Governmental Organization Tutup Buku


Era 1990-an itu, bukan hanya zamannya celana cutbray terakhir sebelum punah, atau kaset pita yang kalau pitanya kusut kita gulung pakai pensil 2B. Itu adalah masa keemasan NGO — Non-Governmental Organization — yang kalau diartikan ke bahasa emak-emak kampung mungkin jadi “Organisasi Nggak Opo-opo” alias kerjaannya katanya untuk kepentingan publik, tapi publiknya entah yang mana.
Di masa itu, organisasi-organisasi besar tumbuh seperti jamur di musim hujan, tapi jamurnya impor. Mereka punya budget yang kalau dibagi rata ke warga satu RT bisa bikin semua orang beli motor baru, lengkap dengan helm SNI dan sarung tangan. Dari tahun 1990 sampai 2000, jumlah NGO internasional melonjak. Ribuan berdiri, ribuan janji diumbar, ribuan proposal meluncur ke segala penjuru, seolah dunia ini hanya butuh dua hal: niat baik dan tanda tangan di lembar MoU.
Yang lucu, banyak dari NGO ini mengusung nilai-nilai liberal. Demokrasi, HAM, kesetaraan gender, dan segala istilah yang kalau dibaca cepat-cepat bisa bikin lidah keseleo. Tentu saja, begitu ada yang liberal, muncul pula yang konservatif — mereka ini seperti tetangga yang sengaja beli speaker besar cuma supaya bisa memutar lagu dangdut dengan volume lebih kencang daripada azan subuh.
Jadi, dunia NGO era itu mirip pasar malam di alun-alun. Ada yang jual balon, ada yang jual cilok, ada yang main komidi putar, dan semua berebut pengunjung. Bedanya, pengunjungnya adalah “opini publik” dan “dana donor internasional.” Yang satu bilang, “Ayo kita majukan dunia dengan kebebasan berekspresi!” Yang lain teriak, “Tidak! Kita harus kembali ke nilai-nilai lama!” Dan di tengah teriakan itu, para penjual tiket — alias broker proyek — tersenyum lebar sambil menghitung receh yang terkumpul.
Seperti itu lah, era 1990-an: NGO menjadi pahlawan global, musisi kampung, sekaligus pedagang keliling dalam satu badan. Semua pakai baju seragam “membela rakyat,” tapi kalau kita tanya rakyat di kampung sebelah, mereka bahkan nggak tahu bendera NGO itu warnanya apa.
Seiring angka NGO makin gemuk seperti celengan yang rajin diisi dolar, perannya pun berubah. Bukan lagi sekadar lembaga yang membagikan brosur atau bikin lokakarya di hotel bintang tiga, tapi sudah jadi aktor politik kelas dunia. Bahkan, ada NGO yang pengaruhnya bisa bikin pemerintah kelabakan seperti anak SMP disuruh maju pidato tanpa teks.
Lihat saja Kampanye Internasional yang lahir tahun 1992 — bukan hanya bikin spanduk, tapi langsung mendorong dunia mengadopsi Konvensi Pelarangan Ranjau Anti-Personil pada 1997. Bukan cuma sukses, mereka malah dapat hadiah Nobel Perdamaian. Jadi, sementara negara-negara sibuk berdebat di meja PBB, NGO ini sudah lebih dulu mengikat simpul tali kemenangan.
Lalu ada Transparency International, anak Berlin yang lahir tahun 1993. Kerjaannya? Mengajak dunia ngobrol tentang korupsi. Bedanya, kalau kita ngomongin korupsi di warung kopi ujung gang, paling ujungnya cuma keluar keluhan, “Ya begitulah.” Tapi mereka bisa bikin isu ini naik kelas sampai akhirnya pada 2003, PBB mengadopsi Konvensi Anti Korupsi.
Kofi Annan, yang waktu itu masih calon Sekjen PBB, sampai bilang di Konferensi Dunia HAM 1993 bahwa abad ke-21 adalah “eranya NGO.” Bayangkan, kawan, ini seperti seorang pelatih sepak bola yang bilang, “Era ini adalah eranya wasit,” padahal biasanya kita cuma fokus ke pemain.
Dan di tahun 1997, Jessica Mathews menulis di Foreign Affairs bahwa berakhirnya Perang Dingin membawa “perubahan kekuasaan.” Kalau dulu negara adalah aktor tunggal di panggung global, sekarang masyarakat sipil — diformalkan jadi NGO — mulai mengambil kursi sutradara. Mereka membagi peran, menulis naskah, bahkan menentukan siapa yang dapat dialog penting.
Banyak NGO mulai mengambil alih tugas negara: mengirim bantuan kemanusiaan, mengatur pembangunan, ikut duduk di meja negosiasi, dan bahkan menentukan agenda soal lingkungan dan HAM. Pemerintah pun sering jadi seperti figuran di sinetron — muncul sebentar, ngomong dua kalimat, lalu keluar dari layar. Jadi, di era itu, NGO bukan lagi sekadar “Non-Governmental Organization.” Kadang rasanya seperti “Now Government’s Operator” — operator baru yang menjalankan panggung dunia, tapi dengan bendera dan jargon masing-masing.
