Wajah Materialisasi Pendidikan

Usai membaca tulisan Materialisasi Manusia, kita menemukan kerangka berpikir yang menarik untuk digunakan sebagai cara pandang membaca kahanan. Kita melakukan riset sederhana tentang praktik pendidikan dan materialisasi yang berlangsung di dalamnya.
Salah satu gejala paling mencolok dari kemerosotan makna pendidikan hari ini adalah manipulasi semantik — ketika kata pendidikan masih sering diucapkan, tetapi isinya digantikan oleh sesuatu yang sama sekali berbeda. Kita hidup pada masa ketika substansi digeser oleh simbol, ketika nilai digantikan oleh merek, dan ketika proses belajar yang sejati dikalahkan oleh citra keberhasilan yang bisa difoto dan dijual.
Apa yang seharusnya menjadi tanda bahwa sekolah sebagai bagian dari praktik pendidikan dinilai baik dan berkualitas? Seharusnya, kita menilai dari kejujuran intelektual para siswanya — apakah mereka belajar dengan tulus, bukan sekadar mengejar angka? Dari integritas para gurunya — apakah mereka mengajar sesuai hati nurani dan prinsip pedagogi, bukan karena tekanan dari manajemen atau tuntutan orang tua?
Dari tumbuhnya empati sosial, kemampuan berpikir kritis, dan tanggung jawab moral—apakah anak-anak diajarkan untuk peduli, berpikir, dan berbuat dengan kesadaran terhadap sesama?
Namun dalam praktiknya indikator-indikator itu nyaris menghilang dari wacana publik. Yang kini diagungkan justru hal-hal yang tampak: biaya pendidikan melangit, gedung megah, kelas ber-AC, smartboard di setiap ruang kelas, iPad di tangan tiap murid, akreditasi internasional, guru lulusan luar negeri. Dan semua sumber daya ini harus diganti dengan harga yang tidak setiap warga masyarakat mampu membayarnya.
Sedangkan indikator yang sesungguhnya — kejujuran, empati, integritas — tidak bisa dijual dan sulit diukur, sehingga digantikan oleh indikator yang bisa difoto, bisa diiklankan, dan bisa menaikkan gengsi. Di sinilah manipulasi semantik bekerja: sekolah tidak lagi menawarkan “pendidikan yang membentuk manusia utuh,” tetapi menjual simbol status sosial yang ditampilkan dalam iklan.
Masalahnya bukan sekadar perbedaan gaya atau selera, tetapi menyangkut keadilan. Jika kita melihat realitas di lapangan, jurang antara sekolah berbiaya tinggi dan sekolah negeri maupun swasta yang kekurangan sumber daya tampak begitu lebar.
Apakah ini mencerminkan perbedaan kualitas pendidikan? Tidak. Ini mencerminkan perbedaan akses terhadap sumber daya. Jika guru di sekolah negeri maupun swasta yang mengkis-mengkis alias laa yamutu wa la yahya fasilitas sumber dayanya diperbaiki, kualitasnya bisa setara — bahkan lebih baik.
Sebab, sekolah negeri memiliki sesuatu yang tidak bisa dibeli sekolah elite mana pun: keberagaman sosial. Di sana, anak-anak dari berbagai latar belakang bertemu dan belajar memahami satu sama lain. Mereka belajar empati lintas kelas—nilai yang sangat penting untuk menjaga keutuhan bangsa.
Maka, yang sesungguhnya terjadi bukanlah “sekolah mahal (pasti) lebih berkualitas,” tetapi negara abai menyediakan sumber daya yang merata bagi semua anak bangsa. Itu bukan sekadar kegagalan kebijakan, melainkan pengkhianatan terhadap semangat konstitusi yang menjamin hak setiap warga negara atas pendidikan yang adil.
Lebih jauh lagi, materialisasi pendidikan ini juga menggerogoti jantung relasi pedagogis antara guru, siswa, dan orang tua. Dalam tradisi pendidikan sejati, guru bukan pelayan, melainkan pembimbing moral dan intelektual. Ia bukan sekadar “memberi pelajaran,” tapi menuntun murid tumbuh menjadi manusia. Siswa pun bukan pelanggan, melainkan subjek didik yang harus dibentuk dengan cinta dan disiplin. Orang tua adalah mitra pendidikan, bukan pelanggan yang menuntut pelayanan.
Namun kita kerap menjumpai relasi itu berubah drastis. Guru berdiri di posisi yang rentan. Jika angka rapor siswa rendah, orang tua bisa mengadu ke manajemen dengan kalimat yang menusuk: “Saya bayar mahal, masa nilainya segini?” Maka guru pun tertekan untuk memberi nilai yang “memuaskan”, bukan yang jujur. Jika guru menegur anak yang berbuat curang, protes bisa datang dengan alasan “anak trauma.”
Pada sisi lain, siswa tumbuh dengan rasa berhak karena orang tuanya membayar mahal. Siswa merasa wajar jika mendapat nilai tinggi dan perlakuan istimewa. Sementara orang tua sering memperlakukan sekolah seperti pusat layanan pelanggan — meminta metode pengajaran diganti, buku disensor, bahkan guru dipindah.
Hubungan pendidikan yang seharusnya dilandasi kepercayaan dan keteladanan kini bergeser menjadi relasi transaksional. Semua pihak terjebak dalam logika pasar: guru ingin bertahan, orang tua ingin return of investment, siswa ingin hasil instan. Akibatnya, pendidikan kehilangan jiwanya. Guru kehilangan wibawa, siswa kehilangan kejujuran, orang tua kehilangan kepercayaan pada proses.
Itu semua merupakan wajah materialisasi dalam bentuk paling nyata: substansi digantikan simbol, akses ditentukan oleh kemampuan bayar, dan relasi pedagogis dikorupsi menjadi relasi pasar. Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembentukan manusia secara utuh berubah menjadi panggung konsumsi bergengsi.
Dalam situasi seperti ini, mungkin kita perlu kembali bertanya dengan jujur: apakah yang kita sebut “pendidikan” benar-benar sedang mendidik manusia — atau hanya sedang memproduksi citra keberhasilan semu yang menindas harkat kemanusiaan?
Jombang, 11 Oktober 2025
