama. Dan apabila yang diperlukan adalah total reset, maka ini harus kita cari formulanya bersama-sama. Karena total reset bukan hanya menghapus data yang ada didalam memori penyimpanannya, bukan hanya mengganti system operasinya, namun juga mengganti perangkat kerasnya.
“Disini tidak ada pencitraan, tidak ada hiasan sedikitpun, dan kita datang kesini tidak untuk berhias-hias. Kita disini justru membuka jiwa kita selebar-lebarnya dan setulus-tulusnya, dan saya tidak yakin, saya tidak percaya kalau ketulusan dan kesucian anda itu tidak dilahirkan oleh Tuhan menjadi kejayaan masa depan bangsamu,” pungkas Cak Nun.
Cak Nun kemudian mengajak seluruh jama’ah yang hadir untuk berdiri bersama dan memasuki ruang “Shohibu Baiti”.
Forum kemudian dikembalikan kepada Mathar Kamal dkk untuk memberikan kesempatan kepada para narasumber agar merespon semua yang sudah disampaikan oleh beberapa jama’ah sebelumnya.
Narasumber yang merupakan perwakilan dari IPNU, HMI dan KASUM bergiliran memberikan responnya terhadap apa yang sudah disampaikan oleh jama’ah. Khoirul Anam dari IPNU menjelaskan, bahwa organisasi kepemudaan memiliki peran masing-masing. Terkait tentang banyaknya politikus yang terjerembab didalam kasus korupsi yang ternyata memiliki latar belakang dari organisasi kepemudaan, itu tidak bisa dihukumi bahwa itu merupakan produk 100% dari organisasi kepemudaan. Menurut Khoirul Anam, seorang koruptor harus diselidiki juga bagaimana keadaan keluarganya, apakah keluarganya mendukung proses pemberantasan korupsi atau justru keluarganya yang menjadi motivasi utamanya melakukan tindak pidana korupsi. Mengenai apa yang sudah dilakukan oleh IPNU, Khoirul Anam menjelaskan bahwa sudah banyak kader-kader IPNU yang saat ini menempuh studi S2 atas bea siswa yang diberikan oleh IPNU, ini merupakan salah satu kerja nyata IPNU dalam rangka membangun masa depan Bangsa Indonesia.
M. Arif Rosyid dari HMI menanggapi apa yang disampaikan oleh jama’ah sebelumnya. Menurutnya, yang terjadi di Indonesia adalah krisi keteladanan dan krisis integritas. Organisasi kepemudaan hanyalah satu dari sekian cara untuk mengantarkan Indonesia untuk menjadi lebih baik lagi. Menurut Rosyid juga, semua elemen bangsa memiliki peran yang sama dalam proses perubahan Indonesia menjadi lebih baik. Semangat persatuan harus dimiliki oleh kita bersama.
Khoirul Anam dari KASUM menyatakan bahwa paradigma pemuda tidak memiliki hak untuk memimpin bangsa agar segera ditinggalkan. Bahwa yang harus diutamakan dalam menentukan siapa yang memimpin adalah apakah dia orang baik atau tidak, bukan soal usia muda atau tua. Menurutnya soal siapa yang akan berkuasa juga tidak harus tergantung pada latar belakang organisasi kepemudaannya, karena kesempatan untuk memimpin bangsa ini bukan soal latar belakang organisasi, melainkan soal nilai, apakah dia memiliki nilai untuk memimpin atau tidak? Maka yang harus dirubah menurut Khoirul Anam adalah cara berfikir kita. Anam menegaskan, apapun konsep dari suatu bangsa atau Negara, ketika fikiran manusianya dipenjara atau dikekang, maka peradaban yang diharapkan tidak akan tumbuh.
