CakNun.com

Tuhan Simbolik dan Logika Kekuasaan

Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 3 menit
Crown Statue
Photo by Mike Bird

Jika kita meletakkan fokus pembahasan pada tingkat struktur kekuasaan, bukan perilaku personal pejabat, maka menjadikan Tuhan sebagai pusat realitas dapat menghadirkan ancaman yang nyata bagi kekuasaan. Ancaman itu tidak muncul dari agama dalam bentuk simbolik atau ritual, tetapi konsekuensi etis dan moral yang menyertai konsep Tuhan sebagai pusat orientasi tindakan.

Konsepsi bahwa “Tuhan adalah pusat realitas” bukan sekadar pernyataan teologis, melainkan struktur kesadaran yang mengatur bagaimana manusia memahami dunia, diri, dan tindakannya. Ketika kita mengatakan Tuhan adalah pusat, kita tidak sedang menempatkan-Nya sebagai objek dalam sistem pengetahuan—sebagaimana kerap dijumpai dalam diskursus akademik yang menempatkan Al-Quran sebagai objek kajian. Tuhan menjadi titik orientasi dalam menentukan makna, arah, dan standar moral bagi seluruh realitas.

Ketika yang menjadi pusat realitas adalah Tuhan, maka seluruh mekanisme produksi keputusan politik berubah: ukuran kebenaran tidak lagi ditentukan oleh konsensus politik, stabilitas ekonomi, bahkan tidak oleh logika birokrasi; ia ditentukan oleh amanah, kejujuran, dan tanggung jawab. Dan justru pada titik itulah gagasan ketuhanan bertabrakan dengan struktur kekuasaan kontemporer.

Hidup di negara yang mayoritas penduduknya muslim dan memiliki sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, ketegangan ini memang melahirkan paradoks. Ketuhanan ada dalam konstitusi, tetapi absen dalam desain kekuasaan; hadir dalam acara seremonial, tetapi tidak menentukan arah kebijakan.

Paradoks ini muncul bukan karena bangsa ini tidak percaya kepada Tuhan, melainkan kekuasaan modern bekerja dengan logika yang secara inheren sekuler: ia membutuhkan asupan stabilitas, kontrol atas sumber daya, kemampuan memobilisasi modal, dan mekanisme legitimasi yang dapat dinegosiasikan. Menghadirkan Tuhan sebagai pusat realitas justru membongkar fondasi kalkulasi tersebut.

Pada tingkat pertama, orientasi nilai ketuhanan menuntut transparansi yang radikal. Transparansi semacam ini bukan hanya soal membuka data kepada publik, tetapi mengizinkan realitas mengoreksi kekuasaan.

Dalam konteks banjir bandang dan longsor di Sumut dan Aceh, jika Tuhan menjadi pusat orientasi nilai, maka bencana tidak dapat lagi dipahami sebagai “cuaca ekstrem”, melainkan cermin kerusakan moral-politik dalam pengelolaan ruang hidup. Ini sangat berbahaya bagi kekuasaan, karena narasi bencana tiba-tiba bergeser dari peristiwa alam menjadi konsekuensi kebijakan. Dengan bergesernya narasi, bergeser pula titik pertanggungjawaban. Dan pergeseran cara pandang ini adalah sesuatu yang paling dihindari kekuasaan.

Pada tingkat berikutnya, orientasi nilai ketuhanan dapat memindahkan status alam dari “aset pembangunan” menjadi “amanah yang harus dipelihara.” Begitu alam dipahami sebagai amanah, maka izin tambang harus ditinjau ulang, ekspansi sawit harus dipertanyakan, proyek-proyek besar yang mengorbankan daerah tangkapan air harus dikoreksi.

Dengan kata lain, tauhid ekologis mengubah struktur kepentingan yang selama ini menopang kekuasaan. Di sini kita melihat ancaman yang paling konkret: tidak ada pemerintahan modern—terutama yang bertumpu pada oligarki sumber daya—yang meletakkan alam sebagai amanah. Sebab begitu amanah menjadi prinsip kerja, sebagian besar proyek ekonomi kehilangan legitimasi moralnya.

Kesadaran tuhan sebagai pusat realitas juga melahirkan warga yang merdeka. Ini bukan kemerdekaan politis belaka, tetapi kemerdekaan batin yang membuat manusia tidak mudah dimanipulasi oleh narasi resmi, tidak tunduk oleh tekanan, dan tidak silau oleh jabatan.

Dalam struktur kekuasaan yang dibangun oleh kepatuhan birokratis, stabilitas politik, dan loyalitas pragmatis, hadirnya manusia merdeka bukan hanya mengganggu, tetapi dapat merusak seluruh arsitektur pengendalian sosial. Karena manusia yang bertauhid hanya takut pada Allah, bukan pada pejabat, bukan pada ancaman, bukan pada wacana yang direkayasa. Bagi kekuasaan tipe manusia seperti itu sulit dikendalikan, sulit dibeli, dan sulit diarahkan—dan karenanya menjadi ancaman.

Bahaya yang lebih subtil muncul pada tingkat konstruksi realitas publik. Kekuasaan modern tidak hanya memerintah melalui kebijakan, tetapi terutama melalui pengendalian narasi. Istilah “bencana alam”, misalnya, bukan sekadar istilah, melainkan perangkat narasi yang menempatkan kerusakan ekologis sebagai kejadian eksternal, bukan akibat dari kebijakan yang busuk.

Tetapi begitu Tuhan menjadi pusat nilai, logika bahasa berubah: bencana menjadi ayat realitas yang meminta pertanggungjawaban, bukan sekadar musibah yang butuh bantuan logistik. Perubahan bahasa mengubah kesadaran publik; perubahan kesadaran mengubah tuntutan politik. Di sinilah Tuhan sebagai pusat realitas benar-benar mengganggu mekanisme produksi wacana yang melindungi kekuasaan.

Maka tidak mengherankan jika negara yang secara formal religius dan mayoritas penduduknya beragama tetap memiliki struktur kekuasaan yang secara fungsional tidak mengorientasikan nilai pada Tuhan. Bukan karena penolakan teologis, tetapi karena konsekuensi politisnya terlalu besar.

Ketuhanan mudah dipertahankan dalam wilayah simbolik, tetapi berbahaya jika dijadikan prinsip operasional. Sebab begitu Tuhan benar-benar menjadi pusat nilai, seluruh logika pembangunan, seluruh struktur relasi kuasa, dan seluruh modus legitimasi harus berubah. Dan perubahan semacam itu tidak hanya membutuhkan keberanian moral, tetapi juga pengorbanan kepentingan yang sangat besar.

Kerusakan ekologis, banjir bandang, tanah longsor, hutan gundul, defisit moral dalam kebijakan publik—semuanya menunjukkan satu hal: struktur kekuasaan tanpa adanya pusat moral memiliki tingkat destruktif yang sangat tinggi.

Jika kita terus menempatkan uang, modal, dan kepentingan sebagai pusat nilai, maka bencana akan berulang—lebih besar, lebih cepat, lebih nggegirisi.

Yang utopis adalah membayangkan kita bisa menyelamatkan negeri ini tanpa pusat nilai etis dan moral. Dari pusat nilai yang salah, lahirlah keputusan yang salah. Dari keputusan yang salah, lahirlah tragedi demi tragedi yang akan terus berulang.

Jombang, 1 Desember 2025

Lainnya

Topik