Pernikahan, Nada Kegembiraan dan Peradaban

Maiyah sudah selesai dengan Indonesia, tidak lagi terpengaruh dengan karut-marut dan hiruk-pikuknya. Maiyah tetap berbuat dan kalau sesekali dari Maiyah lahir lontaran-lontaran, kritik atau masukan itu adalah bentuk shodaqoh Maiyah terhadap so called negara tersebut. Maiyah sudah meng-a’izzah ala NKRI. Apa yang dilakukan di Maiyah berlandaskan kasih sayang, bukan atas nafsu penaklukkan bertalbis menjadi gelembung-gelembung kecil yang saling berbenturan. Maiyah telah melampaui hal tersebut sekian juta tahun cahaya.

Itu adalah kesimpulan saya terutama sejak membaca Haluan Baru Jamaah Maiyah, dan buat saya begitulah sejati-jatinya nasionalisme. Rasanya kesimpulan saya itu bertambah kuat ketika yang saya dapati di majlis Mocopat Syafaat bulan September 2017 ini lebih banyak diisi dengan kemesraan, canda tawa, keindahan nada serta bagaimana membangun konstuksi logika yang kokoh dan kewaspadaan dalam menyerap informasi.
Pembahasan mengenai silang sengkarut persoalan di negeri ini hanya dirangkum dengan padat oleh Mbah Nun dalam sebuah kisah yang didapat dari KC kemudian di-‘Madura’-kan. Selebihnya, hampir tidak ada lagi pembahasan mengenai politik atau negara. Tentu, ini bukan tidak peduli pada Indonesia, bahkan ini adalah kepedulian tingkat paling puncak.
Minggu malam itu kota Jogja padat beringus, maaf, maksudnya jalanan sedikit padat dan saya sedikit pilek ketika saya menuju ke lokasi TKIT Alhamdulillah, di Tamantrito, Kasihan, Bantul. Saya tiba sekitar pukul 20.30 WIB, Knight of Cydonia bergema di telinga, sealbum Black Hole and Revelations nya MUSE memang saya setel untuk menemani perjalanan.
“And how can we win
When fools can be kings
Don’t waste your time
Or time will waste you…”
Putus asa sekali, headshet saya lepas begitu sampai di parkiran. Belum ada sesiapa di panggung, suara yang datang dari pengeras suara adalah lagu-lagu KiaiKanjeng dan petuah-petuah cinta Mbah Nun yang bila saya tidak keliru ada di “Orong-Orong dan Ilmu Kesejatian”. Setting nuansa batinpun langsung berubah.
Sudah setengah gelas kopi, dua batang rokok dan beberapa sapaan dari sedulur-sedulur JM ketika dari panggung sebuah band akustik dengan tambahan bunyi gamelan menghibur jamaah. “Ini band Adakalanya” begitu saya simpulkan.
Saya kenal suara khasnya, beberapa lagunya yang puitis-jenaka-sederhana juga berkesan tapi lebih dari itu semua, yang tidak dimiliki oleh grup band lain adalah kemampuan mereka mengaransemen nuansa (dan) sunyi. Sudah lama saya ingin menulis mengenai grup band ini, karena kemampuan serupa terakhir di negeri ini mungkin hanya dimiliki oleh grup Gombloh and Lemon Trees Anno 69. Sejak pertama kali menyaksikan mereka tampil, saya sangat yakin bahwa dunia musik Indonesia akan rugi besar bila tidak memberi tempat pada band ini dengan kreatifitasnya. Tapi tanpa industri musik Indonesia, Adakalanya justru beruntung karena mereka tetap dengan kemerdekaan ide mereka sendiri.
Ternyata saya salah! “Yang sedang tampil itu Jodhokemil…”, begitu isi pesan WA dari Mas Helmi. Ternyata Adakalanya yang pernah saya tonton sudah berevolusi menjadi Jodhokemil. Rupanya saya mengalami bias dalam menyerap infomasi, bias yang sering kita alami karena kita ke-pede-an merasa sudah tahu, sudah faham, sehingga informasi-informasi yang dengan gamblang terpapar dihadapan kita lantas terabaikan.
Bias dalam menyerap informasi inilah yang menjadi titik fokus pembahasan ketika setelah Adakala… Maaf! Jodhokemil maksud saya, selesai menghibur jamaah. Mas Sabrang mengambil alih panggung dan membuka sesi awal.
Dalam sesi pembuka Mas Sabrang melambari atmosfernya, bahwa dalam sesi ini apa yang dibicarakan dan dibahas adalah dari jamaah sendiri. Pertanyaan atau sanggahan boleh disampaikan sewaktu-waktu tanpa menunggu sesi tanya-jawab dimulai. Pembahasan pun bermula dari seorang jamaah yang bertanya mengenai arus waktu “apakah kita berjalan maju atau mundur?”
Bahwa kita berada pada dimensi ‘ruang yang mewaktu’ maka itulah sebutannya ruang dan waktu. Kita manusia, tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berada pada dimensi ‘waktu yang me-ruang’ pada dimensi ini kita memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam hal apapun.
Dari sinilah, untuk memudahkan pemahaman Mas Sabrang mengajak jamaah pada permainan-permainan kecil, semacam workshop untuk menyadari keterbatasan kita dalam menyerap informasi disekitar. Seringnya, informasi kita bias karena kita merasa sudah tahu dan paham, kurang waspada sehingga informasi yang tersaji utuh hanya kita tangkap sepotong-sepotong.

