CakNun.com

KiaiKanjeng dan Jazz itu Tidak Penting

Tidak beranjaknya satupun penonton pada pementasan Jazz 7 Langit di Taman Budaya Yogyakarta 3 Oktober 2013 lalu mengajarkan satu hikmah bahwa apapun kegiatan atau tindakan, kalau diniati untuk tujuan ruhaniah, maka akan menghasilkan keterjalinan satu hubungan batin yang sangat akrab. Sesungguhnya mereka yang hadir dalam konser Jazz 7 Langit tersebut tidak tepat kalau disebut penonton, karena memang mereka tidak sedang dalam posisi menonton, tapi tepatnya adalah silaturahmi batin di antara mereka.

Beben Jazz dan Kiai Kanjeng tidak dalam posisi berbisnis entertainment yang menguras energi penikmatnya seperti layaknya grup-grup band terkenal di tanah air, namun sedang menyampaikan nilai-nilai ruhaniah melalui jazz. Jadi jazz hanyalah sekadar “media” saja, namun muatannya adalah isi batiniah yang paling dalam. Karenanya dapat dipahami jika penikmat jazz malam itu juga tidak juga beranjak karena mereka sedang berbagi taburan nilai-nilai ruhaniah ini.

Orang boleh saja berpendapat bahwa mereka bukan sedang menikmati jazz,  namun sedang bersetia kawan terhadap Cak Nun dan Kiai kanjeng yang selama ini sudah memiliki ikatan batin yang dalam, khususnya dengan masyarakat Yogyakarta. Namun jika melihat ada beberapa bule yang terus memberikan applaus kepada penampilan Kiai Kanjeng, maka ini berarti Beben Jazz dan Kiai Kanjeng juga mampu menabur kesetiaan dan nilai-nilai ruhaniah itu sehingga si bule tersebut akhirnya tersedot masuk dalam lingkaran “galaksinya maiyah”.

Kalau pun benar kata Cak Nun bahwa 80 % dari mereka bukanlah penikmat jazz, apalagi mengerti jazz, justru kita harus berucap alhamdulillah. Sederhana saja alasannya, karena Kiai Kanjeng dan Jazz itu sebenarnya tidak penting. Kalau mereka tidak mengerti jazz, namun bersedia dan ikhlas “menonton” pementasan jazz-nya KK, berarti mereka adalah para “salikin”, mereka sedang mencari sesuatu “dibalik” jazz, sadar atau tidak. Hidup adalah adalah proses pencarian, dan Allah pun tidak “mewajibkan” orang untuk menghasilkan outcome, namun yang yang penting, “jalanlah dengan lurus” (ihdinas shirotol mustaqim).

Sikap ikhlas adalah salah satu puncak pencapaian “makrifat’ yang tertinggi, karena untuk mencapai tataran ini, setidaknya banyak tahapan, mulai dari taubat, setia kepada Allah, hanya mencari ridloNya saja, dan seterusnya. Sadar atau tidak, orang-orang jazz seperti KK-Beben dkk, adalah type orang yang bersetia, terutama jika dikaitkan dengan kondisi dunia hiburan di tanah air. Beben dkk tidak dalam posisi bisnis hiburan, namun mereka sedang menikmati kesetiaannya kepada satu perasaan yang sulit diungkapkan. Dan dalam sejarahnya, jazz juga lahir dari letupan perasaan yang paling dalam. Jazz tidak lahir dari jawaban atas permintaan “pasar” bisnis hiburan. Karenanya, jazz bukan sekadar musik, apalagi aliran, karena  dengan komposisi maupun improvisasi tertentu, yang merefleksikan melodi-melodi secara spontan, para musisi jazz juga sedang mengekspresikan perasaannya.

Para musisi sadar bahwa bermain jazz tidak menjanjikan keuntungan materi jika dibandingkan dia mau menuruti selera pasar yang lebih condong kepada hasrat meluapkan, melampiaskan, menguasai, bahkan merusak alam. Sebaliknya musisi jazz berada dalam posisi melayani dan menampung. Duet Ina Kamarie dan Imam Fatawi malam itu, misalnya, sanggup menunjukkan satu komposisi unik karena keduanya berada dalam tingkat kesadaran saling melayani dan menampung. Ina Kamarie tidak akan “alergi” terhadap (misalnya)  “cengkok” Imam yang lebih condong ke dangdut dan sebaliknya. Ini adalah salah satu sifat Allah.

