CakNun.com

Catatan Malam Dari Kebun Sawit

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Pok Rie

Negara ini memang negeri yang amat lucu. Lucunya menyedihkan, sedihnya memancing tawa getir, dan tawanya sering kita kunyah tanpa sadar bahwa itu sebenarnya jenis dari jeritan. Coba kita tengok sedikit soal kelapa sawit — tanaman yang ditanam berjuta hektare, tetapi buahnya entah dinikmati siapa.

Indonesia ini, adalah raja minyak nabati dunia. Sekitar 25 persen produksi minyak nabati sejagat berasal dari tanah kita. Tapi kok ya hidup petani sawit kita masih ndlosor, dan kebijakan energi kita malah seperti menanam duri di telapak kaki sendiri?

Bayangkan, kita ini memproduksi hampir 40 juta ton CPO (crude palm oil) per tahun, yang sebagian besar diekspor. Negara-negara seperti China, India, Uni Eropa, Pakistan, Bangladesh, sampai Amerika semua ikut merasakan gurihnya minyak sawit kita. Tapi justru Uni Eropa itu yang paling cerewet — mereka ini kayak pembeli di pasar yang pengin beli murah tapi ngatur-ngatur barang kita. Harusnya kalau mereka terlalu banyak maunya, ya kita lempar saja barang kita ke dapur tetangga lain yang lebih mau kompromi.

Tapi ndilalah, bukan Eropa yang bikin pening kepala GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia). Justru pemerintah sendiri yang bikin mumet — karena separo lebih dari CPO yang kita produksi itu dipaksa masuk ke perut program biodiesel nasional. Alasannya mulia: demi energi hijau, demi net zero emission. Tapi kebenaran itu sering kali hanya kulit dari kepentingan besar yang tak terucap.

Padahal, biodiesel itu butuh subsidi puluhan triliun per tahun agar bisa dijual dengan harga yang bisa dijangkau rakyat. Dan subsidi itu diambil dari… pajak ekspor CPO. Jadi, kita ekspor besar-besaran, lalu uang pajaknya dipakai buat mensubsidi biodiesel, yang diproduksi dari CPO kita sendiri, dan dijual murah ke rakyat yang — sebagian besar — tidak tahu bahwa mereka sedang mensubsidi diri sendiri dengan cara yang sangat mahal. Itu bukan ekonomi berputar, tapi ekonomi berputar-putar sampai pingsan.

Lebih miris lagi, klaim bahwa biodiesel itu ramah lingkungan adalah kebohongan berjamaah. Sawit adalah tanaman yang haus lahan, dan perluasannya sering menabrak hutan dan meminggirkan masyarakat. Kalau ini yang disebut energi hijau, maka kita sedang menanam pohon dengan cara mencabut akar kehidupan.

Saya pernah ngobrol dengan mantan direktur produksi industri oleochemical — sebuah sektor hilir dari sawit yang mestinya bisa memberi nilai tambah berkali-kali lipat dibanding sekadar jual CPO mentah. Beliau ini lulusan ITB, orang pinter, dan saya tanya: “Apa susah bikin industri oleochemical itu, Mas?” Jawabnya: “Teknologinya enggak susah, Pak. Yang susah itu niatnya. Negara kita enggak pernah benar-benar ingin membangun industri itu.”

Lah, kok bisa? Ya bisa. Karena negara ini lebih senang ekspor mentahan, nerima pajak, lalu sibuk menyubsidi sektor lain yang justru menggerus potensi besar yang kita miliki. Itu seperti orang jual sapi, tapi beli daging dari luar negeri.

Masalah kedua yang tak kalah pelik adalah nasib petani sawit kecil. Mereka hanya jadi “tukang kebun” di tanah mereka sendiri. Tidak ada koperasi kuat, tidak ada akses langsung ke industri hilir, tidak ada kebijakan khusus yang mendorong mereka naik kelas. Sementara korporasi menikmati semua fasilitas dari hulu ke hilir — termasuk mungkin juga fasilitas untuk lobi-lobi di tingkat tinggi. Petani cuma ngurus panen, ngangkut ke tengkulak, dan nunggu harga anjlok kalau pasar global bersin.

Dan baru setelah semua ini, kita ngomong soal lingkungan. Itu pun sering cuma formalitas, karena dalam ekonomi ekstraktif, isu lingkungan adalah semacam “harga yang dibayar” — bukan “kesalahan yang harus dihentikan”.

Terus terang saja bahwa bangsa ini memang sering salah urus bukan karena tidak tahu, tapi karena tidak mau tahu. Kita punya segalanya, tapi dikelola oleh sistem yang seperti orang kaya yang malas berpikir. Dan rakyat? Diberi tahu bahwa semua ini demi kebaikan bersama. Padahal sesungguhnya kita sedang menyaksikan bagaimana sumber daya kita dirampas secara legal, disubsidi secara sistematis, dan diklaim sebagai pencapaian nasional.

Kalau saya boleh usul, kenapa kita enggak ajak Malaysia duduk bareng, bikin pakta kedaulatan sawit ASEAN, lalu bangun industri oleochemical bersama? Dua negara produsen sawit terbesar dunia, kalau mau, bisa jadi pusat ekonomi global berbasis nabati. Tapi ya itu tadi: bukan soal kemampuan. Ini soal kemauan, soal siapa yang diuntungkan, dan siapa yang cukup nekat untuk bilang, “Kita bisa kelola sendiri.”

Karena yang kita butuhkan bukan sekadar minyak sawit. Tapi kedaulatan atas pohon-pohon yang kita tanam sendiri. Sebab sawit bisa jadi berkah, bisa juga jadi kutukan. Tergantung kita mau jadi pemiliknya, atau tetap rela jadi jongos di kebun sendiri.[]

Cikedokan, 8 Juli 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Andhudhah Kawruh Sinengker: Ganesha, Godzilla, dan Gubuk Suroloyo

Andhudhah Kawruh Sinengker: Ganesha, Godzilla, dan Gubuk Suroloyo

Tepat di kaki Merapi yang seperti ndhodhok tapi waspada itu, para petani, seniman, anak-anak alam, dan bocah-bocah yang masih percaya pada embun pagi, bikin geger dengan satu istilah yang mungkin bikin dosen filsafat gatal kupingnya: Andhudhah Kawruh Sinengker.
Toto Rahardjo
Toto Rahardjo
Exit mobile version