Iswan yang sudah lama tidak hadir di Kenduri Cinta kemudian bercerita tentang isu rasial di Amerika Utara. Dimana orang-orang bule kulit putih seringkali meledek orang-orang kulit hitam keturunan Afrika. Iswan kemudian menceritakan bagaimana Bangsa Tamil di Srilangka saat ini sedang mengobati luka sejarah mereka sendiri. Di Philadelphia, seorang keturunan Tamil justru menjadi salah satu orang yang berpengaruh dalam penyebaran Islam di Amerika. Iswan kemudian mengkorelasikan peristiwa rasialis di Amerika dengan di Indonesia, yang terjadi di Indonesia adalah perbedaan suku bangsa seperti: Jawa, Sunda, Batak, Bugis, dan sebagainya. Menurutnya, pada saatnya nanti perbedaan tersebut bukan menjadi hal yang primer lagi untuk diperdebatkan di Indonesia. Iswan menambahkan, seandainya sosok Ahok itu muncul di tahun 80-an, sangat tidak mungkin dia bisa menjadi seorang Gubernur di Indonesia. Seharusnya, tidak ada lagi kebencian antar suku dan ras di muka bumi ini, karena perbedaan itu adalah sunnatullah. Setiap manusia tidak bisa memilih dia akan lahir menjadi Jawa atau Sunda. Yang sekarang seharusnya dibicarakan bersama adalah bagaimana agar perbedaan-perbedaan itu memberikan manfaat bagi manusia yang lainnya.
Menurut Iswan, peran Organisasi Kepemudaan sangat penting sekali dalam rangka pemberantasan perasaan berbeda antar suku, dalam konteks organisasi para aktivis yang ada di dalam organisasi tersebut memiliki peran yang sangat penting untuk mengeliminir perbedaan diantara organisasi tersebut. Iswan mengingatkan kepada para aktivis, agar jangan terlalu idealis dalam berbicara, karena sudah banyak sekali contohnya dimana apa yang sudah diucapkan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Sudah banyak sekali contoh politisi yang mengatakan berantas korupsi namun justru saat ini mereka menjadi salah satu tahanan KPK.
Iswan memberikan masukan kepada para pemuda agar membangun kompetensi, jangan terbuai berlama-lama aktif di organisasi kepemudaan atau LSM, kecuali anda memiliki rasa kecintaan yang sama seperti seorang seniman mencintai kesenian.
Amsar kemudian menambahkan agar lebih baik saat ini kita membicarakan potensi kita masing-masing dan bersepakat untuk melakukan apapun saja yang terbaik untuk membangun bangsa bersama-sama. Menurut Amsar, Kenduri Cinta hanyalah sebuah media untuk memulai langkah tersebut, sehingga tidak perduli apapun organisasinya yang paling penting adalah outputnya. Sehingga apabila dikemudian hari harus masuk ke dalam struktur pemerintahan, yang ada di benak pemuda adalah merubah pemerintahan menjadi lebih baik.
Annisa Arumningtyas kemudian membawakan nomor lawas “Berita Cuaca” milik Gombloh dan Medley “Nusantara” karya Koes Plus. Kemudian secara bergantian Kelompok wayang Urban dan 4 Week End Band menampilkan beberapa nomor untuk lebih menghangatkan suasana.
Sesi Ketiga
Cak Nun kemudian merangkum semua apa yang sudah dipaparkan oleh para narasumber dan jama’ah yang sudha berpartisipasi dalam diskusi sebelumnya.
“Tuhan itu menciptakan jodoh, jadi kalau anda berbuat baik jodohnya adalah berkah, kalau anda berbuat dhzolim jodohnya adalah adzab. Jangan gampang melakukan keburukan karena nanti akan ketemu jodohnya. Anda juga jangan pernah merasa sombong, merasa menang, jangan merasa sudah beres, karena setiap yang anda alami setiap hari akan ketemu jodohnya. Jadi mari kita detail dalam setiap yang kita lakukan karena dia akan berjodoh. Karena jodoh adalah perimbangan atau penyeimbang”, lanjut Cak Nun.
Dalam Al Qur’an terdapat ayat waman ya’mal mitsqolla dzarrotin khoiron yaroohu, waman ya’mal mitsqolla dzarrotin sarron yaroohu. Dalam istilah Jawa terdapat analogi ngunduh wohing pakarti atau jer basuki mawa bea. Dan ada banyak lagi istilah-istilah serupa dalam bahasa yang lain. Apabila menggunakan istilah Jawa jer basuki mawa bea, Cak Nun menjelaskan bahwa yang terjadi di Kenduri Cinta ini adalah mawa bea jer basuki. Karena jama’ah yang datang di forum Kenduri Cinta sudah membayar kepada Allah dengan keikhlasan, datang ke Kenduri Cinta untuk kerinduan yang sama. Maka apabila menggunakan prinsip jodoh tadi maka yang harus kita pupuk sekarang adalah keyakinan bahwa semua pengorbanan ini akan dipertemukan jodohnya. Bisa saja jodohnya adalah kemudahan dalam hidup, menemukan solusi ketika dipertemukan dengan sebuah masalah. Namun jangan mencari kemudahan di Kenduri Cinta, karena kemudahan itu merupakan imbalan yang merupakan hak prerogatif Allah kepada kita. “Jadi, janjinya Tuhan jangan dijanjikan janjinya manusia”, lanjut Cak Nun.