Tentu beberapa nomer Letto juga ikut disertakan mewarnai sesi ini. Dari soal bias terhadap informasi, kemudian soal proses kreatif tentang menyerap, meledakkan dan menata.
Kisah Izroil dan Kiai Madura, Sekilas Mengenai Indonesia
Malaikat Izroil mendapat tugas untuk mencabut nyawa sepuluh orang yang ada dalam list-nya. Hanya saja, nama pertama adalah seorang Kiai Madura yang cukup dihormati, Mat Taqi namanya. Karenanya Izroil sowan dulu ke Mat Taqi tersebut, bertamu secara baik-baik dan menyampaikan tugas yang diembannya. Mat Taqi terkejut mendapat tamu Izroil, lebih kaget lagi ketika mengetahui bahwa namanya berada dalam daftar Izroil. Berarti ajalnya sudah dekat. Mat Taqi pun mencoba mengulur waktu meminta waktu tambahan sekitar setengah jam pada Izroil. Waktu setengah jam–yang tentu saja atas persetujuan Izroil sendiri–dimanfaatkan Mat Taqi untuk menyajikan minuman yang sudah dicampur obat bius. “Lumayan bisa nambah jatah waktu beberapa jam” pikir Kiai tersebut.
Namun setelah Izroil tertidur, Mat Taqi mendapat ide baru. Supaya kuota waktunya bertambah maka Mat Taqi pun merubah urut-urutan dalam list yang dibawa Izroil, membalik urutannya sehingga nama Mat Taqi berada pada urutan terbawah. Untuk menambah kesan pencitraan sebagai Kiai yang bijak, dia pun membangunkan Izroil dan berpura-pura mengingatkan soal tugas suci yang diemban si malaikat maut itu. Izroil kaget, karena rupanya dia sudah tertidur beberapa jam.
Izroil sangat berterima kasih karena Mat Taqi baik hati telah mengingatkan akan tugasnya. Maka untuk membalas jasa Pak Kiai, Izroil pun berinisiatif membalik daftar nama dalam list tersebut dari yang paling bawah ke atas.
Dengan satu kisah itu Mbah Nun memaparkan bahwa hal serupa Pak Kiai vs Izroil ini pula yang sedang terjadi di negeri ini dengan gelembung-gelebung kecil didalamnya yang saling berusaha menyingkirkan satu sama lain wa bil khususon Mbah Nun mengungkapkan dalam kasus KPK vs Pansus Hak Angket. OTT yang dilakukan belakangan ini sekadar pembalikan dari list ‘ajal’ itu saja, dan yang membalik juga kepentingannya tidak benar-benar serius untuk mencegah terjadinya korupsi.
Tepat saat malam tanggal 17 itu juga di ibu kota negri seberang sedang terjadi ketegangan yang dipicu oleh sentimen lawas mengenai sejarah 65.