Spontanitas jazz adalah ungkapan rasa jujur yang paling dalam. Jazz tidak bisa berpura-pura. Bandingkan dengan penikmat dangdut. Dia bisa saja berpura-pura ketika misalnya berjoget ria, padahal tema lagunya tentang gelandangan, siksa kubur, kiamat, orang buta, putus cinta, gubug derita dsb. Ini yang salah bukan lagu dangdutnya, namun sikap hidup para penikmatnya.

Karenanya, orang tidak bisa menanyakan apa itu jazz, karena memang ini susah dijelaskan, sama halnya orang bertanya tentang apa itu lombok. Jawaban yang paling mudah adalah mencolokkan lombok ke mulut si penanya agar merasakan pedasnya. Jazz harus dirasakan dalam hati. “Kalau kau menanyakannya, kau tak akan pernah tahu” begitu menurut Louis Armstrong, salah satu legenda jazz. Bahkan ketika para musisi jazz sudah terbawa musik mereka, jazz bebop akan memberikan sebuah improvisasi yang bersifat spontan sehingga para musisi bahkan mungkin tidak akan bisa mengulang improvisasi mereka dari awal hingga akhir.

Penambahan kompleksitas dari melody yang dimainkan juga merupakan tren baru yang terdapat dalam jazz era bebop. Karena penuh improvisasi, orang tidak akan dapat memainkan jazz persis seperti dimainkan sebelumnya. Demikian pula varian jazz lainnya seperti dixieland dan ragtime, kemudian ada swing dan bigband (1930-1940), bebop (pertengahan 1940), latin jazz (1950-1960an), jazz rock atau fusion (1970-an) dan perkembangan terakhir yang melahirkan fase dan era baru seperti acid jazz, funk jazz, cross music dan sebagainya.

Apa yang ditampilkan Beben Jazz dan Kiai Kanjeng pada malam itu menunjukkan bahwa maestro jazz ini adalah orang Jawa (Nusantara). Para musisi seperti Dizzy Gillespie, Bud Powell, Charlie Parker, Thelonious Monk, dst, yang notabene yang sangat terinspirasi dari generasi sebelumnya seperti Art Tatum, Ear hines, Coleman Hawkins, Lester Young, dan juga Roy Eldridge, boleh saja mengklaim yang melahirkan musik jazz. Namun sikap “nge-jazz”, sudah menjadi bagian hidup orang Jawa.

Kekayaan jenis bahasa, makanan, minuman, tembang-tembang dan tariannya, semuanya sangat “jazzy”, demikian pula sikap hidupnya. Tembang-tembang seperti  : Megatruh, Maskumambang, Dandanggulo, Sinom, Pocung, dst, masing-masing memiliki karakteristik yang unik. Demikian pula perangkat gamelan Jawa bisa untuk “nge-jazz”, sebaliknya alat musik Barat tidak bisa memainkan musik Jawa. Lidah orang Jawa akan dengan mudah menyesuaikan lidah Barat dalam “nge-jazz”, sebaliknya lidah Barat akan lebih sulit mempelajari tembang Jawa dengan cengkok-nya yang khas, apalagi tariannya.

Jika ruh jazz adalah improvisasi, maka improvisasi sikap, hidup, dan kehidupan orang Jawa sudah lebih dari tataran maestro. Filosofi Jawa “urip mung mampir ngombe”, akan melahirkan jutaan varian improvisasi dalam menghadapi hidup. Demikian pula filosofi “manunggaling kawulo gusti”, dst. Nilai-nilai Islam lebih mudah masuk ke Jawa karena nilai-nilai budayanya tak jauh berbeda, karena inti Islam adalah ajaran tauhid.

Penampilan Kiai Kanjeng yang memainkan lagu-lagu dolanan seperti Gundul-gundul Pacul akan lebih mudah di”jazz”kan, karena nilai ajaran lagu dolanan tersebut juga sangat tinggi. Meski hanya beberapa bait, namun jika ditafsirkan dengan “improvisasi”, lagu dolanan tersebut akan menghasilkan berjilid-jilid buku tentang ketatanegaraan, ekonomi, kesejahteraan, dan sebagainya.