Cak Nun kemudian bercerita awal mula melakukan pertemuan dengan rakyat, yaitu sekitar tahun 1972. Sedangkan bersama KiaiKanjeng dimulai sejak tahun 1996. “Yang saya syukuri adalah saya tidak pernah menagih apa-apa, tidak pernah berharap apa-apa, tidak pernah menuntut apa-apa. Saya tidak pernah bertransaksi untuk hal ini”, lanjut Cak Nun.
Cak Nun mengingatkan bahwa dalam kehidupan manusia diajari bagaimana menyusun kepingan-kepingan puzzle kenikmatan dan penderitaan. Apabila detik ini kita mendapatkan uang 100 ribu, maka kita harus mampu mengolahnya untuk menimati uang tersebut. Meskipun pada detik selanjutnya kita boleh bercita-cita untuk mendapatkan uang sebanyak satu juta. Tetapi pada saat kita mendapatkan 100 ribu, kita jangan memaksakan diri untuk berkhayal menikmati uang satu juta karena yang akan terjadi adalah justru keburukan, uang 100 ribu rasanya tidak enak dan uang satu juta tidak dapat dirasakan karena uang yang dimiliki memang hanya 100 ribu. Jika sedang menikmati tempe jangan berkhayal sedang menikmati sop buntut.
“Penderitaan itu anda perlukan. Tidak ada bayi yang lahir tanpa penderitaan ibunya”, lanjut Cak Nun. Bahwa semua yang dirasakan oleh manusia sejatinya manusia memiliki sedikit hak untuk menentukan, meskipun tetap Allah lah yang memiliki hak yang lebih banyak. Semakin kita serung mengeluh, semakin kita akrab dengan penderitaan.
Cak Nun kemudian bercerita pengalaman keluarga dimana Ibunya merupakan orang yang sangat dermawan. Seorang Ibu yang mendidik Cak Nun dalam kesederhanaan. Inti dari cerita yang disampaikan Cak Nun adalah pentingnya Ibu sebagai motivasi dalam hidup. Cak Nun kemudian bercerita bagaimana menyelesaikan studi SMA karena demi Ibu. “Kalau ibu yang harus saya bela, saya harus disuruh apapun saya mau. Saya malu kayak apapun saya mau, saya kehilangan martabat saya mau. Saya kehilangan apapun, saya mau”, ungkap Cak Nun.
Kita harus mampu merubah cara berfikir kita. Setiap orang memiliki kebenarannya masing-masing sepanjang ia tidak dibenturkan dengan kebenaran orang lain. “Orang Jawa harus jadi orang Jawa, orang Sunda harus jadi orang Sunda. Jangan menjadi orang lain”, tegas Cak Nun. Seperti halnya dalam makanan gado-gado, semua elemen dalam makanan tersebut penting dan harus menjadi dirinya sendiri. Tidak akan enak gado-gado yang dibikin dari kacang yang bukan kacang yang asli. Begitu juga kubis, lontong, tauge, dan sebagainya. Apabila yang digunakan bukan yang sebenarnya, maka gado-gado menjadi tidak enak. Begitu juga dengan Indonesia, bahwa ada Jawa, Sunda, Batak, Betawi, Bugis dan sebagainya itu merupakan elemen yang saling melengkapi satu sama lain. Jangan sampai ada konflik antara satu dengan yang lainnya, merasa lebih unggul antara satu dan yang lainnya.
Wardi SH. kemudian menjelaskan tentang Bhinneka Tunggal Ika. Istilah ini berasal dari Kitab Sutasoma. Bhinneka artinya beraneka ragam, sedangkan Tunggal maksudnya adalah padu dan tidak bisa dipisahkan. Sedangkan Ika maksudnya adalah menjadi satu. Sehingga Bhinneka Tunggal Ika maksudnya adalah berbeda-beda namun tetap satu.