JM rasanya sudah cukup dewasa untuk tidak terlalu larut dalam pertikaian-pertikaian yang ada dengan menyadari bahwa kubu-kubu dan kelompok yang saling beritegang itu juga menyimpan kepentingan dan kesumat maing-masing.
Pengantin Nada Simfoni Kegembiraan
Kisah di atas disampaikan Mbah Nun ketika baru beberapa saat di panggung, setelah lagu Syukaro dan Ghonilly dinyanyikan oleh seorang pria “bule” yang ternyata bernama Aboud Nasser Agha. Beliau seorang pria kelahiran Syria yang sejak tahun 1998 tinggal di US dan konsentrasi dalam mempelajari bidang etnomusikologi.
Selanjutnya lebih banyak kita diajak menggali khasanah-khasanah nada Timur Tengah, bagaimana barisan nada berjalan melintasi zaman dan kebudayaan. Seperti kata, nada pun memiliki alur sejarah dan genealoginya sendiri.
Etnomusikologi, menurut Mr Nasser adalah bidang yang mempelajari hubungan antara nada musik dengan kebudayaan, Mr Nasser sendiri tertarik dengan musik Timur Tengah dan Islam. Terutama di Indoneia beliau merasa nada Timur Tengah selalu berkaitan dengan komunitas muslim.
Sebagaimana nada dan kebudayaan bisa bertemu, mesra dan berpuncak pada perkawinan. Malam ini juga oleh Mbah Nun ditasbihkan sebagai malam pengantin baru. Sebagaimana kita tahu Mas Imam Fatawi baru saja sukses melangsungkan pernikahan dengan pilihan hatinya.
Ibu Novia bersukarela menjadi moderator untuk perkenalan pengantin baru ini. Pasangan yang sedang berbunga-bunga ini pun diberi kesempatan memperkenalkan diri yang kemudian dilanjutkan dengan setiap personel KiaiKanjeng dan Letto memberi pesan-pesan, petuah, pitutur pada pasangan tersebut; yang pada praktiknya lebih sering berujung dengan candaan, pesan-ledekan mesra dan tawa bahagia.
Begitu pasangan pengantin baru, berbahagia seperti itu pula Mr Nasser yang berkesempatan hadir di MS. Karena memang sudah sejak lama beliau tertarik dengan musik-musik Kiai Kanjeng.

Mr Nasser menjelaskan bahwa musik Arab tidak sesederhana yang dibayangkan, karena budaya Arab sendiri terdiri dari ‘perkawinan’ 22 jenis bangsa. Sehingga nada Arab di setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing. Lagu-lagu yang dibawakan di awal misalnya, Ghonilly, Sukaro dan lainnya walau secara lirik kita sudah akrab namun memang nadanya terasa asing. Ini karena Mr Nasser membawakannya dengan nada Suriah. Dilanjutkan oleh Mr Nasser, sejauh yang diamatinya di sini, yang disebut nada dan lagu Arab sebenarnya didominasi oleh nada Yaman, karena ini berkaitan dengan persebaran melalui laut kalaupun ada sedikit variasi paling banter adalah nada Mesir.
Mr Nasser dipersilakan untuk melantunkan lagu yang asli dari daerah kelahirannya di Aleppo. Tidak butuh waktu lama, dan hanya dengan sedikit tambahan masukan dari Mr Nasser mengenai hentakan tempo, para personel KiaiKanjeng lantas mengiringi lantunan lagu tersebut.
Mbah Nun menambahkan dua poin. Pertama bahwa memang budaya Arab di sini adalah Arab Yaman maka memang pembacaan Mr Nasser tepat adanya. Ini juga menjelaskan karakteristik Islam yang masuk, yang lebih dekat pada seni dan kebudayaan. Hampir seluruh habaib yang dihormati di sini adalah keturunan Yaman. Point kedua, bahwa KiaiKanjeng sebenarnya didominasi oleh manusia-manusia yang tidak berlatar belakang musik secara profesional.
Kekaguman Mr Nasser pun makin bertambah mendengarnya, baginya Kiai Kanjeng merupakan kelompok yang sangat lihai dan memiliki kualitas musikal yang tinggi. Mbah Nun menjelaskan, dalam KiaiKanjeng ada manusia seperti Pak Nevi yang kemerdekaannya harus diimbangi dengan disiplin musik akademis seperti Pak Ari Blotong. Maka komposisi personel KiaiKanjeng sesungguhnya adalah aransemen tersendiri pula.
Entah karena banyaknya kegembiraan, canda dan tawa malam ini, ketika acara berakhir menjelang subuh, gejala pilek yang saya bawa dari rumah sudah tidak terasa lagi.
Majelis ilmu dan kemesraan Mocopat Syafaat malam itu memang bertabur nada, canda tawa dan pernikahan yang mengantar pada gerbang peradaban baru dihadapan kita. (MZ Fadil)