Itulah sebabnya Kiai Kanjeng demikian mudahnya mengaransirnya karena memang sejak dari lahir mereka sudah ditakdirkan “nge-jazz”. Kalau musisi jazz seperti Miles Davies, Duke Erlington, atau musisi sebelumnya harus “tertekan” dulu dalam situasi tertentu baru bisa “nge-jazz”, sebaliknya Kiai Kanjeng sejak lahir setiap gerak langkah, ucapan dan sikap batinnya sudah “nge-jazz”, bahkan sejak dalam kandungan. Karenanya tidak mengherankan jika kuartet penabuh saron, demikian kompak dan detail dalam memainkan alat musik tersebut. Mulai dari ketukan dan kekompakan yang tidak terlambat sepersekian detik pun, sampai sudut kemiringan posisi alat pemukul saron ke lempeng-lempeng besi tersebut sehingga menghasilkan bunyi yang sama. Kondisi seperti ini dapat terjadi karena mereka berangkatnya dari titik yang sama, yakni hati.

Kalau era Bipo dianggap sebagai revolusi music jazz yang paling menarik dan indah, maka komposisi jazz yang dimainkan Kiai Kanjeng sudah melampaui era revolusioner tersebut karena mematangkan apa yang sudah dimiliki musik Barat. Bebop dianggap menggambarkan perubahan drastis dari musik jazz era swing dengan karakter tempo cepat, phrase yang asimetrik, melodi yang penuh dengan intrik, dan ritme yang benar-benar diubah secara drastis. Bebop sering tampak sebagai musik yang nervous dan sering terputus dan terbagi, sebaliknya Kiai Kanjeng mampu menampung semuanya sehingga setiap bunyi pukulan di saron akan menghasilkan getaran-getaran “spiritual” tertentu yang membikin hati ini merinding dan hanya teringat kepada Allah. Ini artinya, berbeda dengan Bibop, Kiai Kanjeng selain menampilkan revolusi musik jazz yang paling menarik dan indah, juga menggetarkan jiwa dan mengantarkannya kepada kesadaran keilahian yang tinggi. Ini adalah salah satu puncak revolusi musik.

Itulah rahasianya kenapa Kiai Kanjeng selalu menaburi kekayaan batin kepada setiap “penonton” yang setia kepadanya, karena niatnya bukan sedang dalam posisi berbisnis pertunjukkan musik, namun hanya sekadar menggunakan instrumen gamelan untuk mengantarkan manusia kepada Tuhannya. Itulah sebabnya pula Kiai kanjeng selalu dijaga Allah karena memang Allah-lah “partner” dalam “ber-jam session”nya. Allah sendiri juga “maha nge-jazz”, penuh “improvisasi” dalam menaburkan rahmad-Nya. Yang didahulukan taburan untuk semua orang (rahman) baru membeeri barokah kepada hambanya yang mau “ber-improvisasi”, bersetia, istiqomah.

Watak jazz adalah memberi tempat kepada setiap instrumen musik untuk menampilkan diri. Mereka boleh improvisasi apa saja, yang penting muaranya adalah harmoni. Ini adalah tauhid. Ibarat jazz itu agama, maka improvisasinya adalah aliran. Satu improvisasi tidak boleh dan tidak berhak mengklaim yang paling baik, paling indah, dan paling benar nadanya, karena semuanya memiliki tempat masing-masing. Jadi kalau aliran dalam agama atau mashab dan sebagainya masih terkotak dalam klaim kebenaran, maka mereka belum nge-jazz.

Karenanya Kiai Kanjeng dan jazz itu tidak penting karena mereka hanya sebagai “media” yang mengantarkan kepada hikmah dan kearifan. Artinya musik tidak hanya berbicara soal indah, namun juga baik dan benar dan puncaknya kearifan.

Lainnya

Belajar kepada Orang Barat

Belajar kepada Orang Barat

Saya banyak sekali belajar kepada Mas Ian Leonard Betts. Saya belajar kepada Pendeta Art Vilberg selama keliling 19 kota Belanda dengan KiaiKanjeng.