“Kalau kepada Allah itu 100%, tetapi kepada ilmu yang baru anda temukan anda tidak boleh 100%. Seluruh yang saya ketahui mengenai apa yang saya yakini benar itu belum tentu benar. Jadi saya tidak akan mempertahankan apa yang saya yakini benar, karena saya mungkin akan mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi lagi”, Cak Nun mengingatkan agar jama’ah jangan terlalu keras mempertahankan apapun tentang ilmu pengetahuan. Karena sejatinya hanya Allah yang memiliki hak 100% untuk menentukan kebenaran suatu ilmu. Cak Nun juga menegaskan bahwa apa yang sudah dipaparkan oleh para narasumber tidak harus disepakati bersama di forum Kenduri Cinta kali ini.
Menurut Cak Nun, pertentangan itu boleh didramatisir, karena pada saatnya nanti kita akan menemukan kesepakatan-kesepakatan yang baru. Dan terkait ilmu apapun, setiap orang boleh memiliki tafsiran masing-masing karena itu merupakan hasil dari ijtihad pribadi masing-masing dan merupakan kebenaran pribadi masing-masing. Seperti halnya perdebatan tentang bagaimana bunyi kokok ayam dimana setiap orang memiliki tafsiran yang berbeda padahal kokok ayam yang benar adalah yang keluar dari mulut ayam itu sendiri.
Cak Nun mengajak jama’ah untuk lebih memaknai Adzan dalam setiap waktu sholat. Kalimat “Allahu Akbar” merupakan kalimat representasi kekaguman manusia atas semua ciptaan Allah. Karena apabila kita sudah menemukan ketakjuban atas Allah maka hidup kita akan mengalami hal yang berbeda, dan kita tidak akan kagum atas hal-hal yang sekunder di dunia ini. Maka ketika mendengar Adzan sebaiknya kita memanfaatkannya untuk memasuki ruang ketakjuban atas semua yang Alalh ciptakan di dunia ini. Ketika kita mendengar muadzin mengucapkan “Allahu Akbar”, maka sebaiknya kita pula melafalkan kalimat tersebut, minimal dalam hati kita sembari mensyukuri ketakjuban-ketakjuban yang sudah Allah perlihatkan kepada kita.
Kalimat syahadat dalam Adzan itu sendiri merupakan penegasan ketakjuban diri kita kepada Allah. Dan kita harus memahami bahwa syahadat merupakan persyaratan administrasi kita dalam persaksian terhadap Allah, karena kita hidup setelah zaman Nabi Muhammad SAW maka syahadat yang harus kita ucapkan merupakan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah (Rasulullah).
Setelah kita melegitimasi ketakjuban dan kesaksian kepada Allah, maka kalimat Hayya ‘Ala-sh-Sholaah merupakan kalimat resepsi percintaan antara manusia dengan Allah. Setelah itu manusia memiliki hak untuk menuju kemenangan seperti yang tersirat dalam kalimat Hayya ‘Ala-l-Falaah. Karena manusia sudah melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah dengan melaksanakan sholat, maka hak-nya sebagai hamba adalah kemenangan. Pada dimensi selanjutnya, manusia menyambut ketakjuban kedua dengan kalimat “Allahu Akbar” setelah manusia itu mencapai kemenangan yang sejati.
Di puncak acara Cak Nun mengingatkan bahwa jama’ah untuk tidak taat kepada Cak Nun. Bahwa yang harus ditaati di dunia ini adalah Allah. Soal mentaati Allah melalui wacana yang diberikan oleh Cak Nun itu merupakan sebuah pilihan masing-masing setiap jama’ah maiyah sendiri. Karena Maiyah hanyalah salah satu jalan untuk mencapai ketaatan kepada Tuhan. Dan Maiyah sendiri merupakan sebuah elemen yang sangat cair dimana setiap jama’ah berhak mengambil keputusan sendiri, karena sejatinya manusia lahir sendiri dan akan mati juga dalam keadaan sendiri. “Saya ingin tegaskan kepada anda, bukan hanya anda tidak harus taat, kalau perlu anda tidak boleh taat kepada saya,” tegas Cak Nun.
Kenduri Cinta edisi September 2014 dipuncaki dengan menyanyikan bersama “Padamu Negeri” dan do’a bersama yang dipimpin oleh Cak Nun. [Red KC/Fahmi Agustian]