Namun, zaman memang punya selera bercanda sendiri. Kalau era 1990-an sampai awal 2000-an itu panggungnya dipenuhi NGO yang gagah perkasa — seperti anak band yang baru rilis album pertama dan langsung tur dunia — maka dua dekade terakhir ini suasananya berubah. Lampu sorotnya meredup. Penontonnya pulang satu-satu.
Antara 2010 dan 2020, populasi NGO internasional cuma naik tipis, kurang dari 5%. Itu pun sebagian cuma ganti nama atau bikin cabang di Instagram. Keraguan publik pun makin tebal: “Apakah NGO ini benar-benar malaikat penyelamat atau hanya sales asuransi yang berganti kostum?” Sementara itu, negara-negara mulai lihai memotong aliran darah mereka: dana.
Lihat saja minggu ini, USAID resmi ditutup. Bagi sebagian NGO, itu seperti tiba-tiba kran air di dapur diputar mati, padahal kompor sudah menyala dan mie instan sudah masuk panci. Pelan tapi pasti, kesempatan dan kapasitas politik mereka menciut.
Dulu, NGO bisa berdiri sejajar dengan pemerintah dalam negosiasi. Sekarang? Banyak yang seperti band pembuka yang harus puas main tiga lagu sebelum bintang utamanya naik panggung. Lebih parah lagi, negara bukan cuma merebut kembali kekuasaan yang dulu “dipegang” NGO, tapi juga memagari panggungnya, memasang spanduk: “Dilarang membawa ide-ide yang tidak sesuai selera tuan rumah.”
Hasilnya? Kita menyaksikan akhir dari era NGO. Buat orang-orang yang hidupnya bergantung pada layanan mereka — pendidikan, bantuan medis, advokasi hukum — ini adalah kehilangan besar. Tapi untuk pemerintah-pemerintah otokratis, ini adalah kabar gembira. Akhirnya, suara-suara kritis itu bisa diredam, disimpan di laci paling bawah, dan dilabeli “Arsip yang Tidak Perlu Dibaca.” Lucunya, kalau dulu NGO dituduh terlalu kuat, sekarang malah dianggap tidak relevan. Seperti mantan raja yang sekarang cuma diminta memotong pita di acara lomba makan kerupuk.
Sumber daya untuk NGO sekarang ibarat sumur di musim kemarau: airnya sedikit, tapi yang antre bawa jerigen makin banyak. Sementara itu, para pemimpin negara makin skeptis — katanya demi kebijaksanaan — apakah NGO ini memang jalan terbaik untuk menyalurkan bantuan asing, atau cuma jalur tol untuk masuknya kepentingan yang tidak diundang.
Lihat Amerika. Begitu USAID ditutup resmi, Sekretaris Negara Marco Rubio langsung menulis: “Eksekutif dari banyak NGO yang kami dukung adalah satu-satunya yang masih bertahan hidup dengan baik… sementara orang yang katanya mau dibantu justru hidupnya makin sengsara.” Ini seperti kita bayar tukang bangunan mahal-mahal, tapi rumahnya malah roboh lebih cepat daripada sebelumnya.
Di Belanda, menteri sayap kanan Reinette Klever juga ikut bersuara: kurangi bantuan asing, kurangi dana untuk organisasi masyarakat sipil. Logikanya seperti orang yang lagi diet — potong anggaran kanan kiri — tapi tidak sadar yang dipotong justru asupan gizi, bukan lemak jahat.
Memang, ada juga yang mencoba menambal. Di Amerika, lebih dari 70 yayasan sudah menandatangani sumpah untuk “membantu” mengisi kekosongan akibat potongan anggaran. Ada pula kelompok donor swasta bikin “dana jembatan” supaya program-program yang dibekukan bisa tetap jalan. Tapi ya, kawan, namanya jembatan darurat, biasanya cuma cukup dilewati motor, bukan truk gandeng. Modal pribadi susah menandingi sumber daya negara — apalagi kalau dompet dunia lagi tipis akibat ekonomi global yang ringkih.
Akibatnya, banyak NGO di seluruh dunia mulai merumahkan staf, membatalkan program untuk migran, menghentikan administrasi vaksin, bahkan menunda kegiatan kemanusiaan yang dulu jadi kebanggaan. Ironisnya, di tengah kelemahan ini, pemerintah-pemerintah represif malah merasa lebih nyaman. Mereka akan membiarkan NGO beroperasi… asal jasanya menguntungkan penguasa.
Dan ketika uang Barat berhenti mengalir, beberapa negara pun melirik ke Tiongkok — yang menawarkan bantuan pembangunan lewat Belt and Road Initiative. Bedanya, model Tiongkok ini tidak memanggil NGO, tidak mengajak seminar tentang HAM atau demokrasi. Semua langsung ke intinya: proyek jalan, pelabuhan, infrastruktur. Tanpa ribet, tanpa “catatan kaki” tentang kebebasan sipil.
Efeknya? NGO yang dulu dianggap pahlawan, sekarang di banyak negara justru dicap pembawa masalah. Bukan lagi mitra, tapi tamu yang dianggap membawa barang titipan dari pihak yang tidak diundang. Dan begitulah — panggung yang dulu gemerlap itu kini mulai sepi, lampunya meredup, dan penontonnya bubar sebelum pertunjukan benar-benar selesai.[]
Nitiprayan, 12 Agustus 2025